Studi Konservasi Cagar Budaya Di Pura Pegulingan

0
2647

Latar Belakang

BPCB Bali atau Bali Pelestarian Cagar Budaya wilayah kerja Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara timur memiliki tugas pokok dan fungsi untuk melakukan perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan terhadap cagar budaya di wilayah kerjanya. Cagar budaya tersebut dapat berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya baik yang berada di daratan maupun di air. Cagar budaya memiliki sifat rapuh, unik, langka, terbatas, tidak terbaharui dan rentan dari ancaman baik faktor alam maupun ulah manusia. Sehingga kegiatan-kegiatan pelestarian terhadap cagar budaya menjadi penting untuk dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menanggulangi kerusakan dan menjaga keterawatannya.

Salah satu kegiatan pelestarian yang dilakukan oleh Pokja Pemeliharaan yaitu kegiatan studi konservasi. Sesuai dengan anggaran tahun 2020 kegiatan studi konservasi yang dilakukan oleh Pokja Pemeliharaan yaitu studi konservasi terhadap Pura Pegulingan di Dusun Basangambu Tampaksiring Gianyar. Kegiatan studi konservasi ini dilakukan untuk mendapatkan atau merekam data keterawatan dari cagar budaya di Pura Pegulingan. Kegiatan studi konservasi ini menjadi penting karena dapat digunakan untuk menentukan tindakan konservasi yang tepat yang pada akhirnya bertujuan untuk menanggulangi dan mencegah kerusakan terhadap cagar budaya tersebut.

Letak dan Lingkungan

Pura Puseh Pegulingan  berlokasi di  Desa Basangambu, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar.  untuk mencapai lokasi pura dapat dijangkau dengan mudah dengan menggunakan kendaraan bermotor, melalui jalan beraspal kearah timut laut dari situs Pura tirta Empul, dari Kota Gianyar situs ini berjarak sekitar ± 18 kilometer, lebih tepatnya berada di tengah area persawahan penduduk. Pura ini berada disebelah barat jalan  menuju ke daerah Kintamani Kabupaten Bangli dengan letak yang sangat setrategis karena berada ditengah-tengah hamparan persawahan dan tegalan. Adapun batas-batasnya adalah disebelah utara, merupakan areal persawahan,  barat merupakan hamparan tegalan, disebelah selatan pura adalah sawah dan sebelah timur merupakan jalan raya dan pemukiman penduduk. Dilihat dari topografis desa Manukaya terletak didaerah dataran tinggi yang beriklim sejuk dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

  • Disebelah Utara : Desa Pengelumbaran
  • Disebelah Barat : Desa Pupuan
  • Disebelah Selatan: Desa Tampaksiring
  • Disebelah Timur : Desa Desa Susut

Latar Sejarah

Berdasarkan Lontar Usana Bali Pura Pegulingan di bangun pada masa pemerintahan Raja Masula Masuli di Bali pada tahun Caka 1100 (1178 M). Dalam Lontar Usana Bali di uraikan sebagai berikut: “Sampun Puput prasama stanan Bhatara Kabeh, Lwirnya Pura Tirta Empul, Mangening, Ukir Gumang Jempana Manik ngaran Gulingan, Alas Arum Ngaran Blahan, Tirta Kamandalu, Pura Penataran Wulan, Puser Tasik, Manik Ngereng, sami karancana oleh Dalem Mesula-mesuli pareng sira Mpu Raja Kertha, Miwah Hana Pasapan Bhatara Nguni, siapa angencak aci kene sipat jah tasmat, apan pewarah Sang Hyang Bhatara Purusa maha Witnya Bhatara Wisnu, Iswarah, Matemahan dori Sanghyang Tri Cakti…………………………………………….” dan seterusnya.

Sudah selesai acara tuntas parhyangan Bhatara sami, seperti Tirta Empul, Mangening, Ukir Gumang, Jempana Manik atau Gulingan, Alas Arum atau Bhatara Tirta Kamandalu, Pura Penataran Wulan, Puser Tasik, Manik Ngereng, semua di rencanakan oleh Baginda Raja Masula Masuli bersama dengaqn Mpu Raja Kertha dan ada Sabda dari Bhatara dahulu, siapa yang menghentikan Aci, kena marabahaya karena ada Sabda Sang Hyang Dharma Tri Purusa sebagai awalnya Bhatara Brahma, Wisnu, Iswara yang berprabawa atau berwujud Sang Hyang Tri Sakti……………… dan seterusnya. Selanjutnya dalam lontar usaha Bali juga disebutkan:

