Kompleks Makam Ratu Ebho

0
1333

Secara administrasi Situs Makam Rato Ebhu terletak di Dusun Madegan Kelurahan Polagan, Kecamatan Sampang Kabupaten Sampang. Secara geografis, Situs makam berada pada ketinggian ± 10 meter dari permukaan air laut dengan jarak sekitar 4 km dari Kota Sampang menuju kearah selatan. Kelurahan Polagan sendiri termasuk daerah dataran rendah, dengan batas administrasi sebelah utara adalah Kelurahan Rongtengah, sebelah timur Kelurahan Banyuanyar, sebelah selatan Selat Madura, sebelah barat Desa Aengsareh  dan Kelurahan Karangdalam.

Keberadaan Situs Makam Rato Ebhu, tidak terlepas dari tokoh Rato Ebhu dan  sejarah Madura secara keseluruhan, serta wilayah Sampang khususnya, karena dari garis keturunan keluarga beliaulah pemimpin-pemimpin Madura lahir, baik yang berkedudukan di Madura barat, Sampang maupun Pamekasan.

Sejarah Sampang, tidak terlepas dari sejarah Kerajaan Majapahit. Seperti kita ketahui bahwa kerajaan Majapahit pada masa itu menguasai hampir seluruh wilayah kepulauan di Nusantara, termasuk wilayah Madura. Pada masa Majapahit tersebut di Sampang ditempatkan seorang Kamituwo yang pangkatnya sebagai patih, jadi boleh dikatakan kepatihan yang berdiri sendiri. Sewaktu Majapahit mulai mundur, di Sampang berkuasa Ario Lembu Petteng atau terkenal dengan sebutan Bondan Kejawan atau Ki Ageng Tarub II. Beliau adalah putera dari Raja Majapahit Prabu Bhre Kertabhumi atau Prabu Brawijaya V dengan istrinya yang bernama Rato Dworowati yang berasal dari Champa. Berawal dari Raden Ario Lembu Petteng inilah yang kemudian menurunkan raja-raja di Sampang, bahkan di seluruh Madura. Dan sejak itu muncul pula system organisasi pemerintahan di Sampang. Namun pemerintahan Ario Lembu Petteng tidak berlangsung lama, karena ia lebih memilih menjadi santri/murid Sunan Apel di Gresik. Setelah  Ario Lembu Petteng menetap di Ampel Surabaya, kedudukan kamituwo di Madegan Sampang diserahkan kepada putra sulungnya yang bernama Raden Ario Menger sebagai kamituwo kedua, Raden Ario Pratikel sebagai kamituwo ketiga, dan Raden ario Pojok sebagai kamituwo keempat atau terakhir.

Setelah masa pemeritahan desa dengan kamituwo sebagai pemimpinnya yang berpusat di Madegan Sampang berakhir, pemerintahan di Sampang  beralih/diperluas menjadi Pemerintahan Daerah yang dipimpin oeh seorang Penguasa Daerah dengan gelar Adipati. Pemimpin Daerah Sampang yang pertama adalah Adipati Pramono. Ia adalah putra tertua dari Kiyai Demong, atau cucu dari Raden Ario Pojok, kamituwo keempat/terakhir di Madegan, Sampang. Adipati Pramono menikah dengan puteri Kiyai Wonorono di Pamekasan, sehingga selain menjadi penguasa Sampang, beliau juga menjadi penguasa Pamekasan yang berkedudukan di Sampang. Oleh masyarakat Sampang, Adipati Pramono ini juga dikenal sebagai raja dan menyebutnya Rato (bahasa Madura). Beliau adalah penganut Islam yang taat, setiap kesempatan selalu bertabligh tentang ajaran agama Islam. Masjid Madegan merupakan salah satu bukti peninggalan Adipati Pramono dalam mensyiarkan agama Islam di Sampang.

Putera lain dari Kyai Demong yang bernama Adipati Pragalba, ditugaskan menggantikan kedudukan ayahnya sebagai penguasa di Palakaran (Arosbaya), dan disebut sebagai Pangeran Palakaran. Dari Adipati Pragalba ini yang kemudian menurunkan Kyai Pratanu atau Pangeran Lemah Duwur sebagai Raja Madura Barat yang pertama, yang berkeraton di Arosbaya.

