Pembahasan hasil pendokumentasian Cagar Budaya dan Obyek yang Diduga Cagar Budaya di Kabupaten Manggarai

0
2392

Latar Belakang

“Pemerintah berkewajiban melakukan pencarian benda, bangunan, struktur, dan/atau lokasi yang diduga sebagai Cagar Budaya” demikian tercantum dalam Pasal 26 ayat 1 Undang-Undang No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Kalimat ini merupakan salah satu dasar dari kegiatan Pendokumentasian Cagar Budaya dan Obyek yang Diduga Cagar Budaya (ODCB) yang dilaksanakan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali. Kegiatan pendokumentasian ini diharapkan bisa menambah data jumlah warisan budaya kebendaan yang tersebar di seluruh wilayah kerja BPCB Bali, sehingga pada akhirnya dapat terpetakan dengan baik sebelum dilakukan upaya pelestariannya. Kegiatan pendokumentasian adalah kegiatan paling awal dari upaya Pelestarian Cagar Budaya atau Obyek yang Diduga Cagar Budaya (ODCB).

Pendugaan terhadap sebuah warisan kebendaan sebagai Cagar Budaya tentu saja harus berdasarkan pada pengertian Cagar Budaya yang tercantum dalam Undang-undang No 11 Tahun 2010 yang mana Cagar Budaya dipahami sebagai warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan kawasan Cagar Budaya di darat/atau di air perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Dan berdasarkan pengertian ini maka pada Pasal 5 disebutkan kriteria Cagar Budaya yang terdiri dari :

  1. Berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;
  2. Mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun;
  3. Memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan dan;
  4. Memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

Cakupan wilayah kerja BPCB Bali yang meliputi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur menjadi permasalahan tersediri dalam menentukan prioritas kegiatan dalam satu tahun anggaran. Salah satu kriteria penentuan lokus kegiatan pendokumentasian adalah jumlah ODCB yang telah terinventarisasi sampai saat ini (2018). Berdasarkan data tersebut, Provinsi Nusa Tenggra Timur memiliki data yang paling rendah, dan terdapat beberapa kabupaten yang menempati data terendah. Salah satu Kabupaten yang memiliki data ODCB yang paling sedikit adalah Kabupaten Manggarai. Sebaran data inventarisasi yang terdapat di Kabupaten Manggarai dalam database BPCB Bali hanya tercatat sejumlah 4 Situs dengan  0 Benda 7 Struktur dan 9 Bangunan dibandingkan dengan jumlah keseluruhan sebaran yang terdapat di wilayah Nusa Tenggara Timur mencapai 156 Situs maka persentasenya hanya mencapai 2,5 % saja. Sedangkan pada wilayah Nusa Tenggara Barat rata-rata situs yang sudah terinventarisasi per kabupaten adalah 17,6 Situs, dan akan sangat jauh perbandinganya dengan kabupaten di Provinsi Bali yang mencapai 76,5 Situs per kabupatenya.

Secara umum Kabupaten Manggarai terletak di Pulau Flores di bagian ujung baratnya, tepatnya di sebelah timur dari Kabupaten Manggarai Barat. ODCB yang terdapat di Kabupaten Manggarai sebagian besar merupakan rumah adat beserta tradisi megalitiknya, selain itu tinggalan lain yang seharusnya banyak adalah tinggalan kolonial yang berasal dari masa pendudukan Portugis di Pulau Flores. Kondisi wilayah yang memiliki kontur berbukit dan kebisaan penempatan rumah adat pada wilayah yang cukup sulit dicapai memberikan tantangan tersendiri.

Selain sebagai usaha awal dalam upaya pelestarian, kegiatan inventarisasi dan pendokumentasian Cagar Budaya ini dilakukan untuk memberikan upaya pelindungan hukum awal bagi keterdapatan Obyek yang Diduga Cagar Budaya, sehingga saat dilakukan proses penetapan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah kondisi dan keterdapatan ODCB tersebut masih dalam kondisi terawat dan memperoleh pelindungan.

