Cerita di Candi Jago (Kunjarakarna)

0
25

Relief ini dipahatkan pada sudut timur laut kaki I dengan arah pembacaan secara prasawya dan berakhir pada sudut barat daya kaki II (teras II).

Kunjarakarna, seorang Yaksa, melakukan meditasi Budha di Gunung Semeru, agar dapat dibebaskan dari wataknya sebagai raksasa dalam inkarnasi berikut. Ia bertekat untuk bertemu Dewa Wairocana (Budha) dan berangkatlah ia. Setelah diijinkan menghadap Wairocana, ia mengajukan permohonan agar diberi pelajaran mengenal dharma dan diberi penerangan mengenai berbagai nasib yang dialami para makluk dunia ini. Sang dewa memuji keprihatinanannya yang demikian berbeda dengan kebanyakan orang, dan memerintahkan agar Kunjarakarna lebih dahulu mengunjungi daerah para orang mati, di bawah kekuasaan Dewa Yama (Yamaniloka). Ini dilakukan Kunjarakarna.

Di persimpangan jalan ia bertemu dua raksasa, Kalagupta dan Niskala, yang menunjukkan jalan kepada arwah-arwah yang lewat, entah ke surga atau ke neraka, sesuai dengan perbuatan mereka pada masa lampau. Jalan selatan menuju daerah besi (lohabumi pattana) dengan pohon-pohon pedang, sebuah gunung dibuat dari besi yang menganga dan menutup sendiri, burung berekor pisau belati dan rerumputan dengan paku-paku sebagai dedaunan. Kunjarakarna menyaksikan bagaimana arwah orang mati disiksa oleh pembantu Yama (para kingkara), dalam aneka bentuk yang mengerikan. Kunjarakarna sangat terharu dengan apa yang dilihatnya, dan ia berterimakasih kepada Yama yang telah memberinya kesempatan untuk melihat dengan mata kepala sendiri nasib mana yang menantikan seorang pendosa. Kemudian Yama menjelaskan panjang lebar mengenai hakekat kejahatan yang meskipun membawa siksaan dan jalan ke neraka, namun lebih banyak dipilih oleh manusia karena berupa jalan lebar dan mudah ditempuh, dibandingkan jalan menuju surga yang tertutup semak belukar dan rumput liar serta penuh dengan segala macam rintangan.

Kunjarakarna melihat bagaimana sebuah periuk besar akan digosok dan dibersihkan untuk menyambut seorang pendosa berat yang dalam tujuh hari lagi ia memulai siksaannya selama 100.000 tahun. Adapun pendosa itu adalah Purnawijaya, raja para gandarwa yang pada saat ini masih menikmati hasil pahalanya dulu di surga. Berita ini menggoncangkan Kunjarakarna, karena ia masih bersaudara dengan Purnawijaya. Kini ia makin merasa terdorong untuk kembali menghadap Wairocana dan menerima pelajaran yang dimintanya.

Dengan hati cemas akan nasib yang akan menimpa sahabatnya, Kunjarakarna pertama-tama menuju surga untuk menceritakan kepada Purnawijaya apa yang dilihat dan didengarnya. Purnawijaya terhenyak, kebahisan harapan akibat berita mengenai kematiannya yang tak terduga-duga serta hal-hal mengerikan yang akan terjadi sesudah itu. Kunjarakarna menasehatinya supaya ia bertabah hati dan mengajaknya menghadap Wairocana untuk memohon bantuan sehingga dapat mengelakkan nasibnya.

Purnawijaya berpamitan dengan isterinya, Kusumagandhawati dan dengan diiringi oleh sepasukan makluk surgawi, bersama sahabatnya (Kunjarakarna) ia berangkat menuju Bodhi (citta) nirmala. Setelah mereka tiba disana mereka menghormat Wairocana sebagai Mahadewa dan memohon anugerah, agar dharma (dharma desana). Setelah selesai menerima ajaran dharma tersebut Kunjarakarna mohon diri untuk menekuni tapa brata dengan lebih khusuk, tetapi Purnawijaya tidak mengikuti. Ia menanyakan kepada Wairocana, bagaimana ia dapat meloloskan diri dari siksaan di neraka. Wairocana menjawab bahwa ia tidak dapat dibebaskan dari kematian, namun ia akan meninggal dalam tidurnya dan penderitaannya hanya akan berlangsung selama 9 hari.

Purnawijaya kembali ke isterinya dan menjelaskan apa yang akan terjadi. Setelah ia berpesan agar sang isteri menantikan kembalinya pada hari yang kesepuluh, ia tertidur dan meninggal. Arwah Purnawijaya diangkat oleh para kingkara dan dimasukkan ke dalam periuk, namun karena ia melakukan Samadhi, ia hampir tidak merasa sakit. Pada hari yang pohon-pohon pedang menjadi parijata-parijata. Para algojo (Yama) datang untuk melihat kebenaran berita tersebut. Ia mendengar dari Purawijaya, bahwa keajaiban itu terjadi karena rahmat Wairocana serta kesaktian ilmu yang diajarkan kepadanya. Jiwa Purnawijaya kembali ke tubuhnya dan ia seolah-olah terbangun dari tidurnya. Kegembiraan ke 3 periuk pecah dan berubah menjadi sebuah manikam dalam bentuk bunga teratai, Kusumagandhawati karena mereka bersatu kembali untuk menikmati hari-hari bahaiga berubah menjadi kekecewaan, ketika suaminya memberitahukan bahwa ia akan menemani Kunjarakarna dalam melakukan tapa. Ia tersedu-sedu menangisi nasibnya dan sedikit terhibur ketika Purnawijaya berusaha untuk memperlihatkan kasih sayangnya.

