Ditemukan Setelah Delapan Dekade
Batu Tatahan, demikian H.V. Vonk menyebut nama batu megalit tersebut ketika berjumpa dengan masyarakat Dusun Air Puar pada tahun 1933. Perjalanan dan pertemuan H.V. Vonk dengan Batu Tatahan di Air Puar memberikan kesan yang mendalam baginya. Kesan ini ditulis dalam catatan hariannya sebagai kontroler saat bertugas di daerah Pasemah yang dilaporkan pada tahun 1934.
Delapan dekade berlalu, keberadaan Batu Tatahan ini seolah hilang ditelan diwaktu. pesan yang ditulis Vonk, seharusnya megalit ini telah dapat diketahui dan tentunya bisa menjadi bahan analisis dalam mendalami kajian tentang tinggalan megalitik di Bumi Pasemah. Tetapi tidak satupun yang bisa dipersalahkan dengan luputnya sebuah megalit yang telah dikabarkan penemuannya pada tahun 1933.
Desa Air Puar, Kecamatan Mulak Ulu, Kabupaten Lahat merupakan salah satu daerah yang dapat dijangkau dengan mudah, karena akses jalan cukup baik dan tidak terisolasi. Selain dari batu tatahan, oleh masyarakat memberi informasi bahwa terdapat beberapa tinggalan megalitik lainnya berupa batu dakon yang tersebar di lahan-lahan persawahan.
Pada saat ini, informasi dan pelaporan masyarakat terhadap batu yang diduga merupakan tinggalan megalit yang ada di lingkungan mereka, menjadi informasi pertama yang mengungkapkan keberadaan megalitik yang belum pernah ditemukan dan terdata. Sudah saatnya diperlukan sebuah metode baru yang bisa melacak dan menyisir keberadaan megalitik di setiap jengkal Bumi Pasemah, baik berada di lembah, lereng, bukit, sungai, kebun, sawah dan lingkungan pemukiman masyarakat.
Imaji yang dituangkan pada batu tatahan Air Puar itu sangat meyakinkan bagi Bernet Kempers (1988) untuk menyebutkan tentang tinggalan tersebut adanya pengaruh Dong Son yang telah tiba di Kepulauan Indonesia di abad pertama masehi. Dugaan ini sebenarnya telah dilontarkan jauh sebelumnya oleh Van der Hoop (1932) bahwa tinggalan megalitih Pasemah memiliki pengaruh kuat dari budaya perunggu. Ia melihat indikasi itu pada guratan gambar menyerupai nekara yang tertera pada batu tatahan, maupun gambar benda-benda logam yang melingkar pada pergelangan tangan dan kaki di batu gajah maupun pada arca-arca batu lainnya (Bernet Kempers 1988: 11).
Pada Dokumentasi Batu Tatahan yang baru didokumentasikan pada April 2016, Profil gambar yang ada pada batu ini masih dapat dilihat dengan jelas. Gambar yang tertera pada batu itu menunjukkan kepala sosok tokoh dan hewan berada diposisi bawah. Hal ini dapat dilihat dengan keberadaan batu penyangga yang tepat berada di gambar kepala sosok tokoh manusia pada Batu Tatahan. Keberadaan batu megalit ini sekarang berada dilingkungan perkebunan kopi masyarakat dan hanya berjarak sekitar 150 m dari sungai. Letak temuan batu Tatahan Air Puar sejak penemuan H.W Vonk (1933) hingga sekarang (2016) tidak mengalami perubahan, tetap di area dan lokasi yang sama, begitu pula dengan posisinya yang terbalik, artinya praktis tidak mengalami gangguan, baik dari alam maupun gangguan manusia.
Berdasarkan penelusuran dan tinjauan ke lokasi, tentunya informasi ini memberikan data baru setelah sekian lama tidak diketahui keberadaannya. Minimnya informasi dan masih banyaknya masyarakat yang belum mengenal perihal tinggalan megalitik yang ada di sekitar lingkungan mereka, merupakan ancaman nyata yang memperbesar peluang terjadinya perusakan (vandalisme) dan bahkan hingga hancurnya tinggalan megalitik yang ada. Penemuan kembali Batu Tatahan yang sebelumnya pernah dilaporkan Vonk merupakan sebuah peringatan dan pelajaran bagi kita bersama. Bahwa potensi tinggalan megalitik di Bumi Pasemah, hendaknya harus ditindaklanjuti dengan perhatian yang lebih besar dan berkelanjutan. Diperlukan sebuah program dan strategi yang tepat untuk bisa mengungkap dan mendata seluruh tinggalan megalitik yang ada, sehingga pelindungan dan pelestarian tinggalan megalitik yang telah terpetakan bisa terpelihara dengan baik.
(artikel ini ditulis oleh Nasruddin, disadur dari tulisan yang berjudul “BATU TATAHAN AIR POEAR RAIB”, yang telah dipublikasikan dalam buku “Megalitik Pasemah, Warisan Budaya Penanda Zaman”)