“Mangke ucapan Ida Dalem Masula Masuli di Pawesmannya ring pejeng, Duk Ika Ida Dalem menewulin peputih pramanca para mantri, miwah sira Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Gana, Mpu Kuturan, muwang i Prabekel Bali pareng tatanin Bendesa Wayah. Matumahan Abeking Iwan petanu Duk Ika Hana Wacanan Ҫri Bhupalaka mangda ngaryanin parhayangan Tirta Empul stana Bhatara Hyang Indra wenang tepasan, mwang parhayangan mangening stana bhatara Hyang Suci Nirmala wenang Maha Prasada Agung kasukat oleh Mpu Rajakertha, apapalihan mahadya metning asta kasali. Duk Ika suka prasaring wang Bali angawa pura. Pura penembahan jagat kabeh kerajangin untuk Ҫri Masula-masuli, mwah panjake sami liang, sami kawulanan pada mase medal paras, mwang reramon salwira batuh, pejeng, tampaksiring……”

Artinya kurang lebih sebagai berikut:

“Sekarang diceritakan Baginda Rada Masula-Masuli di Istananya di Pejeng. Tatkala itu beliau memerintahkan pepatih prapanca, Para Mantri, serta para Mpu seperti Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Gana, Mpu Kuturan dan I Prabekel Bali. Ada permintaan Baginda Raja kepada Mpu semua serta I Prabekel Bali, beserta bendesa wayah sehingga ramai di pejeng, di sebelah barat sungai pakerisan dan disebelah timur sungai petanu. Saat itu ada sabda Baginda Baginda Raja supaya membangun perhyangan (pura) Tirta Empul sebagai perhyangan Bhatara Hyang Indra wenang terpesana, dan parhyangan Mangening stana Bhatara Hyang Suci Nirmala wenang maka prasada Agung, diukur oleh Mpu Rajakarta, dengan pepalihan berdasar Asta Kosali. Tatkala itu senang hatinya orang bali semua, membangun pura-pura sebagai junjungan jagat seluruhnya du pimpin oleh Baginda Raja Masula Masuli, serta rakyat merasa senang, semua rakyat sama – sama memgeluarkan (Ngemedalan) paras (Batu Paras) serta bahan-bahanlainnya, seperti Blahbatuh, pejeng dan tampaksiring….”

Ada lagi sebagai berikut:

Duk Ida Gupuk Panjaka mengasyanin purana ring Tirta Empul mwang ke Mangening, sampun karancana oleh I Bendesa Wayah, ya ta ngawa pakraman Hyang Indra, hana pancaran sami pada matunggul surat aksara sumedang pekaryan Mpu Angganjali, wenang ketama oleh wang bali kabeh, tan kacarita puput kakaryaning sami tatani Ratu, mangkana wetnia nguni, wus mangkana hana swena 3 warsa sampun puput prasama stana Bhatara kabeh Iwirnya Pura Tirta Empul, Pura Mangening, Ukir Gumang, Jempana Manik ngaran Gulingan, Alas Arum, Ngaran Belahan Tirta Kamandalu, Pura Penataran Wulan, Puser Tasik, Manik Ngereng, sami karancana oleh Dalem Masuka Masuli sareng sira Mpu Rajakertha…..

Artinya:

Waktu itu sibuk rakyatnya mengerjakan pembangunan pura Tirta Empul sampai ke Mangening sesuai dengan yang direncanakan oleh I Bendesa Wayah yaitu membuatperhyangan Bhatara Indra, terdapat pancoran semua diberi tanda huruf sumedang dengan tujuannya yang mempergunakan huruf yang dapat di baca tanda huruf tersebut yang mempergunakan huruf sumedang sebagai hasil karya Mpu Angganjali yang patut diwarisi oleh orang bali semua. Tidak di kisahkan selesai dikerjakan sesuai dengan ketentuan baginda Raja. Demikian asal mulanya dahulu dan setelah itu ada lamanya tiga tahun selesai seluruhnya perhyangan Bethara semua, seperti Pura Tirta Empul, Mangening, Ukir Gumang, Jempana Manik atau Gulingan, Alas Arum Ngaran Belahan Tirta Kamandalu, Pura Penataran Wulan, Puser Tasik, Manik Ngerang, semua direncanakan oleh Baginda Raja Masula Masuli bersama dengan Mpu Rajakertha.

