You are currently viewing Gedung Birao Tegal, Si Kembar Lawang Sewu

Gedung Birao Tegal, Si Kembar Lawang Sewu

Oleh Ade Maulida Shifa

Gambar 1. Kondisi Gedung Birao sekitar 1910-1935  (sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Gambar 2. Gedung Birao tampak samping (Fahri, 2020)

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Kota Tegal menjadi daerah yang cukup strategis yang ada di pesisir utara Jawa sekitar abad ke-18 hingga ke-20 M. Kondisi ini juga didukung dengan adanya jalur kereta api yang melewati wilayah Tegal dengan menghubungkan kota-kota di sepanjang pesisir utara Jawa. Hal tersebut nampaknya dapat dibuktikan dengan adanya keberadaan bekas kantor perusahaan kereta api swasta Semarang-Cheribon Stoomtram Matschappij (SCS) anakan perusahaan Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), yaitu Gedung Birao. Kantor perusahaan ini dulunya dimanfaatkan sebagai tempat administratif terkait perusahaan kereta api mengingat sedang dibangun jaluan kereta api Cirebon-Semarang.

Gambar 3. Henri Maclaine Pont

(sumber: colonialarchitechture.eu)

Gedung Birao dirancang pertama kali pada 1911 oleh arsitek terkemuka dalam perkembangan arsitektur Belanda, Henri Maclaine Pont, arsitek keturunan Belanda-Bugis yang lahir di Jakarta. Bangunan ini sangat kental dengan gaya arsitektur Belanda. Meskipun demikian, Maclaine Pont mahir dalam menggunakan sumber daya alam setempat dan memperkerjakan buruh lokal dengan harapan sebagai latihan dalam menambah keterampilan mereka. Selain itu pembangunan Gedung Birao juga turut memperhatikan lokasi yang berada di sekitar alun-alun, masjid, dan tempat tinggal Residen atau Gubernur pada masa itu.

Sang arsitek sengaja membuat bentuk bangunan Gedung Birao mirip dengan kantor pusat NIS yang ada di Semarang, Lawang Sewu. Persamaan ini mungkin ditujukan agar nampak kesan kesamaan dan keseragaman antar kantor-kantor milik NIS di berbagai kota. Kesamaan ini ditonjolkan oleh arsitek pada bagian pelengkung-pelengkung, pada gang sekeliling ruang kantor dan tangga utama, serta kesamaan pada bangunan yang dibuat meninggi agar terkesan megah.

Pembangunan Gedung Birao ini turut memperhatikan kondisi lingkungan setempat, sama halnya Lawang Sewu dibuat. Bangunan dirancang sedemikian rupa untuk menyesuaikan dengan iklim, sinar matahari, dan gaya hidup masyarakat lokal pada masa itu. Tidak seperti orang Eropa yang lebih memilih menggunakan bahan impor, Maclaine Pont menggunakan bahan-bahan lokal misalnya kayu jati, batu bata, dan pasir lokal.

Kecerdasan arsitek Gedung Birao terlihat pada bagaimana Maclaine Pont memilih peletakan gedung memanjang dari arah Timur-Barat. Hal ini berkenaan supaya jendela dan pintu terletak pada sisi Utara-Selatan. Dengan demikian cahaya matahari dapat terhindari dari arah Barat dan timur. Peletakan jendela pada sisi Utara-Selatan ini juga berkenaan dengan pengaturan udara yang masuk sehingga mendapatkan udara sebanyak-banyaknya dari arah Utara karena angin laut di siang hari dan dari arah Selatan yang mendapat angin darat pada malam hari. Bangunan ini juga dibuat monoton tanpa fokus sentral, dengan wajah depan bangunan yang terdiri dari dua lantai dilengkapi pelengkung-pelengkung ala Greco-Romawi, diselingi empat menara dilengkapi tangga didalamnya. Pertimbangan ini dibuat agar pengunjung datang melewatinya melalui arah samping Barat atau Timur. Keberadaan pintu dan jendela yang besar berfungsi sama seperti bangunan tropis pada umumnya yaitu mendapatkan udara segar dan sirkulasi udara dalam bangunan mencadi lancar. Selain itu, menara dan tangga juga sangat membantu dalam sirkulasi udara secara kontinu. Setiap ruangannya juga terdapat gang panjang pada laintai satu atau lantai dua yang berfungsi sebagai penghubung, serta isolasi panas cahaya matahari karena ruang-ruang tidak langsung terkena cahaya matahari.

            Gedung Birao ini menjadi saksi bisu sejarah dari masa Hindia Belanda hingga masa kini masih berdiri kokoh. Pada masa setelah Proklamasi, 10 September 1945, bangunan ini digunakan sebagai tempat dikibarkannya bendera Merah Putih, bukti pergerakan warga lokal Tegal memerangi penjajah yang melarang pengibaran bendera pada waktu itu. Beberapa puluh tahun berlalu, Gedung Birao disewakan kepada Yayasan Pancasakti Tegal dan digunakan sebagai kampus 2 Universitas Pancasakti Tegal. Setelah masa sewanya habis, Gedung Birao dibiarkan begitu saja, hingga akhirnya kini didaftarkan menjadi cagar budaya.

BPCB Jateng. 2019. Stasiun Kereta Api Tegal. Diakses melalui: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjateng/stasiun-kereta-api-tegal/ pada 27 Agustus 2021

BPCB Jateng. 2019. Bangunan Bekas Kantor SCS (Semarang Cheribon Stoomtrammaatschappij) Tegal. Diakses melalui: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjateng/bangunan-bekas-kantor-scs-semarang-cheribon-stoomtrammaatschappij-tegal/ pada pada 27 Agustus 2021

De Veies, Gerrit dan Segaar-Howeler, D. 2009. HENRI MACLAINE PONT: architect, constructeur, archeoloog (1884-1971). Den Haag: RS Drukkerij. ISBN/EAN:978-90-76643-36-6

Sumalyo, Y. 2017. ARSITEKTUR KOLONIAL BELANDA DI INDONESIA. D.I. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. ISBN: 978-602-386-816-2