KERAPAN SAPI BRUJUL

0
61

Kerapan Sapi Brujul di Kota Probolinggo adalah sebuah tradisi semacam kerapan sapi di Madura, tapi tidak digelar di lapangan kering tapi di sawah yang penuh lumpur berair. Tradisi ini berawal dari kebiasaan petani yang selalu membajak sawahnya terlebih dahulu menggunakan sapi sebelum menanam padi. Sawah–sawah dibanjiri dengan air hingga penuh, lalu dibajak. Untuk mengusir kejenuhan, para petani ini kemudian berlomba di areal sawah yang berlumpur tersebut.

Lambat laun kebiasaan tersebut menjadi hobi baru bagi para petani. Dari situ kemudian oleh sekelompok petani dikembangkan menjadi sebuah perlombaan Kerapan Sapi Brujul antar petani setiap musim tanam padi tiba. Pada mulanya tidak ada hadiah untuk pemenang atau juaranya karena murni hanya untuk bersenang-senang serta ungkapan rasa syukur kepada sang pencipta yang dirayakan bersama-sama. Hanya saja ada ketentuan bahwa si Joki harus mengenakan udheng (ikat kepala) khas Probolinggo.

Tradisi ini sudah dilakukan turun temurun yang diselenggarakan oleh masyarakat demi keberlanjutan ekosistem budaya di tempat ini. Berdasarkan narasumber yang diwawancarai Kerapan Sapi Brujul di Kota Probolinggo sudah ada dari tahun 1950-an.

dengan Jenis sapi yang digunakan adalah sapi dengan ras sapi brujul, sebagaimana yang digunakan untuk membajak sawah oleh para petani ketika memasuki masa tanam. Kerapan ini berbeda dengan ras sapi merah di Pulau Madura, karena menggunakan sapi bajak padi.

Ajang ini tidak semata-mata mencari kemenangan namun juga menunjukkan salah satu kehebatan sapi yang selama ini membantu para petani. Hal tersebut nampak ketika pada awal ajang ini dikenal oleh masyarakat kota Probolinggo sapi yang akan diadu diarak dari rumah petani hingga tempat perlombaan dengan menggunakan baju kebesaran sapi lengkap dengan hiasan di tanduknya, kalung leher hingga kaki dan kain yang menjuntai di badannya. Pengiringan sapi tersebut dengan baju kebesarannya menggunakan alat musik perkusi Pandalungan Probolinggoan.

Penggunaan busana kebesaran pada sapi yang akan diadu ditentukan berdasarkan pasaran tanggalan Jawa. Jika lomba tersebut jatuh pada hari pasaran Wage maka busana kebesaran yang dikenakan warna hitam, jika jatuh pada hari pasaran Pahing maka baju kebesarannya hijau, kalau jatuh pada hari pasaran Pon maka pakaian kebesarannya merah dan jika jatuh pada hari Kliwon maka memakai pakaian kebesaran berwarna kuning. Secara simbolis warna-warna tersebut mewakili dari warna khas daerah Kota Probolinggo dimana ada percampuran budaya Jawa dan Madura yang berkolaborasi dalam ruang dan waktu tertentu di tempat ini.

(warisanbudaya.kemdikbud.go.id ) Foto Holidatus Sadida