Pura Kehen

0
6676

Pura Kehen terletak di Banjar Pakuwon, Desa Cempaga, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Bali, jaraknya sekitar 45 km dari Kota Denpasar. Pura ini letaknya sangat strategis yankni berada dipinggir jalan raya dan menghadap ke selatan, secara geografis Pura Kehen berada pada koordinat 80  26’ 31.36” LS 1150 21’ 36.49” BT, dan pada ketinggian 483 meter di atas permukaan air laut.

Seperti umumnya pura-pura di Bali Pura Kehen dibagi menjadi tiga halaman yaitu halaman dalam (jeroan), halaman tengah (jaba tengah), dan halaman luar (jaba sisi). Masing-masing halaman dibatasi tembok keliling yang dilengkapi pintu keluar masuk (gapura). Struktur pura dibuat bertingkat-tingkat (teras berundak) yang terbagi menjadi delapan teras. Teras pertama sampai teras kelima adalah halaman luar, teras keenam merupakan halaman tengah pertama, teras ketujuh adalah halaman tengah kedua, dan teras kedelapan adalah halaman dalam (jeroan). Berbeda dengan pura-pura lain di Bali, gapura Pura Kehen untuk menuju halaman tengah berupa candi kurung yang diapid dua candi bentar disebelah kanan dan kirinya. untuk menuju halaman tengah kedua maupun halaman dalam terdapat pintu masuk berupa candi bentar.

Keberadaan pura kehen dapat diketahui berdasarkan temuan tiga buah prasasti tembaga. Dalam salah satu prasasti yang berangka tahun 1126 Çaka (1204 M) dituliskan tentang petunjuk-petunjuk kepada penduduk sekitarnya untuk melaksanakan upacara-upacara besar di Pura Kehen pada waktu tertentu. Prasasti ini menurut nama Raja Sri Dhanadhiraja (putra raja Bhatara Parameswara, dan Ibu Raja Bhatara Sri Dhanadewi adalah Bhatara Guru Sri Adhikunti) beserta permaisurinya Bhatara Sri Dhanadewi. Goris (1948), menduga bahwa Bhatara Guru Sri Adhikunti adalah istri dari raja bernama Bhatara Guru yang telah mangkat. Sumber prasasti tersebut juga menyebutkan sejumlah pura yang mempunyai hubungan erat sebagai satu kesatuan dengan Pura Kehen yakni Hyang Matu, Hyang Kedaton, Hyang Paha Bangli, Hyang Pande, Hyang Wukir, Hyang Tegal, Hyang Waringin, Hyang Pahumbukan, Hyang Buhitan, Hyang Peken Lor, Hyang Peken Kidul, dan Hyang Kehen. Pura-pura tersebut letaknya tidak terlalu jauh dari Pura Kehen.

Nama Hyang Kehen untuk situs ini, dapat ditafsirkan bahwa kompleks Pura Kehen sekarang ini dahulu belum bernama pura kehen. Sesuai dengan uraian Kempers (1960) mengatakan bahwa, di Bali ada pura yang sangat tersohor bernama Pura Kehen  dan nama itu diambil dari nama pura kecil yang ada di depannya. Mungkin nama Hyang Api  dalam prasasti pertama berubah menjadi Hyang Kehen dalam prasasti ketiga (Kehen=Keren=tempat api). Walaupun prasasti ketiga ini  bertahun Saka 1126 (1204 M) tidaklah berarti bahwa Pura Kehen didirikan pada tahun 1204 Masehi.

Penelusuran tentang pendirian Pura Kehen dapat digali dari dua buah prasasti lainnya yang lebih tua. Goris (1954) mengatakan bahwa prasasti pertama  yang terdiri dari 18 baris dan berbahasa Bali Kuna, diperkirakan berangka tahun 804-836 (antara tahun 882-914 M). ini prasasti pertama adalah sebagai berikut: “Hyang Karimana,. . . Hyang Api di Desa Simpatbunut (“Wangunan pertapaan di Hyang Karimana jnganangan Hyang Api. . . di Wanua di Simpit bunut-Hyang Tanda”). Prasasti ini juga menyebutkan nama-nama Bhiksu. Prasasti ke dua yang hanya tinggal lembaran terakhir saja terdiri dari 10 baris dan berbahasa Jawa Kuna, ada menyebutkan nama Senapati Kuturan, sapatha dan nama pegawai raja. Prasasti ke dua ini oleh Goris diperkirakan berangka tahun Saka antara 938-971 (1016-1049 Masehi).

Dari prasasti-prasasti tersebut dapat dilihat angka-angka tahun sebagai berikut:

  1. Prasasti pertama berangka tahun 882-914 Masehi (akhir abad ke 9 M atau permulaan abad ke 10 M)
  2. Prasasti kedua berkisar antara tahun 1016-1049 Masehi (abad ke 11 M)
  3. Prasasti ketiga pada tahun 1204 Masehi (Abad ke 13 M)

Secara etimologis dalam perkembangannya selanjutnya nama Hyang Api yang termuat dalam prasasti pertama menjadi Hyang Kehen dalam prasasti ketiga dan selanjutnya menjadi Pura Kehen. Hal ini berarti bahwa  Pura Kehen telah ada pada tahun saka antara 804-836 (antara tahun Masehi 882-914 Masehi), atau sekitar abad IX – X Masehi.

Kegiatan Inventarisasi di Pura Kehen

Berdasarkan uraian tersebut tampaknya keberadaan Pura Kehen mencerminkan adanya kearifan lokal dibidang iptek dan religius magis. Kearifan iptek dapat dilihat dari struktus bangunan pura yang berteras-teras mengingatkan kita pada struktur bangunan berundak pada masa megalitik. Dalah hal ini nenek moyang masa klasik telah mampu mentransformasikan model bangunan masa sebelumnya dan disesuaikan dengan alam pikiran dan kondisi lingkungan masa berikutnya. Demikian halnya dengan keyakinan dibidang religius magis terdapat keberlanjutan pemujaan terhadap kekuatan-kekuatan alam masa sebelumnya (Hyang Api, Hyang Tanda, dan Hyang Karimana) kemudian disesuaikan dengan keyakinan yang berkembang masa Hindu menjadi Dewa-dewa Tri Murti (Dewa Brahma, Wisnu, Ciwa).