 

Lokasi dan Lingkungan

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Manggarai Tahun 2017, Secara astronomi Kabupaten Manggarai terletak antara 080.14’ – 090.00 Lintang Selatan dan antara 1200.20’ – 1200.55’ Bujur Timur.Adapun batas-batas kabupaten ini adalah sebagai berikut :

  • Sebelah utara dibatasi oleh Laut Flores
  • Sebelah barat dibatasi oleh Kabupaten Manggarai Barat
  • Sebelah selatan dibatasi dengan Laut Sawu
  • Sebelah timur dibatasi dengan Kabupaten Manggarai Timur.
Keletakan dan batas-batas dari Kabupaten Manggarai

Kabupaten Manggarai merupakan kabupaten induk yang telah mengalami dua kali pemekaran wilayah, mempunyai luas wilayah 1669,42 Km2 yang terdiri dari daratan Pulau Flores dan pulau kecil yaitu Pulau Molas. Secara administratif terbagi menjadi 9 Kecamatan, 132 Desa dan 17 Kelurahan, dengan Pusat Pemerintahan Kabupaten Manggarai di Kota Ruteng Kecamatan Lengke Rembong.

Jalur darat Labuhan Bajo- Ruteng

Ibu kota Kabupaten Manggarai dapat dicapai dengan beberapa jalur dari Denpasar. Jalur darat terdekat dapat dicapai dengan diawali jalur udara Denpasar –Labuan Bajo, kemudian dilanjut dengan jalur Labuhan Bajo –Ruteng selama 3 jam perjalanan. Sedangkan pencapaian dengan jalur udara juga bisa dilakukan dengan menggunakan rute Denpasar-Kupang dan Kupang-Ruteng. Jalur udara ini memiliki kelemahan karena jadwal pesawat yang tidak bisa menyambung antara Denpasar-Kupang dengan Kupang – Ruteng sehingga diharuskan menginap sehari di Kupang, oleh karena itu dalam kegiatan Pendokumentasian ini, tim memutuskan untuk mengambil jalur pertama yang menggunakan jalur darat selama 3 jam perjalanan. Perjalanan darat ini melewati 3 Kecamatan di Kabupaten Manggarai Barat yaitu Kecamatan Komodo, Kecamatan Sano Nggoang, dan Kecamatan Lembor, yang kemudian baru masuk ke Kabupaten Manggarai melalui wilayah Kecamatan Ruteng dan masuk Kota Ruteng yang merupakan bagian dari Kecamatan Langke Rembong.

Wilayah Pulau Flores yang sebagian besar merupakan wilayah perbukitan, menyebabkan perjalanan darat cukup melelahkan. Kondisi sepanjang perjalanan yang sebagian besar mengalami longsor akibat lereng yang curam serta curah hujan tinggi menyebabkan menambah sulit perjalanan, beruntungnya pada saat perjalanan tim ini dilakukan beberapa titik longsor telah dilakukan pembersihan.

Seperti halnya di wilayah lain di Indonesia, Kabupaten Manggarai juga hanya dikenal 2 musim yaitu kemarau dan hujan. Secara umum, musim kemarau terjadi pada Juni-September, sedangkan musim hujan pada Desember-Maret. Pada tahun 2017, temperatur tertinggi terjadi pada bulan September (26,30C) dan terendah pada bulan Agustus (12,80C). Pada tahun 2017, curah hujan tertinggi terjadi pada bulan November yakni 748,6 mm dengan hari hujan terbanyak yakni 29 hari yang terjadi pada bulan November dan Desember.

Berdasarkan rencana kegiatan lapangan, Pendokumentasian Cagar Budaya dan Obyek yang Diduga Cagar Budaya (ODCB) di Kabupaten Manggarai ini menyasar 4 Kecamatan yang terdiri dari, Kecamatan Satar Mese, Kecamatan Satar Mese Barat, Kecamatan Langke Rebong, Kecamatan Cibal dan Kecamatan Ruteng. Berkaitan dengan hal tersebut maka akan kami uraikan terlebih dahulu kondisi lingkungan masing-masing kecamatan yang kami ambil dari data Kabupaten Manggarai Dalam Angka Tahun 2018.