Berdasarkan Mitologi, penuturan tua-tua Desa dan Kitab Babad pasek Karya I Gusti Bagus Sugriwa yang menguraikan tentang carita Mayadenawa diceritakan, dikisahkan bahwa Mayadenawa sebagai Raja di Bali yang sangat sakti, tetapi angkara murka sehingga dia menganggap dirinya sebagai Dewa yang harus disembah dan diaturi persembahan. Dia tidak mengijinkan masyarakat/orang-orang Bali untuk memohon Tirta Serining tahun di besakih agar tanaman-tanaman menjadi subur dan orang-orang mendapat umur panjang. Dengan demikian seorang pun tidak berani meneruskan perjalanan ke Besakih. Raja Mayadenawa sangat angkara murka durhaka terhadap para Bhatara, sehingga keadaan di Bali menjadi kacau karena Mayadenawa menghentikan Aci.

Pada suatu ketika Bhatara Hyang Mahadewa mengadakan pertemuan, di hadap oleh kelima dewa-dewa di balai pertemuan di Besakih. Yang dibicarakan tiada lain ialah tentang halnya Sang Mayadenawa yang sangat angkara murka, melarang orang-orang yang hendak mengadakan aci-aci.

Setelah mendapatkan kesepakatan, maka sekalian dewa-dewa pergi ke Gunung Semeru menghadap Hyang Pasupati, disertai pula oleh Mpu Semeru. Setelah tiba di Gunung Semeru, semuanya diam menenangkan pikiran mencipta Hyang Pasupati , tiba-tiba datanglah Hyang Pasupati lalu Bersabha “Anakku Mahadewa, Genijaya, apakah kehendakmu maka dengan mendadak engkau menghadapku sebagai mengandung dukacita, ceritakanlah kepadaku.”

Seraya menyembah Hyang Mahadewa “Ya, Bhatara, hamba minta ijin Bhatara, untuk membunuh Pun  Mayadenawa karena sangat angkuh momo murka, memutuskan aci. Sepi kini negara Bali demikian juga sepi di kahyangan – kahyangan.” Jika benar demikian, sabda Bhatara Hyang Pasupati “Aku memberi ijin, semoga kesampaian maksudmu. Bhatara Pasupati menggaib (menghilang) dari pandangan.

Diceritakan setelah berkumpul sekalian dewa-dewa di Besakih dan para resigana terutama Hyang Indra, demikian pula sekalian dewa-dewa di Bali semua turut, terutama pendeta lima yang menjadi pengajar perang senjatanya semua sakti-sakti yang keluar dari Sira Mpu Geninjaya bersenjata Ki Baru Tinggi, Mpu Semeru bersenjata Ki Baru Angin,  Mpu Gana bersenjata Ki Mpu Galuh. Mpe Kuturan bersenjata Ki Lebur Jagat Mpu Bradah bersenjata Ki Hutan Ritis, Gemurus Suara Sungu.

Hal itu semua didengar oleh Sri Mayadenawa karena telah mengadakan utusan untuk menyelidiki oleh sebab itu segera menyuruh orangnya untuk memukul kentongan besar. Tiada lama antaranya berdentum-dentum bunyi kentongan. Maka berdatanglah para menterinya semua siap dengan senjata masing-masing diikuti oleh laskar yang juga sudah siap dengan senjatanya. Gemuruh suara bunyi-bunyian dipadu dengan sorak-sorak yang tidak berkeputusan ditingkah pula oleh ringkikan kuda bersama di angkasa, menjadi suatu tanda perang akan dimulai. Yang menjadi kepala perang adalah Ki Patih Kala Wang, lalu bertemu dengan laskar dewa di tengah jalan maka terjadilah peperangan yang sangat dahsyat, setelah beberapa hari lama pertempuran itu, dengan sama-sama gagah perkasa, maka bertumpuklah mayat orang-orang mati dalam perang itu seakan-akan gunung tampaknya berlautan darah. Mayadenawa yang sakti dan dapat berubah wujud dikejar dia di arah barat laut, dia berubah menjadi labu dan tempat itu sekarang disebut Siluk Tabu. Laskar Hyang Indra dengan kepala perangnya, Patih Kala Mang tahu bahwa labu itu adalah Mayadenawa lalu dikejar ke arah barat daya, mejadi seorang bidadari kendran (surga), juga laskar memburu ke arah itu, tetapi bidadari itu lenyap dan Mayadenawa lari ke timur laut, menjadi seekor Manuk Raya (Ayam Besar) Tempat itu sekarang menjadi Manukaya.