Adipati Pramono sebagai pemimpin daerah Sampang, digantikan oleh puteranya Nugeroho dengan gelar Pangeran Bonorogo, yang bekedudukan di Pamekasan.  Pangeran Bonorogo mempunyai empat orang putra/putri, dan ketika beliau meninggal, terjadi pemisahan kekuasaan antara Sampang dan Pamekasan. Pamekasan dipimpin oleh Panembahan Ronggosukowati (putera pertama), sedang Sampang karena Adipati Pamadekan yang seharusnya menggantikan posisi ayahnya saat itu masih belum dewasa, maka Panembahan Lemah Duwur selaku raja Madura Barat yang masih saudara mengambil langkah bijak dengan mengangkat puteranya sendiri yang bernama Pangeran Sidhing Gili sebagai pemimpin di Sampang, hingga Adipati Pamadekan siap untuk memimpin Sampang. Penguasa daerah Sampang kelima atau terakhir adalah Adipati Mertosari. Pada masa pemerintahan Adipati Mertosari ini, terjadi penyerangan pasukan Mataram dari Yogyakarta untuk yang kedua kalinya. Dalam pertempuran tersebut banyak penguasa di kerajaan-kerajaan Madura yang gugur, seperti Pangeran Mertosari dari Sampang, Pangeran Purbaya dari Pamekasan, Pangeran Jimat dan Ayahnya Panembahan Rongo Sukowati, Pangeran Cokronegoro I dari Sumenep, serta Pangeran Blega dari Blega.

Tokoh Rato Ebhu, adalah Ebhunda dari Pangeran  Praseno atau lebih dikenal dengan nama Pangeran Tjakraningrat I. Rato Ebhu adalah istri dari Raden Koro (Pangeran Tengah). Dalam  Babad Tanah Jawi disebutkan bahwa beliau (Raden Koro) pernah menjadi penguasa di Bangkalan, dan meninggal pada tahun 1621 M. Raden Koro (Pangeran Tengah) sendiri merupakan putera dari Panembahan Lemah Duwur dari Kerajaan Madura Barat yang berkeraton di Arosbaya. Ketika Panembahan Lemah Duwur wafat pada tahun 1592 M, Raden Koro naik tahta menggantikan ayahnya sebagai penguasa Madura barat. Pada masa pemerintahannya tersebut Pangeran Tengah (Raden Koro) meluaskan wilayahnya dengan menguasai Blega, yang dipimpin oleh Pangeran Blega, adiknya sendiri.

Ketika Pangeran Tengah wafat pada tahun 1621 M, puteranya yang bernama Pangeran Praseno masih sangat muda. Oleh Ebhundanya (Rato Ebhu), Pangeran Prasena dibawa menetap di Madegan, Sampang. Pada tahun  1624, Sampang dan kerajaan-kerajaan lain di Madura ditaklukkan oleh Kerajaan Mataram, seluruh pemimpin-pemimpin kerajaan di Madura tidak tersisa. Raden Praseno yang saat itu masih sangat muda, dijadikan sebagai tawanan perang. Ia dibawa ke Yogyakarta (Mataram) dan kemudian dijadikan abdi keraton yang harus mematuhi segala peRatoran dan tata karma keraton. Akan tetapi karena kepribadiannya yang luhur serta perangai yang terpuji, akhirnya Pangeran Praseno mampu meluluhkan hati Sultan Agung. Ia tidak lagi dianggap  sebagai tawanan, tetapi malah dianggap sebagai anak angkat Sultan Agung, serta mempunyai hak yang sama dengan putera raja.

Setelah Madura ditaklukkan oleh kerajaan Mataram, Sultan Agung berkehendak mengangkat seorang penguasa untuk memimpin Madura. Beliau memandang bahwa Pangeran Praseno cukup mampu untuk memimpin kerajaan di Madura, baik dipandang dari segi kepribadian maupun dari segi jiwa kepemimpinan yang dimilikinya. Atas dasar pemikiran dan pertimbangan yang matang, Sultan Agung berkehendak mengangkat Pangeran Praseno menjadi Raja Madura. Maka pada tanggal 12 Rabiul Awal 1045 H atau tanggal  23 Desember tahun 1624 M, bersamaan dengan grebek Maulud, yaitu peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, Raden Praseno, putera Rato Ebhu dari Madegan Sampang resmi dinobatkan menjadi raja Madura dengan gelar Cakraningrat I. penobatan dilakukan di Kerajaan Mataram dengan upacara kebesaran.