 

Kecamatan Satar Mese dan Kecamatan Satar Mese Barat

Kecamatan Satar Mese dalam data yang di publikasikan oleh BPS Kabupaten Manggarai merupakan wilayah kecamatan dengan luasa area 572,04 km2 atau setara dengan 34,27% dari luas total Kabupaten Manggarai. Kecamatan Satar Mese ini telah dimekarkan menjadi Satar Mese Barat dan Satar Mese Utara, akan tetapi luasannya masih mengikut pada kecamatan induk yaitu Satar Mese. Kecamatan ini memiliki ibukota di Iteng dengan jarak tempuh ke Ibukota Kabupaten 30 km. Kondisi tingkat kemiringan lahan di wilayah kecamatan ini dapat dibagi menjadi kemiringan 0-20 mencapai luasan 2,46%,  kemiringan 2-150 mencapai luasan 7,13%, kemiringan 15-400 mencapai 13,93%, dan kemiringan lebih dari 400 mencapai luasan 10,74%. Data persentase tersebut merupakan persentase keseluruhan dari luasan Kabupaten Manggarai Berdasarkan data ini dapat kita lihat bahwa wilayah Kecamatan Satar Mese merupakan wilayah dengan tinggakat kemiringan lahan yang tinggi sebagian besar lahannya memiliki kemiringan 15 sampai dengan lebih dari 40 derajat, hal ini mengindikasikan topografi wilayah Kecamatan Satar Mese merupakan wilayah dengan kondisi berbukit dengan hanya sangat minim wilayah dataran.

Penggunaan lahan di wilayah ini terbagi menjadi Perkampungan dengan luas mencapai 174 hektar, Sawah mencapai luasan 1151 hektar, Tegalan atau Ladang 17.632 hektar dan Perkebunan mencapai luasan 186 hektar. Berdasarkan data ini, luasan lahan masih sangat banyak sehingga perkembangan pemukiman tidak akan mendesak wilayah wilayah yang berkaiatan dengan keterdapatan Obyek yang Diduga Cagar Budaya.

 

Kecamatan Langke Rebong

Kecamatan ini merupakan kecamatan yang mewilayahi wilayah Kota Ruteng. Terdapat pada wilayah bagian tengah dari Kabupaten Manggarai, dengan luas wilayah hanya mencapai 60,54 km2 atau setara dengan 3,63% dari luasan seluruh Kabupaten Manggarai. Kecamatan ini merupakan kecamatan terkecil apabila dilihat dari luasan wilayahnya. Ruteng merupakan ibukota dari kecamatan ini yang memiliki titik ketinggian 1.171,5 meter diatas permukaan laut. Wilayah Langke Rembong memiliki tingkat kemiringan tanah (slope) diatas 20. Kemiringan lahan 2-150 hanya mencapai 1,80%, sedangkan 15-400 hanya 0,91% dan kemiringan lebih dari 400 hanya 0,91%.  Kecilnya persentase ini disebabkan oleh luasan wilayah pada kecamatan ini merupakan yang paling sempit, akan tetapi nampak hanya sedikit tersedia lahan datar.

Penggunaan lahan di wilayah ini terbagi menjadi Perkampungan dengan luas mencapai 181 hektar, Sawah mencapai luasan 609 hektar, Tegalan atau Ladang 515 hektar sedangkan wilayah perkebunan tidak ada disekitar wilayah ini. Berdasarkan data ini, luasan lahan ini maka dapat di intepretasikan bahwa luasan wilayah perkampungan jika dibandingkan dengan luasan wilayah, maka kondisinya cukup padat, sehingga ODCB yang terdapat pada wilayah ini akan sangat rawan terhadap konflik kepentingan pemanfaatan lahan.

 

Kecamatan Cibal

Kecamatan Cibal meruapakan kecamatan yang terdapat bagian utara, tepatnya masih di sebelah selatan Kecamatan Reok. Luas wilayah kecamatan ini mencapai 188,27 km2 atau setara dengan 11,28 % dari luas wilayah Kabupaten Manggarai. Kecamatan Cibal memiliki ibukota di Pagal dengan wilayah paling tinggi mencapai 850 meter diatas permukaan laut. Jarak kecamatan ini menuju Kota Ruteng mencapai 21 km dengan jalan yang menyusuri punggungan bukit. Wilayah Cibal memiliki tingkat kemiringan tanah (slope) diatas 150. Kemiringan lahan 15-400hanya mencapai 3,88%, dan kemiringan lebih dari 400 hanya 7,39%.