Kemudian Kala Wong menciptakan Tirta Tirta Cetik (Tirta Mala) dengan pastu (Kutukan) : “Wastu asing, adius mala ika rawah asing angium pada mati” Artinya siapa yang mandi dan minum air cetik itu akan mati. Karna kelelahan, kehausan maka para laskar Dewa Indra ada yang mandi dan ada juga minum air cetik itu, akibatnya banyak diantaranya yang mati.

Sementara itu Hyang Indra Guling (Istirahat) diatas Jempana Manik di Hutan sebelah timur Tirta Mala itu, datanglah utusan dari laskar yang masih hidup, menyampaikan kepada Hyang Indra, bahwa banyak laskar/Prajurit Dewa Indra mati akibat minum tirta mala. Kemudian Bhatara Indra memanggil para Bagawantanya untuk dapat menciptakan tirta untuk menghidupkan para laskar yang mati. Lalu para Bagawanta beryoga untuk menciptakan tirta dari kekuatan batinnya, namun sayang tidak berhasil. Lau Bhatara Indra mengutus laskarnya untuk mohon Tirta Kamandalu di Sorgaloka.

Diceritakan utusan itu telah kembali dari mohon Tirta Kamandalu, sampai pada suatu tempat disebelah timur laut dari Dewa Indra aguling, Tirta Kamandalu itu pecah payuk parenya (tempat tirta) dan tirtanya tumpah, hutannya menjadi harum semerbak, sekarang di hutan itu berdiri pura Belahan Alas Arum (Puta Dangkahyangan). Utusan tadi menceritakan kejadian tumpahnya tirta kamandalu kepada bhatara Indra serta memperlihatkan bukti ambu, tali dari payuk pere. Bhatara Indra mengambil ambu itu dan langsung melempar ke arah tenggara dengan ucapan : “Watsu, kawekas menadi desa yang ambu” (sekarang desa Basangambu). Kemudian, Bhatara Indra mengambil tedung dan umbul-umbul lalu turun ke arah barat serta di pacangkan, muncul muncrat air/tirta yang dipercikan serta diminum oleh para Prajurit (sekarang Pura Tirta Empul), maka semua laskar/prajurit Bhatara Indra hidup kembali serta siap untuk melanjutkkan peperangan mengejar Mayadenawa. Tibalah saatnya Sri Mayadenawa dibinasahkan dalam pertempuran, serta maha Patihnya yang bernama Kala Wong. Hal itu terjadi di pangkung patas, mereka berdua berubah menjadi tawulan batu padas/paras. Tawulan batu padas itu dipanah oleh Patih Kala Wong, dari selurub sendi tulangnya mengaliri darah tidak henti-hentinya sehingga merupakan anak sungai. Maka darah itu dikutuk oleh Bhatara dinamai Wwai Mala, kini dinamai Tukad Petanu. Dari kata aguling maka Pura itu disebut Pura Pegulingan Tukad Petanu : Tukad : sungai, petanu suaranya masih, air sungai itu suara Mayadenawa masih kedengaran.

Pada awal Januari 1983 pada saat Krama Desa Adat Basangambu bekerja menurunkan batu padas pada bangunan tepas guna dapat didirikan sebuah padmasana Agung, ditemukan beberapa benda kekunaan seperti Arca dan pragmen lainnya. Semakin kedalam lalu ditemukan pondasi bersegi delapan, maka oleh bendesa adat (Jro Mangku Wayan Periksa) pekerjaan dihentikan, kemudian langsung dilaporkan ke Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali di Bedulu Gianyar. Atas laporan itu maka petugas purbakala langsung mengadakan peninjauan ke pura pegulingan. Mengingat sangat pentingnya temuan-temuan itu, dipandang perlu untuk diadakan penelitian lanjutan, untuk hal tersebut pihak kantor suaka mengadakan pertemuan dengan Krama Desa Pengemong beserta semua penjuru, untuk minta persetujuan rencana kerja yang akan dilaksanakan di Pura Pegulingan.

Setelah mendapat persetujuan krama pengemong, maka penelitian dan penggalian dilakukan oleh Kantor Suaka dari Juli sampai Desember 1983.

Selama penggalian ditemukan antara lain pondasi bangunan segi delapan, arca Budha, kotak batu padas berisi material tanah liat yang bertuliskan Formula Ye-Te dengan huruf Pranagari berbahasa Sansekerta yang menguraikan mantra agama Budha Mahayana mengenai ajaran Dharma. Berdasarkan Prasasti diatas dan dengan perbandingan bentuk huruf dengan prasasti Airtiga maka dapat di duga bahwa candi pegulingan dibangun pada akhir abad ke IX atau awal abad ke X masehi.