Situs Makam berada di tengah permukiman penduduk. Sesuai data yang ada Makam Rato Ebhu, menempati areal seluas 1310 m². Situs makam mempunyai bangunan gapura yang berbentuk paduraksa, terletak di bagian selatan makam. Makam dikelilingi pagar bata (baru) dengan pintu masuk di sisi selatan. Terbagi menjadi dua halaman yaitu halaman pertama terletak pada bagian selatan/depan. Pada halaman satu ini terdapat makam mantan Bupati pertama Sampang. Makam bupati  ini terletak dalam sebuah cungkup (baru) berbentuk pendopo dengan atap tajug. Cungkup ini dikelilingi pagar kayu, lantai ditutup keramik warna hitam ukuran 50 cm x 50 cm. Selain makam mantan bupati, di dalam cungkup ini terdapat pula 38  makam yang belum diketahui identitasnya. Selain cungkup makam, di halaman satu terdapat pula 5  makam yang identitasnya belum diketahui. Kelima makam ini terletak di sebelah timur jalan menuju gapura masuk halaman dua. Gapura terbuat dari batu putih dan tinggi/berkaki, dengan bentuk profil menyerupai profil kaki candi. Gapura pada Halaman II ini terlihat masih asli/belum mengalami perubahan bentuk. Ambang pintu gapura terbuat dari bahan kayu (jati), dibuat bertingkat/berpelipit semakin ke tengah semakin rendah dan hiasan pada bagian ambang DSC_0042atas pintu berupa motif-motif geometris. Gapura ini dilengkapi dengan daun pintu yang terbuat dari bahan kayu (jati), yang saat ini disimpan di rumah Bapak Muzakki, juru pelihara Makam Rato Ebhu. Ukuran daun pintu tinggi 162 cm, lebar 60 cm dan tebal  4 cm. Pada bagian tengah daun pintu terdapat ukiran relief ular (naga) yang dipanah hingga menembus ekor, yang diartikan sebagai sengkalan dengan bunyi “naga kapanah titis ing widi”.

DSC_0247Halaman dua terletak di sebelah utara halaman satu, di halaman ini lah  terdapat Makam Rato Ebhu bersama beberapa kerabat dekatnya. Posisi Makam Rato Ebhu berhadapan/satu garis lurus dengan gapura Halaman II. Makam-makam ini berderet membujur timur – barat sebanyak 3 sap. Makam terbuat dari batu putih, dibuat tinggi (di atas batur) dengan ghunongan (praba) pada sisi utara.

Makam Rato Ebhu terletak di atas batur dengan profil kaki/batur mirip kaki candi, terdiri atas pelipit-pelipit bagian atas dan bawah yang membentuk foulding. Pada tepian bawah terdapat hiasan motif floraistis sedang pada bidang tengah antara foulding dihias dengan relief motif floraistis, dan pada tepian atas samping dihias dengan motif tepian awan dalam bentuk stilir (floraistis). Permukaan batur ditutup dengan tatanan batu putih (baru, hasil pemugaran tahun1997).

Pada sisi utara batur (bagian kepala) terdapat ghunongan/praba yang berbentuk segitiga dengan hiasan relief bermotif floraistis, bagian ujung kanan-kiri ghunongan membentuk ukel. Selain hiasan floraistis pada bagian atas ghunongan/praba, bagian bawah praba dihias dengan panil-panil segiempat yang diisi dengan motif bunga (roset) yang diselang seling dengan hiasan geometris floraistis. Di samping kanan-kiri praba, terdapat pagar (langkan) rendah sepanjang 60 cm. hiasan pada pagar/langkan ini sama dengan hiasan praba/ghunongan yaitu motif flora, dan bagian ujung pagar berupa pilar dengan bentuk seperti miniatur candi, dengan hiasan tumpal. Pada sisi selatan batur terdapat penampil dengan tangga naik ke batur. Sisi kanan-kiri tangga terdapat pipi tangga berbentuk ukel pada bagian ujungnya serta hiasan pipi tangga berupa relief motif floraistis.

Pada atas batur/kaki terdapat beberapa makam salah satu diantaranya adalah Makam Rato Ebhu yang mempunyai jirat berukuran panjang 230 cm, lebar 90 cm dan tinggi 69 cm. serta nisan yang berukuran tinggi 37 cm, lebar 20 cm, dan tebal 9 cm. menurut informasi juru pelihara Situs Makam Rato Ebhu, nisan yang terdapat pada jirat Makam Rato Ebhu ini tidak asli nisan Rato Ebhu, melainkan nisan kuno lain yang dipasang dimakam tersebut karena nisan pada Makam Rato Ebhu semula hilang (rusak). Selain Makam Rato Ebhu, di atas batur terdapat juga 5 (lima) makam berjirat kecil-kecil yang belum diketahui identitas tokohnya. Kelima makam kecil ini terletak di sebelah selatan Makam Rato Ebhu.