Penggunaan lahan di wilayah ini terbagi menjadi Perkampungan dengan luas mencapai 249 hektar, Sawah mencapai luasan 795 hektar, Tegalan atau Ladang 2.436 hektar sedangkan wilayah perkebunan hanya mencapai 46 . Berdasarkan data ini, luasan lahan ini maka dapat di intepretasikan bahwa luasan wilayah perkampungan jika dibandingkan dengan luasan wilayah, maka kondisinya sangat jarang, sehingga ODCB yang terdapat pada wilayah ini akan aman terhadap konflik kepentingan pemanfaatan lahan.

 

Kecamatan Ruteng

Tidak seperti namanya, Kecamatan Ruteng bukan kecamatan yang mewilayahi ibukota Kabupaten Manggarai. Kecamatan ini terletak di wilayah perbatasan dengan Kabupaten Manggarai Barat. Luas wilayah kecamatan ini mencapai 176,61 km2 atau setara dengan 10,58 % dari luas wilayah Kabupaten Manggarai. Kecamatan Ruteng memiliki ibukota di Cancar dengan wilayah paling tinggi mencapai 858 meter diatas permukaan laut. Jarak kecamatan ini menuju Kota Ruteng mencapai 16 km dengan jalan yang menyusuri punggungan bukit. Wilayah Ruteng memiliki tingkat kemiringan tanah (slope) diatas 20. Kemiringan lahan 2-150 hanya mencapai 1,42 %, sedangkan 15-400 hanya 5,61% dan kemiringan lebih dari 400 hanya 3,54 %.

Penggunaan lahan di wilayah ini terbagi menjadi Perkampungan dengan luas mencapai 323 hektar, Sawah mencapai luasan 1.538 hektar, Tegalan atau Ladang 5.254 hektar sedangkan wilayah perkebunan pada daerah ini tidak ada. Berdasarkan data ini, luasan lahan ini maka dapat di intepretasikan bahwa luasan wilayah perkampungan jika dibandingkan dengan luasan wilayah, maka kondisinya sangat jarang, sehingga ODCB yang terdapat pada wilayah ini akan aman terhadap konflik kepentingan pemanfaatan lahan.

 

Riwayat Pelestarian

Riwayat penelitian yang telah dilakukan pada ODCB dan Cagar Budaya di wilayah Kabupaten Manggarai telah dilaksanakan beberapa kegiatan diantaranya adalah :

  1. Inventarisasi di Kabupaten Manggarai pada tanggal 25 April sampai dengan 30 April 2012, dengan dipimpin oleh Drs. I Made Purnawan. Kegiatan inventarisasi ini menghasilkan dokumen berupa 3 buah Bangunan Cagar Budaya, 4 buah Struktur Cagar Budaya dan 3 buah Situs Cagar Budaya.
  2. Kegiatan Studi Pemitakatan dan Pencagarbudayaan Situs Liang Bua, Manggarai Timur, tanggal 24 – 29 September 2008, dengan dipimpin oleh Drs. I Putu Renjana, dkk. Kegiatan ini menghasilkan 3 Zona yang terdiri dari Zona Inti, Zona Penyangga, dan Zona Pengembangan.

 

Data Cagar Budaya dan Yang Diduga Cagar Budaya

Untuk data Cagar Budaya dan Objek Yang Diduga Cagar Budaya hasil dari inventarisasi di Kabupaten Manggarai dapat mengunjungi tautan berikut:

 

Penggambaran

Untuk data Penggambaran Hasil Inventarisasi di Kabupaten Manggarai dapat mengunjungintautan berikut :

 

Pembahasan

Pembahasan hasil pendokumentasian  Cagar Budaya dan Obyek yang Diduga Cagar Budaya yang dilakukan di Kabupaten Manggarai meliputi beberapa bagian. Bagian awalnya adalah pembahasan yang berkaitan dengan penilaian terhadap kriteria Cagar Budaya yang dalam hal ini didasarkan pada ketentuan Undang-Undang No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Pembahasan selanjutnya adalah dengan masuknya situs tersebut sebagai bagian dari Obyek yang Diduga Cagar Budaya, maka upaya pelestarian harus direncanakan dengan baik dan terstruktur.

Asesment terhadap nilai penting yang terdapat pada Cagar Budaya atau Obyek yang Diduga Cagar Budaya juga menjadi bagian dari pembahasan ini sehingga dapat menjadi bagian penguatan jati diri dan kecintaan terhadap keberadaan Cagar Budaya tersebut.