Deskripsi Cagar Budaya/Data Arkeologi

Pada awal Januari 1983 pada saat Krama Desa Adat Basangambu bekerja menurunkan batu padas pada bangunan tepas guna dapat didirikan sebuah padmasana Agung, ditemukan beberapa benda kekunaan seperti Arca dan fragmen lainnya. Semakin kedalam lalu ditemukan pondasi bersegi delapan, maka oleh bendesa adat (Jro Mangku Wayan Periksa) pekerjaan dihentikan, kemudian langsung dilaporkan ke Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali di Bedulu Gianyar. Atas laporan itu maka petugas purbakala langsung mengadakan peninjauan ke pura pegulingan. Mengingat sangat pentingnya temuan-temuan itu, dipandang perlu untuk diadakan penelitian lanjutan, untuk hal tersebut pihak kantor suaka mengadakan pertemuan dengan Krama Desa Pengemong beserta semua penjuru, untuk minta persetujuan rencana kerja yang akan dilaksanakan di Pura Pegulingan.

Setelah mendapat persetujuan krama pengemong, maka penelitian dan penggalian dilakukan oleh Kantor Suaka (BPCB Bali), dari Juli sampai Desember 1983.

Selama penggalian ditemukan antara lain pondasi bangunan segi delapan, arca Budha, kotak batu padas berisi material tanah liat yang bertuliskan Formula Ye-Te dengan huruf Pranagari berbahasa Sansekerta yang menguraikan mantra agama Budha Mahayana mengenai ajaran Dharma.

Berdasarkan Prasasti diatas dan dengan perbandingan bentuk huruf dengan prasasti Airtiga maka dapat di duga bahwa candi pegulingan dibangun pada akhir abad ke IX atau awal abad ke X masehi. Prof. Dr. Soekmono (Arkeologi) mengemukakan dalam Harian Bali Post tanggal 15 September 1983 sebagai berikut:

“Penemuan kepurbakalaan di Pura Pegulingan Tampaksiring berupa fondasi bersegi delapan dan beberapa area Budhi Satwa memberi petunjuk peninggalan itu bersifat ‘Budhistik –  Siwaistik’ dan tidak mustahil penemuan monumental pertama di Indonesia. Selain peninggalan berupa arca Budha dan Fragmen lainnya juga ditemukan panca datu serta arca yoni yang bersifat Siwaistik. Dengan demikian maka pada saat berdirinya candi /  stupa pegulingan sudah terjadi pencampuran / sinkritisme paham Siwa Budha itu berarti pemujaan terhadap Siwa (Hindu) dan Budha saat itu sudah berjalan dengan baik dan damai.”

Temuan-temuan Kekunaan:

Dari hasil penelitian oleh Kantor Suaka Sejarah dan Purbakala, dapat ditemukan seperti yang di tulis (oleh: I Made Sutaba, I Made Sepur Separsa, I Ketut Darta, I Made Suanta, Gusti Made Rena) dalam buku, ‘Pura Pegulingan Temuan Baru Persebaran Agama Budha di Bali’, antara lain:

  1. Arca Budha

Bersama dengan sisa – sisa bangunan ini terdapat fragmen – fragmen arca Budha setelah fragmen itu disususn ternyata mungkin dahulu ada lima buah arca Budha. Seperti Arca Dhyani Budha – Aksobhya dengan sikap Bhumisparca Mudra dan yang lain Arca Dhyani Budha Amaghasio. Arca Budha dari emas yang berdiri. Arca ini Dhyani Budha Ratnasambhawa, berdiri di atas lapik padmasana terbuat dari perunggu. Arca Budha tersebut hampir sama dengan Gaya Arca Budha Goa Gajah.

  1. Prasasti

Temuan prasasti di Pura Pegulingan berupa materai tanah liat, lempengan emas bertulis telah dan dibaca oleh Almarhum Drs. M. Boechari, sebuah diantara materi tanah liat itu berisi Mantra Formula Ye-Te dengan huruf Pranagari berbahasa sansekerta yang merupakan mantra agama Budha Mahayana mengenai tiga ajaran Dharma. Pada pusat (ditengah-tengah) pondasi yang bersegi delapan ditemukan relief, yang menggambarkan dua gajah saling membelakangi, berdiri di kiri kanan sebuah gapura di duga bersangkala memet, gajah atau hasti angka 8 gapura 9, gajah 8 atau tahun Caka 898 (976 M). Dalam bilik stupa ini didapatkan arca Budha dari emas, lempengan emas, perak dan perunggu, serta pedagingan. Ini mungkin menggambarkan tahun pendirian Candi Pegulingan.