DSC_0251Makam lainnya yang berada di Situs ini yang dapat diidentifikasi adalah makam Rato Baja terletak di atas batur dengan profil kaki/batur mirip kaki candi, terdiri atas pelipit-pelipit bagian atas dan bawah yang membentuk foulding. Pada sisi utara batur (bagian kepala) terdapat ghunongan/praba yang berbentuk segitiga dengan hiasan motif seperti bulu burung mengelilingi tepian. Hiasan praba bagian bawah berupa bidang-bidang panil segiempat sebanyak 7 (tujuh panil). Sedang praba bagian atas polos, di tengah (as) praba terdapat bentuk panil setengah oval timbul yang berhias relief flora, dan tulisan arab pada bagian tengahnya, di samping kanan-kiri praba terdapat pagar (langkan) rendah sepanjang ± 100 cm. Pada sisi selatan/bagian depan terdapat penampil dengan tangga naik. Di atas batur terdapat makam dengan jirat berukuran panjang 205 cm, lebar 35 cm dan tinggi 18 cm. sedang nisan berukuran tinggi 48 cm, tebal 11 cm dan lebar 24 cm. nisan dan jirat masing-masing terbuat dari bahan batu putih.

Makam Pangeran Purwonugroho dan pangeran Maospati . Makam yang memiliki  batur berhimpit sehingga seperti satu kesatuan. Makam P. Purwonugroho terletak diatas sebuah batur berdenah segiempat, terbuat dari batu putih. Kondisi batur sudah sangat rusak dan aus, batu-batu kebanyakan sudah tidak kompak. Bentuk profil batur yang masih tersisa berupa pelipit pada bagian paling bawah dan bidang tegak datar (polos, tanpa relief). Makam P.Purwonugroho ini tidak disertai ghunongan/praba. Bagian permukaan batur tidak tertutup batu (kemungkinan sudah rusak). Makam P. Purwonugroho berjirat dengan tinggi 68 cm, panjang 203 cm serta lebar 38 cm. Makam P. Maospati berdiri di atas batur yang berdenah segiempat dengan bentuk profil batur tegak polos (tanpa relief). Kondisi batur rusak dan aus, batu bagian atas sudah tidak kompak ikatannya. Pada batur sisi utara terdapat ghunongan/praba yang diperkirakan baru karena terbuat dari batu putih berspesi dan ditutup dengan lepa yang terbuat atas semen campur pasir. Permukaan batur tidak tertutup batu putih. Di atas batur terdapat makam P. Maospati yang berjirat persegi dengan ukuran panjang 219 cm, lebar 34 cm dan tinggi 40 cm. Nisan makam diperkirakan asli berbentuk segiempat dengan hiasan seperti motif kelopak bunga. Ukuran nisan tinggi 30 cm, lebar 17 cm, dan tebal 9 cm. Disamping kanan-kiri makam P. Maospati di atas batur yang sama, terdapat dua makam tanpa jirat, yang tidak diketahui identitas dari tokoh yang dimakamkan.

DSC_0092Makam Pangeran Mangkusari terletak di atas batur dengan profil kaki/batur mirip kaki candi, terdiri atas pelipit-pelipit bagian atas dan bawah yang membentuk foulding. Permukaan batur ditutup batu putih, tapi sebagian batu-batu rusak/hilang sehingga terkesan tidak beRatoran. Pada sisi selatan batur terdapat penampil tangga naik dengan ujung balustrade/pipi tangga berhias ukel. Sisi utara batur terdapat ghunongan/praba, yang merupakan susunan ulang dengan spesi semen dan pasir. Di atas batur terdapat sebuah makam (P. Mangkusari) dengan jirat yang masih utuh meskipun sudah aus dan agak tidak kompak susunan batu-batunya. Jirat bertingkat mengecil ke atas dengan hiasan simbar-simbar kecil yang mengelilingi tepian jirat. Ukuran jirat panjang 229 cm, lebar 45 cm serta tinggi 68 cm. Di atas jirat terpasang nisan yang sudah tidak asli meski dari tipenya menggunakan batu putih dan bentuknya seperti nisan-nisan kuno lainnya, akan tetapi antara nisan kepala dan nisan kaki mempunyai bentuk yang berbeda.