  • Kriteria Cagar Budaya

Kriteria Cagar Budaya dan Obyek yang Diduga Cagar Budaya secara sepenuhnya didasarkan pada Undang-Undang No 11 Tahun 2010.  Pada prinsipnya, segala hasil Pendokumentasian yang kami lakukan di Kabupaten Manggarai ini tentu saja hanya bisa diduga sebagai Cagar Budaya karena suatu tinggalan arkeologi dapat disebut sebagai Cagar Budaya apabila telah memiliki ketetapan hukum berupa Surat Keputusan yang sesuai dengan peringkatnya. Seperti disebutkan pada Undang-Undang No 11 Tahun 2010 Pasal 1 ayat 1 “Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaanya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan”.

Kriteria Cagar Budaya terdapat pada Bab III Pasal 5 yang berbunyi “Benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya apabila memenuhi kriteria :

  1. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;
  2. mewakili masa gayapaling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun;
  3. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan
  4. memiliki nilai bagi penguatan kepribadian bangsa.

Kriteria pada Pasal 5 menjadi dasar utama dalam kegiatan pendokumentasian di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.Kami menginventaris 5 buah situs dengan jastifikasinya masing-masing yang terdiri dari :

  • Situs Kampung Adat Todo

Situs Kampung Adat Todo ini memiliki keterkaitan dengan sejarah keberadaan Kabupaten Manggarai. Dalam literatur yang kami dapatkan terdapat kalimat “Pada tahun 1700-an atau mungkin sebelumnya, di Manggarai telah ada suatu sistem pemerintahan dari tiga kelompok masyarakat yang cukup besar, yaitu Todo, Cibal dan Bajo (Daeng 1995)”. Dan dalam literatur lain kami dapatkan “Between 1927 and 1929 several government decisions introduced a radical change. All Bimanese offfijicials were revoked from Manggarai and Baroek, a young son of Tamur, the chief of the important inland district Todo, was nominated as the new Radja van Manggarai “ (Steenbrink, 2013). Dalam tulisan yang dipublikasikan oleh Maribeth Erb, 1997 nampak foto Kampung Todo pada tahun 1960. Data lain kami peroleh dari KITLV yang dipublikasikan http://hdl.handle.net/1887.1/item:764984 yang memunculkan foto dengan judul “Kampong Todo met traditionale woning in Manggarai op Flores” dan memiliki  tahun 1926.

Kampung Adat Todo (KITLV, 1926)

Berdasarkan data tersebut, maka Kampung Adat Todo memenuhi point seluruh point untuk menjadikannya sebagai bagain dari Situs yang diduga sebagai Cagar Budaya.

Komponen komponen didalam situ yang berupa Bangunan, Strutur dan Benda yang telah kami inventarisasi memiliki keterkaitan sangat erat dengan keberadaan Kampung Adat Todo ini sehingga, interpretasi ini dapat disamakan dengan muali keberadaan kampung Todo.

 

  • Situs Kampung Adat Pongkor

Keberadaan Kampung Adat Pongkor sama dengan Kampung Adat Todo, dalam beberapa wawancara dengan masyarakat sekitar menyebutkan bahwa Kampung Todo adalah “Saudara” dari Kampung Pongkor, sehingga dalam setiap perbaikan rumah adat selalu menggunakan pekerja dari Kampung Adat Todo. Dalam literatur juga disebutkan keterkaitan antara Todo dan Pongkor “Later the Dutch used the ruler of Todo-Pongkor and some other dalu to push Bima out of Manggarai by the nomination of Raja Bagoeng (1924) and Raja Baroek and by shifting the capital from Reo on the coast to Ruteng in the centre.The Catholic Mission made full use of the Dutch for its own interests by ensuring the installation of a Catholic Raja and later by transmigrating baptized Manggaraians from the interior to the coast, to prevent a coastal ‘encirclement’ of the interior by Muslims. This internal dynamics between Cibal and Todo-Pongkor is not so much found in the colonial documents, but strongly put forward in the later historiography” (Steenbrink, 2013).