Dari uraian-uraian diatas dapat diasumsikan bahwa pada tahun 976 M, adalah pendirian candi pegulingan dan tahun 1178 M adalah selesainya Parhyangan Pura Pegulingan pada masa pemerintahan raja Masula – Masuli.

Data Keterawatan

Dari hasil pengamatan langsung di lapangan, dapat diketahui kondisi Cagar Budaya di Pura Pegulingan diklasifikasikan menjadi 5 jenis kerusakan/pelapukan, yaitu: kerusakan mekanis, kerusakan fisis, pelapukan chemis, pelapukan biotis dan vandallisme. Dari hasil pengamatan dapat disampaikan kondisi benda ada yang mengalami satu jenis kerusakan dan ada satu benda yang mengalami lebih dari satu jenis kerusakan.

Kerusakan Mekanis

Kerusakan mekanis adalah suatu proses kerusakan yang disebabkan oleh adanya gaya statis maupun dinamis. Adapun bentuk dari kerusakan ini berupa: retak dan gempil. Jenis kerusakan ini terjadi dengan persentase 2%.

Kerusakan Fisis

Bentuk dari kerusakan Fisis berupa aus dan pengelupasan pada permukaan benda Cagar Budaya. Penyebab dari kerusakan ini adalah faktor–faktor fisis seperti: suhu, kelembaban, angin, air hujan, dan penguapan. Jenis kerusakan ini terjadi hampir 100%.

Pelapukan Chemis

Pelapukan Chemis terjadi sebagai akibat atau adanya reaksi kimia. Dalam proses ini faktor yang berperan adalah air, penguapan, dan suhu. Gejala yang tampak berupa aus dan endapan kristal-kristal garam terlarut pada benda Cagar Budaya. Pelapukan Chemis yang terjadi sekitar 30%.

Pelapukan Biotis

Pelapukan Biotis disebabkan oleh kelembaban yang tinggi, sehingga memicu pertumbuhan mikroorganisme seperti: lichenes, moss dan algae menjadi subur. Jenis pelapukan ini terjadi dengan persentase 80%.

Rencana Penanganan Konservasi

Tindakan konservasi akan dilakukan berdasarkan diagnosis terhadap permasalahan yang terjadi pada Cagar Budaya. Berdasarkan hasil observasi di lapangan, penangan yang akan dilakukan terhadapa Cagar Budaya di Pura Pegulingan, yaitu:

  1. Pembersihan Mekanis

Pembersihan mekanis yang akan dilakukan terdiri dari pembersihan mekanis kering dan pembersihan mekanis basah. Pembersihan mekanis kering dilakukan dengan membersihkan akumulasi debu, kotoran, tanaman liar serta pertumbuhan mikroorgaanisme yang megering dan menempel pada Cagar Budaya. Peralatan yang akan digunakan berupa sapu lidi, sudip bamboo, sikat ijuk, sikat gigi, dan kuas eterna. Sedangkan pembersihan mekanis basah yang akan dilakukan yaitu dengan disertai guyuran air agar kotoran hanyut bersama air.

  • Pembersihan Chemis

Pembersihan secara chemis akan dilakukan untuk membersihkan organisme yang membandel dan sulit dibersihkan. Pembersihan chemis akan dilakukan dengan menggunakan bahan konservan yang meliputi bahan kimia AC-322. Bahan kimia AC-322 terdiri dari Amonium bicarbonate, Sodium bicarbonate, Sodium CMC, Aquamolin, Arkopal, dan air sebagai pelarut. Bahan tersebut akan diaplikasikan dengan menggunakan kuas eterna ke seluruh permukaan Cagar Budaya. Setelah waktu kontak bahan kimia AC-322 dengan Cagar Budaya mencapai 24 jam, selanjutnya Cagar Budaya dibersihkan lagi menggunakan air sampai bersih dan pH mencapai netral.

  • Konsolidasi

Konsolidasi bertujuan untuk memperkuat ikatan partikel-partikel bahan yang sudah rapuh. Kegiatan ini dilakukan secara selektif pada bagian-bagian Cagar Budaya yang aus dan rapuh. Konsolidasi akan dilakukan dengan pelapisan (pengolesan) bahan kimia Paraloyd B-72 dengan peralut Ethyl acetate dengan konsentrasi 2-3 %.