JEJAK MAKAM KUNO BELANDA DI BUKITTINGGI DAN POTENSINYA

Oleh: Dodi Chandra, S.Hum

(Staf Pokja Penyelamatan, Pengamanan, Zonasi BPCB Sumatera Barat)

Kota Bukittinggi salah satu kawasan yang menyimpan berbagai tinggalan arkeologis yang kental dari masa Kolonial Belanda. Menelisik jejak masa lalu Bukittinggi sepertinya tidak habis-habisnya yang seolah-olah memberikan cerita dan kisah kepada kita tentang kehidupan manusia di masa itu. Bukittinggi  sejak lama telah dikenal sebagai kota wisata dengan Jam Gadang sebagai landmark kotanya. Pada masa Kolonial Belanda, Fort de Kock (nama lama Bukittinggi) dapat dikatakan sebagai kota metropolitan dimasanya. Saat ini, kita dapat melihat jejak masal lalu berupa bangunan pendukung dari kota, seperti bangunan pemerintahan, rumah, sekolah, pasar, pusat kesehatan, bangunan pertahanan, pasar, hotel, sarana hiburan dan sebagainya. Semua bangunan bersejarah di Kota Bukittinggi secara umum telah terdata dan terinventarisasi oleh BPCB Sumatera Barat, Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bukittinggi.

Salah satu tinggalan arkeologi di Bukittinggi yang belum banyak diketahui adalah tinggalan Makam kuno Belanda (Kerkhof) di Kelurahan Bukit Apit Puhun, Kecamatan Guguk Panjang. Kerkhof berasal dari dua suku kata maka kerk berarti gereja dan hof adalah halaman. Pada awalnya, istilah ini muncul karena dahulunya orang Belanda yang mayoritas Kristen, menguburkan keluarganya di samping gereja. Lambat laun, kata kerkhoff menjadi sebutan untuk kuburan atau permakaman. Kerkhoff dapat secara umum lebih diartikan sebagai pemakaman warga Belanda, yang diperuntukkan sebagai tempat peristirahatan terakhir bagi warga Belanda.

Tinggalan kerkhof di Bukit Apit Puhun hingga kini belum diketahui awal mula pemakaman ini difungsikan. Namun, menurut masyarakat setempat dahulunya pemakaman ini merupakan makam orang Belanda yang beragama Kristen Katholik dan dikelola oleh pihak Gereja Katholik di Bukittingi. Makam terbuat dari bata yang dilapisi dengan semen berlepa, pada bagian luar dihaluskan. Pada bagian atas makam ditemukan inskripsi berbahasa Belanda yang berisi “Hier Rust” pada bagian awal, kemudian dilanjutkan dengan penyebutan nama orang yang dimakamkan, pekerjaan, tanggal lahir dan meninggalnya, dan ada pula yang di akhir dengan kata R.I.P. Makam yang ada sangat menarik untuk dikaji dalam rangka rekontruksi sejarah masa lalu Bukittinggi. Dari makam yang ada kita dapat mengetahui beberapa hal seperti: alasan pemilihan lokasi pemakaman, identitas orang yang dimakamkan, identitas budaya, stratifikasi sosial dan sebagainya. Dari beberapa makam yang masih menyisakan inskripsi pada bagian badan nisan makam dapat ditelusuri beberapa tokoh seperti: M.F Braakman, Adriana v.o Leer.

Tinggalan kerhkof di Sumatera Barat memang belum dapat menarik perhatian pada peneliti, namun jika ditelusuri di beberapa kota di Sumatera Barat dahulunya menyimpan tinggalan tersebut, seperti Padang, Bukittinggi, Payakumbuh, Lima Puluh Kota, Pasaman, Pesisir Selatan, dan Sawahlunto yang saat sekarang telah dikelola sebagai destinasi wisata.

Setiap tinggalan masa lalu yang berumur ratusan tahun pasti memiliki nilai-nilai budaya yang bisa kita pelajari. Nilai-nilai tersebut sangatlah bermanfaat bagi masyarakat khususnya para generasi muda, agar tumbuh rasa nasionalisme pada diri mereka. Begitu pula makam kuno Belanda (Kerkhof) ini juga memiliki beberapa nilainilai yang bisa kita pelajari diantaranya nilai sejarah yakni masyarakat akan mengetahui sepak terjang bangsa Belanda saat menjajah Indonesia khususnya di Kota Bukittinggi; nilai pendidikan, yakni kita harus selalu semangat pantang menyerah seperti yang dilakukan para pejuang kita melawan penjajah Belanda; nilai budaya, yakni makam tersebut masih ada hubunganya dengan sejarah Kota Bukittinggi. Pada hakikatnya, sejarah tidak semata-mata muncul begitu saja, tetapi sejarah yang besar terdiri dari sejarah yang kecil yang menjadi satu. Maka kajian sejarah lokal dipandang sebagai disiplin ilmu yang memiliki arti penting karena sejarah lokal bagian dari sejarah nasional. Senada dengan hal di atas,            makam kuno Belanda di Bukit Apit Puhun ini bisa dijadikan sebagai sumber belajar sejarah selain sumber dari buku.

Selain berbicara mengenai aspek pemanfaatan, sebagai salah satu objek yang diduga Cagar Budaya ke depannya perlu dilakukan beberapa upaya pelestarian. Dari aspek perlindungan, perlu dilakukan survei penyelamatan rangka pengumpulan data objek yang diduga Cagar Budaya untuk meminimalisir kerusakan dan kehancuran objek. Kemudian, perlu pula dilakukan pendataan yang menyeluruh pada kompleks makam Belanda yang nantinya dapat dijadikan sebagai bahan penelitian dan juga menambah database Cagar Budaya yang ada sudah ada. Melakukan kajian perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan dari makam kuno Belanda di Bukit Apit Puhun.

Dalam upaya pengembangan kedepannya, salah satu konsep yang dapat diterapkan adalah  “open air museum” (museum terbuka). Konsep ini adalah bentuk pengembangan dari tinggalan arkeologi yang sesuai dengan kaidah-kaidah pelestarian. Tujuannya adalah untuk merekonstruksi peninggalan bersejarah tersebut, baik berupa bangunan atau lansekap di ruang pameran. Hal ini perlu dilakukan, karena paradigma selama ini situs pemakaman, khususnya yang berasal dari masa kolonial, kerapkali dianggap sebagai tempat yang sepi dan menyeramkan. Padahal, secara tidak disadari, tempat tersebut menyimpan berbagai macam informasi menarik mengenai komposisi penduduk suatu kota di masa lampau. Situs pemakaman merupakan data arkeologi yang tidak kalah penting apabila dibandingkan dengan situs pemukiman, situs keagamaan, atau jenis situs lainnya. Situs pemakaman harus dikemas secara menarik agar dapat berfungsi sebagai sarana rekreasi dan edukasi masyarakat di ruang terbuka. Dengan menerapkan konsep “open air museum” dapat memberikan gambaran  kehidupan masa lalu  dengan merekontruksi kembali lingkungan dan kehidupan mereka. Dengan konsep ini diharapkan nantinya pengunjung akan dapat merasakan dan memahami kehidupan masyarakat pada saat itu dan menjadi daya tarik bagi wisatawan seperti yang telah dilaksanakan pada Museum Taman Prasasti di Jakarta.