Keberlanjutan tradisi di Kampung Adat Pongkor sama dengan di Kampung Adat Todo dari tradisi megalitik dengan Compang sebagai altar persembahan yang terletak di bagian tengah halaman kampung, dan selanjutnya berkembang ke kolonial dengan tinggalan yang berupa meriam dan juga makam yang lebih cenderung pada tradisi umat Kristen yang dibawa pada masa kolonial.

Berdasarkan hal tersebut maka, Kampung Adat Pongkor juga memiliki kelayakan yang sama untuk diduga dan kemudian untuk di usulkan sebagai Cagar Budaya.

 

  • Situs Katedral Lama (Gereja ST. Yosep Keuskupan Ruteng)

Keberadaan Situs Katedral Lama ini hanya kami dapatkan dari informasi yang disampaikan oleh Pastor yang memimpin di gereja tersebut, yang hanya memberikan informasi terkait tahun berdirinya gereja ini pada tahun 1929. Penelusuran kami lanjutkan dengan informasi dari internet yang memunculkan angka tahun yang sama pada situs Wikipedia. Dalam laman Wikipedia yang menyajikan tentang Keusukupan Ruteng disebutkan “Selama 1910-1911, misionaris Yesuit telah mengunjungi barat Manggarai. Pada tanggal 17 Mei 1912, Pastor P. Loojmans dibaptis Katolik pertama di Reo, termasuk Katarina (Arbero), Henricus, Agnes Mina, Caecilia Weloe, dan Helena Loekoe.Misionaris Sabda Allah kemudian datang ke Ruteng tahun 1914. Beberapa stasiun misi didirikan pada tahun 19291957.Pada tahun 1925, ada 7.036 umat Katolik di dua paroki. Pada 29 September 1929, dengan kedudukan pejabat tinggi gereja dari Manggarai didirikan dan Sabda Allah Bapa Thomas Koning menjabat sebagai dekan. Pada tahun 1929, umat Katolik mulai membangun katedral dan menyelesaikannya pada tahun 1931. Pada tanggal 8 Maret 1951, kedudukan pejabat tinggi gereja dari Manggarai diangkat menjadi Vikariat Apostolik Ruteng. Ilahi Bapa Wihelmus van Bekkum dipilih sebagai pendeta apostolik. Imam kemudian ditahbiskan menjadi vikaris pada 13 Mei 1951.

Pada tanggal 3 Januari 1961, Vikariat apostolik Ruteng ditingkatkan menjadi keuskupan. Divine Word Bishop Wihelmus van Bekkum menjabat sebagai uskup yang pertama.Ilahi Bapa Vitalis Djebarus dipilih sebagai penggantinya dan ditahbiskan sebagai Uskup Ruteng kedua. Namun, uskup kemudian diangkat sebagai Uskup Keuskupan Denpasar pada tahun 1981.

Pada tanggal 3 Desember 1984, diangkat Tahta Suci Sabda Allah Bapa Eduardus Sangsun sebagai Uskup Ruteng. Pentahbisan Episkopal pada tanggal 25 Maret 1985. Setelah wafat, pastor Laurens Sopang menjabat sebagai administrator keuskupan.”

Berkaitan dengan informasi yang disampaikan oleh Bapak Pastor yang menyebutkan pendirian gereja di Tahun 1929 maka terdapat kesamaan dengan  rentang waktu 29 September 1929 yang merupakan awal dari kegiatan pendirian gereja di Ruteng (?) yang terselesaikan pada tahun 1931. Berdasarkan tahun penanggalan dan keterdapatan unsur Gothic pada gereja ini maka, masa kolonial menjadi masa pendirian gereja ini serta diikuti oleh ciri kolonialnya.

Usia yang jika dihitung telah mencapai lebih dari 50 tahun, dan memiliki nilai dan masa gaya lebih dari 50 tahun juga, serta memiliki  nilai arti kusus dan penguatan kepribadian bangsa, maka keberadaan Gereja ini dapat dikategorikan sebagai Obyek yang Diduga Cagar Budaya dan selanjutnya dapat di tetapkan sebagai Cagar Budaya dengan peringkat sesuai dengan hasil kajian Tim Ahli Cagar Budaya.

