Retrospeksi Penelitian Megalitik Pasemah (3)

0
652
ririfahlen/bpcbjambi

Dukungan Penelitian dan Kajian Ilmu lainnya

Barangkali ada baiknya ditengok pendapat atau tinjauan peneliti lain yang menekankan pada pendekatan geo-arkeologi. Berdasarkan gejala kegunungapian (vulkanologi), bahwa lingkungan alam Dataran Tinggi Pasemah merupakan kawasan gunung api yang memiliki latar sejarah yang panjang tentang gunung api purba yang hingga kini masih perlu diwaspadai. Peristiwa-peristiwa letusan gunung api di masa lampau yang sezaman dengan periode arkeologi pasemah, belum pernah disentuh dan mungkin sulit dipungkiri adanya hubungan antara kehidupan manusia di masa lampau.

Hasil obsevasi geologi, menduga bahwa Gunung Dempo dijadikan kiblat bangunan suci masyarakat megalitik Besemah. Gunung, terutama gunung api aktif, di wilayah nusantara umumnya selalu menjadi tempat yang sakral atau disucikan. Gunung api yang berbentuk kerucut yang puncaknya menjulang tinggi menggapai langit, dipercaya sebagai tempat para dewa, atau bahkan perwujudan dari dewa itu sendiri. Sesembahan selalu diberikan pada kawah-kawah gunung api aktif. Misalnya pada masyarakat Hindu Bali. Hingga sekarang, orang-orang bali selalu menempatkan arah pura ke arah gunung besar utama. Misalnya di Pulau bali sendiri ke arah Gunung Agung. Bahkan, orientasi posisi gunung selalu merupakan arah utara (kaja) bagi masyarakat Hindu Bali. Contoh lain, masyarakat Hindu Tengger selalu melemparkan sesajen dan hewan-hewan kurban pada Hari Kesodo ke kawah Gunung Bromo yang bergelok dan selalu berasap. Di Jawa Barat, di kabupaten Cianjur, sebuah bangunan megalitik yang tersusun dari kalom-kolom batu, juga diarahkan ke puncak Gunung Gede, gunung yang memang dianggap sakral bahkan hingga Kerajaan Sunda dan Pajajaran berkuasa di Jawa bagian barat.

Secara geologis, gunung api yang sedang tidak aktif memberi manfaat besar bagi masyarakat yang hidup di kaki-kakinya. Tanahnya umumnya subur karena limpahan dari letusan memberikan unsur-unsur kimia baru yang segar dari perut bumi. Hal ini menjadikan tanah yang terbentuk nantinya kaya akan unsur yang diperlukan bagi pertumbuhan tumbuhan. Selain itu, karena puncaknya yang tinggi, gunung api juga seolah-olah menjadi seperti magnet untuk awan-awan sehingga mendekat dan mencurahkan hujan di atasnya. Akibatnya, sumber daya air melimpah ruah dari badan gunung api. Mata air akan keluar di kaki-kakinya. Sungai-sungai berair bersih mengalir dari lereng-lerengnya. Udara gunung api juga nyaman dan sejuk.

Tetapi ketika aktif, letusannya sangat mengerikan dan mengancam kehidupan. Ledakannya menggelegar luar biasa, menciutkan nyali para penghuni di bawahnya. Magma, berupa cairan batu pijar bersuhu sekitar 1000 °C, ketika diletuskan menciptakan suatu fenomena kembang api yang sesungguhnya indah tapi mengerikan. Aliran magma yang kemudian merayapi lembah-lembah ke arah hilir sebagai aliran lava, masih bisa menghanguskan apa yang dilewatinya dengan suhu masih 700 °C. Belum lagi aliran yang sangat cepat awan panas yang menerjang lereng masih bersuhu 500 °C. Tidak akan ada yang dapat selamat dari gunung api yang sedang murka ini. Personifikasi sebagai dewa yang di satu waktu begitu pemurah dan di waktu yang lain menunjukkan angkara murkanya, mungkin akhirnya membuat masyarakat megalitik menganggap gunung api sebagai representasi yang maha kuasa, yang selain memberi berkah, juga sekaligus musibah.

Dengan menggunakan analogi seperti itulah, masyarakat megalitik di Nusantara menjadikan gunung api menjadi sesuatu yang patut dihormati. Maka ada dugaan bahwa di Dataran Tinggi Besemah pembangun arca-arca dan bangunan-bangunan megalitik mengarahkannya ke Gunung Dempo, karena gunung api itu hingga sekarang masih aktif. Tanggal 25 September 2006, lima tahun yang lalu, dari kawah aktifnya yang dikenal sebagai Gunung Merapi, Gunung Dempo meletus menghasilkan awan debu setinggi 1 km di atas puncaknya. Di antara ketenangan yang sangat lama, sekali-kali gunung api ini mengingatkan adanya kekuatan alam yang sangat luar biasa dan bisa membinasakan.

Dalam upaya penggalian dan penemuan situs-situs arkeologi diharapkan kepada masyarakat terutama para guru dan siswa untuk mulai peran sertanya, kiranya potensi arkeologi dan cagar budaya yang terdapat di Kabupaten Empat Lawang, Sumatra Selatan dapat diungkapkan dan disosialisasikan, sehingga dapat diketahui dan dipahami oleh masyarakat secara lebih luas.

Selain itu potensi arkeologi wilayah Empat Lawang yaitu adanya situs-situs tempayan kubur yang berlokasi di Kunduran dan Muara Betung. Data ini tentu dapat melengkapi pembahasan budaya megalitik Pasemah dalam konteks permukiman, social budaya dan kehidupan religi yang telah berkembang pada masa lampau.

Dengan mempelajari potensi arkeologi yang terdapat di wilayah Empat Lawang, maka wilayah Lahat dan Pagar Alam sulit dipisahkan, tetapi sebaiknya dilakukan pemetaan secara singkoronik melalui analisis integrative untuk melihat korelasi data di masing-masing wilayah. Dari gambaran data arkeologi yang dimiliki Empat Lawang, maka penting pula dilakukan kajian geografis secara diakronis untuk memahami sekuens budaya prasejarah yang lebih awal hingga pada pase budaya megalitik maupun sesudahnya.

(artikel ini ditulis oleh Nasruddin, disadur dari tulisan yang berjudul “Potensi Data Prasejarah Dari Lahat Hingga ke Empat Lawang”, yang telah dipublikasikan dalam buku “Megalitik Pasemah, Warisan Budaya Penanda Zaman”)