Sejarah mencatat eksploitasi kopi dalam bentuk Sistem Tanam Paksa Kopi di pedalaman Minangkabau diterapkan tahun 1847 pada Pemerintah Gubernur Michiels di Sumatera Barat. Sistem Tanam Paksa Kopi berlangsung hingga awal abad ke-20. Kopi menjadi komoditi yang laku di pasar internasional kala itu. Sehingga, Belanda menggunakan kesempatan, ketika telah menduduki wilayah Sumatera Barat dengan menerapkan tanam paksa kopi. Penerapan sistem tersebut, dilakukan di seluruh wilayah Sumatera Barat, termasuk Padang Pariaman (pedalaman).
Salah satu wilayah yang dulunya dipakai sebagai area perkebunan kopi adalah Rumah Putiah, Korong Tarok, Nagari Kepala Hilalang, Kec. 2×11 Kayu Tanam, Kab. Padang Pariaman. Laporan mengenai sisa-sisa aktivitas perkebunan di Nagari Kepala Hilalang ini disampaikan oleh Bapak Hasanudin Yunus pada hari Jum’at tanggal 1 April 2016 kepada BPCB Sumatera Barat. Dari laporan tersebut, kemudian Kepala BPCB Sumatera Barat menanggapi langsung dengan membentuk tim survei awal untuk melakukan pengecekkan terhadap informasi tersebut. Survei juga bertujuan untuk menyelamatkan tinggalan-tinggalan sisa perkebunan kopi tersebut dari kerusakan yang lebih parah.
Survei dilakukan pada hari Senin, tanggal 4 April 2016. Tim survei BPCB Sumatera Barat yang dkirim ke lokasi adalah Darul Aswad (Staf Pokja Pengembangan, Pemanfaatan), dan Dodi Chandra, S.Hum (Staf Pokja Penyelamatan, Pengamanan dan Zonasi). Survei dilakukan selama satu hari dengan turut melibatkan masyarakat lokal sebagai bentuk dari arkeologi publik. Khairul St. Malawik, Suherman adalah pemerhati sejarah dan penggiat Desa Sadar Wisata di Nagari Kepala Hilalang. Pada saat pengamatan lapangan bersama masyrakat ditemukan beberapa bata yang memiliki watermark pada permukaan atas bata. Temuan bata ada yang terbuat tanah liat dan adapula dari kapur. Bata bahan tanah liat setelah diidentifikasi bata berasal dari Geldermalsen, Belanda yang beroperasi tahun 1919-1982. Sedangkan, bata bahan kapur setelah diidentifikasi dari watermark yang ada berasal dari Bizen, Jepang. Dari dua data awal tersebut terlihat, lokasi sudah pernah dieksploitasi dari dua masa yang berbeda.
Dari survei yang telah dilakukan ditemukan beberapa sisa-sisa bangunan pendukung dari kawasan pemukiman perkebunan kopi masa Kolonial Belanda. Selain itu, juga ditemukan sisa-sisa bangunan dari perkebunan karet yang sangat dimungkinkan beroperasi di masa Pendudukan Jepang di Padang Pariaman. Puing-puing bangunan secara umum tidak terurus dan ditutupi dengan tanah dan semak belukar. Banyak dari masyarakat yang menghacurkan bagia rumah dengan alasan mengambil besi untuk dijual. Informasi yang dari Bapak St. Malawiak tahun 2015 yang lalu pernah ditemukan satu peti besi yang di dalamnya terdapat sekitar 160 kg besi dari pisau untuk mengambil getah karet.
Puing-puing bangunan tersebut adalah rumah Tuan Semar (mandor), barak pekerja perkebunan, temp pengucian karet, bekas “PLTA”, bekas bangunan pengintai. Diantara sisa bangunan tersebut yang masih bagus adalah rumah Tuan Semar yang dahulunya merupakan mandor perkebunan. Rumah dengan gaya semi-kolong dengan banyak memakai bahan batu batako, semen, batu air. Kolong rumah terdapat di sisi kiri (depan) rumah dan sisi kanan (belakang) rumah. Masih terlihat sisa tempat meletakkan balok kayu yang untuk landasan papan kayu sebagai lantai rumah.
Kondisi puing-puing bangunan tersebut, secara keseluruhan tidak terurus dan ditutupi dengan tanah dan semak belukar. Hal ini wajar terjadi, ketidaktahuan masyarakat akan pentingnya tinggalan-tinggalan tersebut menjadi faktor utamanya. Tim survei BPCB Sumatera Barat selain untuk survei tinggalan, juga turut memberikan sosialiasi terkait dengan oentingnya tinggalan masa lalu dan pelestariannya.
Dari hasil survei yang telah dilakukan, didapatkan data yang memperlihatkan lokasi tersebut dulunya memang merupakan sebagai bekas dari aktivitas perkebunan kopi dan karet di Rumah Putiah, Korong Tarok, Nagari Kepala Hilalang, Kec. 2×11 Kayu Tanam, Kab. Padang Pariaman. Hasil survei yang merupakan data awal, diharapkan dapat menjadi acuan atau landasan bagi Pemerintah Daerah setempat untuk membuat kebijakan terkait dengan pelestarian dan pemanfaatan dari sisa-sisa bangunan di Rumah Putiah ini.