 

  • Situs Gereja Pagal

Lahirnya umat katolik awal di pagal, bahkan Cibal, tidak terlepas dari hasil karya misionaris SVD saat itu. Menurut catatan dalam buku stambuk paroki pagal, buku no. I no urut baptis ke-9,  disitu dicatat awal mulainya gereja katolik masuk dan berkarya di pagal – cibal, ditandai dengan kehadiran seorang misionaris SVD bernama Pater Muller  SVD  pada tanggal 29 mei 1915. Pater ini masuk di Pagal dan membaptis seorang dari kampung kuwu bernama HUWA dan setelah di baptis namanya menjadi MARKUS HUWA.

Dengan pembaptisan Markus Huwa ini dihitung sebagai awal masuknya gereja katolik di Pagal-Cibal ini, sekaligus sebagai TONGGAK SEJARAH GEREJA KATOLIK di wilayah hamente Cibal.Jika di hitung dari 29 mei 1915 sampai dengan 29 mei 2015 usia gereja katolik di Pagal menjadi 100 tahun (satu abad).

Selanjutnya pater-pater SVD secara bergilir datang melayani umat di Cibal dan berpusat di Pagal. Dari tahun 1915-1956 sekitar 32 orang  imam SVD yang datang melayani umat di Cibal dan sejumlah berkarya di Pagal, sebagai pastor paroki pagal. Jumlah umat bertambah banyak dan peralihan tugas pelayanan dari SVD ke OFM pada tanggal 8 April 1956 (dari SVD ke OFM).

Dengan berkembangnya jumlah umat di wilayah Cibal maka tentu membutuhkan sebuah tempat pelayanan yang tetap. Dan untuk itu, pihak keuskupan ruteng memilih Pagal sebagai pusat sebuah stasi. Para imam SVD secara teratur dan terus meningkatkan pelayanannya sehingga meningkat pula jumlah umat katolik di Cibal dari tahun 1915 sampai tahun 1956. Dengan demikian setelah memenuhi syarat untuk terbentuknya sebuah paroki tentunya itu ditetapkan pihak keuskupan Ruteng. Menurut sejarah gereja katolik Manggarai, ada beberapa tempat di pilih menjadi pusat pelayanan umat di Manggarai. Di sebutkan Ruteng sebagai pusat, sudah itu Pagal, Rekas bagaian barat dan Lengko Ajang bagian timur Manggarai.

Tentang hal ini dituturkan para anggota majelis gereja Pagal seperti bapak Andreas Nabit,   Lukas Dagos, Urbanus Tongo, Ferdinandus Nogur, Donatus Dok, Philipus Manti, dan sejumlah tokoh masyarakat Cibal di Pagal antara lain bapak Ignasius Rombong, Yohanes Mbembok (dalu cibal), Thomas Tehak (dalu cibal) dan guru agama sekitar pagal, teruk, bealeba, peso, kuwu, menceritakan kepada penulis (Yos Kama) sbb:

“Mulanya hanya satu paroki di Cibal, yaitu Pagal. Pagal merupakan pusat pelayanan, pelayanan pastoral untuk seluruh wilayah Hamente Cibal atau sekarang di sebut kecamatan Cibal. Perayaan Natal dan Paskah semuanya datang di gereja Pagal”

Para misionaris SVD yang datang dari Ruteng untuk melayani umat katolik di Cibal dan Pagal menjadi pusat pelayanan sakramen. Dari Pagal mereka patroli ke Cibal utara, timur, barat dan selatan Cibal ini. Bahkan dari Pagal, imam-imam SVD patroli ke reo, ruis dan lamba leda. Karena Pagal menjadi pusat paroki di Cibal, maka perayaan Natal dan Paskah umat dari seluruh Cibal datang merayakan di gereja Pagal.

Para tetua yang disebutkan di atas  (ef. 3.1) menuturkan pembangunan gedung gereja secara bertahap. Tahun 1937, tahun pengumpulan material bangunan seperti; batu, pasir, dan  bahan lacal lainnya. Partisipasi umat Cibal berupa; batu, pasir yang di ambil dari wae naong kali perbatasan Cibal dan Lamba Leda, dan dari wae kokak-hamente ndehas, dengan menggunakan tenaga manusia dan tenaga hewan seperti kerbau dan kuda mengangkutnya ke Pagal. Umat dengan senang hati dan gembira melakukan hal itu. Mereka banggga berbuat sesuatu untuk membangun rumah ibadahnya yaitu gereja. Mereka beramai-ramai melaksanakan tugas itu dengan senang hati.