Keesokan harinya Purnawijaya berangkat menyusul Kunjarakarna ditemani gandharwa serta widyadhari, dan menghormat Wairocana  dengan sembah sujud. Di Bodhicitta, para dewa berkumpul untuk menghadiri upacara dewa puja, diiringi permainan music dan nyanyian yang dilakukan oleh makhluk surgawi, sedangkan para widyadhari memamerkan kecantikannya. Yama yang mewakili para dewa lainnya menanyakan kepada Raja Jina (Wairocana), bagaimana mungkin suatu siksaan yang seberat itu dilunasi dalam beberapa hari saja. Wairocana kemudian menceritakan kisah Muladhara yang menghabiskan segala harta kekayaannya kepada yayasan-yayasan keagamaan serta derma-derma, tetapi hatinya penuh kejahatan dan kesombongan. Dilain pihak terdapat sepasang suami isteri Utsahadharma dan Sudharmika, yang mempergunakan harta mereka yang sangat terbatas untuk berbuat baik dengan maksud yang murni. Oleh Muladhara mereka diusir lalu mereka menjalankan kehidupan sebagai pertapa di pegunungan. Pada saat meninggal mereka belum mampu mencapai pembebasan sempurna, karena masih terikat oleh perbuatan-perbuatan baik yang bersifat lahiriah. Namun demikian mereka menjadi Indra dan Saci di Surga. Muladhara juga menerima balasan atas segala pahalanya dan diangkat menjadi Purnawijaya (raja para gandharwa) biarpun kejahatannya pantas diganjar dengan siksaan yang lebih lama di neraka. Tetapi siksaan itu diperpendek menjadi beberapa hari saja tanpa banyak menderita, karena kesaksian yang terpancar dari ajaran suci yang telah diterima Purnawijaya dan bekas ahli bangunannya (Karnagotra) yang dilahirkan kembali sebagai Kunjarakarna. Selanjutnya Wairocana menerangkan lebih lanjut kepada Purnawijaya, bagaimana perbuatan lahiriah yang baik hanya dapat menghasilkan ganjaran di surga, bukannya pembebasan sempurna. Pembebasan sempurna ini hanya dapat dicapai dengan puņya yang lebih luhur sifatnya yaitu dengan mencapai pencerahan sempurna.

Kini Purnawijaya bertekat untuk mempraktekkan nasehat tersebut dan dengan tujuan itu ia menuju Gunung Semeru bersama isterinya. Ia memberitahukan kepada para bawahannya di surga bahwa ia mengundurkan diri lalu memerintahkan kepada mereka agar kembali ke surga. Mereka patuh walaupun dengan hati sedih karena kehilangan seorang raja yang tiada taranya. Dengan melakukan tapa menurut cara Mahayana (sebagai Mahayana dan mahayani) Purnawijaya dan isterinya (Kusumagandhawati) mencapai pembebasan di surga Jina, dimana Kunjarakarna telah mendahului disana. (Sumber:  Lap.Pendokumentasian Relief Candi Jago, 2007)

                          Tokoh Kunjarakarna dala posisi berdiri.
Kunjarakarna menghadap Wairocana, bersama Dhyani Budha, penjaga arah mata angin. Terdapat sembilan orang tokoh, delapan dalam posisi berdiri memakai mahkota kirita dan terdapat lingkaran prabha (para Dhyani Budha), seorang tokoh dalam posisi duduk menyembah.
Menggambarkan adegan di neraka. Tempat pembakaran berbentuk lembu mendekam (Tambragohmukha) dengan nyala api di bawahnya, didalamnya terdapat orang-orang yang dalam siksa.
Sebuah tempat penyiksaan berbentuk sapi (tambragohmukha) yang kosong, dan seorang tokoh (Kunjarakara) sedang berdiri meninggalkan tempat tersebut.
Seorang bermahkota tinggi (Purnawijaya) sedang berlutut sambil menyembah. Di depannya berdiri seorang dewa (Wairocana), di belakangnya terdapat sesaji bentuk tumpeng dan dalam bokor.
Adegan pertama sebuah rumah (pendopo) dengan dua orang di dalamnya, seorang posisi tidur dan satunya duduk. Kedua, seorang tokoh berpakaian lengkap dan bermahkota berjalan meninggalkan rumah tersebut (roh Purnawijaya meninggalkan rumah).
Yamadipati membawa trisula mengejar tokoh bermahkota (Purnawijaya).
Menggambarkan keadaan di neraka, dengan bentuk-bentuk manusia berkepala binatang.
Tempat penyiksaan di neraka berbentuk lembu (Tambragohmukha) dengan empat orang di dalamnya.
Tokoh berwajah raksasa (Yamadipati) dalam posisi berdiri, tangan kanan berkacak pinggang dan tangan kiri menunjuk depan seolah memberi perintah. Di depannya seorang manusia sedang merangkak dan sebuat tempat penyiksaan berbentuk lembu.
Sebuah rumah berbentuk limasan, terdapat dua orang tokoh pria dan wanita sedang duduk berhadapan.
Dua buah rumah berbentuk pendopo dengan pohon-pohon di sekitarnya dikelilingi pagar.
Dua orang pria berjongkok, yang di depan berwajah raksasa menengok belakang.
Sebuah rumah dengan seoran wanita sedang duduk. Di depan rumah terdapat dua pria berdiri berhadapan. Di belakang terdapat dua punakawan sedang duduk.
                                    Dua orang sedang berkelahi.
Suasana rumah dengan pagar pembatas ;dan pintu gapura berbentuk paduraksa.
Tokoh pria dan wanita berdiri berbincang-bincang di dekat sebuah gapura paduraksa.