Makam Pangeran Binongan terletak di atas batur berdenah segiempat dengan profil kaki/batur mirip kaki candi, terdiri atas pelipit-pelipit bagian atas dan bawah yang membentuk foulding. Tepian samping atas dihias dengan motif flora sedang pada bidang tengah antara foulding dihias dengan panil-panil segiempat yang berisi motif hias bunga dan flora. Sisi utara terdapat ghunongan yang relative masih utuh meski tampak kerusakan. Bagian depan ghunongan berhias motif flora (tumbuhan dan bunga) yang sangat raya cara memahatkannya. Bagian belakang ghunongan juga dihias dengan relief motif floraistis pada bagian atas, sedang bagian bawah hiasan berupa panil segiempat berisi motif bunga (roset).

Di sisi selatan batur terdapat penampil dengan tangga naik menuju makam. Pada sisi selatan ini juga terdapat sisa-sisa pagar di atas batur, namun sisi samping (timur-barat) pagar sudah tidak tersisa/runtuh. Permukaan atas batur ditutup blok-blok batu putih, namun dalam kondisi tidak tertata rapi, sebagian besar batu-batu putih hilang. Di atas batur terdapat sebuah makam berjirat bentuk persegi, dengan panjang jirat 224 cm, lebar 43 cm, dan tinggi 73 cm. Jirat berhias simbar dengan motif bunga, hiasan simbar ini mengelilingi tepian jirat bagian atas dan bawah. Nisan berbentuk oval, berhias relief motif floraistis. Pada nisan kepala, di tengah-tengah nisan terdapat hiasan seperti matahari yang bersinar dengan tulisan berhuruf arab di tengah lingkaran. Ukuran nisan tinggi 47 cm, lebar 23 cm dan tebal 7,5 cm.

DSC_0218Selain makam-makam tersebut terdapat makam lain yang belum dapat diidentifikasi serta makam Cakraningrat II, yang terletak di dalam cungkup (baru) di sebelah barat-laut kira-kira 15 meter dari makam Rato Ebuh. Di dalam cungkup ini (disebut cungkup II) terdapat 17 (tujuh belas) makam, terbagi atas dua sap, berderet memanjang timur-barat. Saf pertama/sebelah utara terdiri atas makam-makam berjirat, terbuat dari batu putih. 4 (empat) buah makam sisi barat berjirat polos, dan 5 (lima) makam sisi timur jirat berhias simbar mengelilingi bagian tepian jirat. Diantara makam yang berjirat hias ini, terdapat makam Pangeran Cakraningrat II dengan nisan terbuat dari batu marmer. Nisan berbentuk seperti kelopak bunga, bagian ujung agak lancip/membentuk kurawal.  Sap kedua/selatan terdiri atas makam-makam tanpa jirat. Selain makam Pangeran Cakraningrat II, semua makam di dalam cungkup ini tidak diketahui identitas tokoh yang dimakamkan.

Sebelah utara Cungkup II (Cungkup Makam Pangeran Cakraningrat II) terdapat makam kuno, yang berdiri di atas sebuah batur. Batur makam ini sebenarnya juga terbuat dari bahan batu putih setinggi 54 cm, akan tetapi sudah dilepa hingga tersisa bagian  anak tangga di sebelah selatan yang masih terlihat batu putihnya. Di atas batur terdapat dua buah makam, yang salah satunya merupakan makam Raden Ayu Komala Intan. Kedua makam di atas batur ini berjirat dengan hiasan profil pelipit-pelipit seta hiasan simbar mengelilingi tepian jirat. Di atas jirat terdapat nisan dengan bentuk melengkung seperti kurawal pada bagian atasnya. Salah satu nisan kepala, yaitu pada makam sebelah timur berhias seperti matahari yang bersinar/seperti bunga (matahari?). ukuran jirat makam sebelah barat: panjang 193 cm, lebar 36 cm, tinggi 50 cm. nisan berukuran tingi 32 cm, lebar 19 cm, tebal 8 cm. Ukuran jirat makam sebelah timur: panjang 180 cm, lebar 35 cm, tinggi 56 cm, sedang nisan (kepala) berukuran tinggi 34 cm, lebar 16 cm dan tebal 10 cm.  

Kegiatan pelestarian cagar budaya yang pernah dilakuan adalah registrasi dan inventarisasi tahu 2001, kegiatan studi teknis pemugaran pada tahun 2001 dan 2022. (Rizki)

Sumber :

Laporan Verifikasi Objek Diduga Cagar Budaya Kab. Sampang , Balai Pelestarian Peninggalan purbakala Tahun 2014

Laporan Studi Teknis Situs Makam Rato Ebhu, Balai Pelestarian Cagar Budaya Tahun 2020