Selain umat mengangkut pasir dari tempat yang jauh seperti dari wae naong, kali perbatasan dengan lamba leda, juga dari wae kokak-hamente ndehes, ada kelompok khusus umat bersama tukang batu memecahkan batu besar di libu alo teruk bagian selatan, hulu wae labe, dengan menggunakan pemukul besar dan meledakkan batu itu dengan dinamit. Pecahan batu itu di angkat umat ke lokasi gereja di misi ini.

Menurut tuturan tetua dari umat dan masyarakat di Pagal, tahun berdirinya gedung gereja Pagal mulai tahun 1938-1939, hampir dua tahun membangunya. Dan tahun 1939 bangunan gereja itu selesai. Tegasnya bahwa gereja selesai di bangun pada tahun 1939.

Selain angka tahun pendirian, gereja ini juga memilki keunikan arsitektur yang memiliki menara 4 buah dengan menara utama di bagian tengahnya. Arsitektur gereja ini mengambil/meniru rumah adat yang terdapat di Manggarai, dengan rangka dalamnya memiliki filosofi yang sama.

 

  • Situs Bekas Istana Raja Manggarai (Rumah Mbaru Wunut)

Situs Bekas Istana Raja Manggarai ini saat ini telah dimanfaatkan sebagai tempat publik dalam proses berkesenian. Pada situs ini hanya tersisa bagian denah bangunannya saja yang masih dipertahankan. Akan tetapi nilai sejarahnya masih tetap ada karena tempat ini merupakan pusat pemerintahan awal saat pertama kali Raja Manggarai pindah ke Ruteng. “In November 1930 there were big festivities in Ruteng, celebrating the inauguration of Alexander Baroek as the new zelfbestuurder or Radja van Manggarai” (Steenbrink, 2013).

Istana ini merupakan sekaligus tempat tinggal Raja Baroek selama memimpin Manggarai.

 

Dalam kegiatan pendokumentasian ini sebenarnya kami masih memiliki sedikit data yang berkaitan dengan salah satu wilayah  yaitu Sawah Jaring Laba-Laba (Lodok) yang sangat terkenal dengan nilai budayanya. Kami sempat mengunjungi dan mengambil gambar perswahan ini akan tetapi terdapat keraguan dalam keputusan untuk memasukan sebagai Situs Cagar Budaya. Hal ini disebabkan oleh keberadaan Pasal 9 Undang –Undang No 11 Tahun 2010 yang berbunyi “Lokasi yang dapat ditetapkan sebagai Situs Cagar Budaya apabila :

  1. Mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya; dan
  2. Menyimpan informasi kegiatan manusia pada masa lalu.

Huruf a, menyebabkan hasil analisa kami menjadi tidak mungkin masuk dalam kriteria karena Sawah Lodok ini hanya terbentang persawahan yang membentuk jaring laba-laba, tidak terdapat bangunan, struktur atau benda yang seharusnya menjadi persyaratan dalam sebuah Situs Cagar Budaya. Mungkin bisa diperdebatkan keberadaan struktur aliran air yang mengelilingi Lodok ini, apakah bisa disebut struktur atau tidak (?), akan tetapi dalam bahasan kali ini kami membatasi untuk belum memasukan dalam kriteria Cagar Budaya.

 

  • Pelestarian

Upaya pelestarian terhadap Obyek yang Diduga Cagar Budaya  telah diamanatkan dengan sangat jelas oleh Undang-Undang No 11 Tahun 2010. Hal ini nampak pada Pasal 31 Ayat 5 yang berbunyi “Selama proses pengkajian, benda, bangunan, struktur, atau lokasi hasil penemuan atau yang didaftarkan, dilindungi dan diperlakukan sebagai Cagar Budaya”. Dan dalam aturan penjelasan juga disebutkan “Yang dimaksud dengan dilindungi dan diperlakukan sebagai Cagar Budaya adalah benda, bangunan, struktur, atau lokasi yang dianggap telah memenuhi kriteria sebagai Cagar Budaya”.

Berdasarkan hal ini maka upaya pelestarian lanjutan setelah dilakukan pendokumentasian menurut amanat undang undang tertuang dalam pasal 53 Ayat 1 yang menyebutkan “Pelestarian Cagar Budaya dilakukan berdasarkan hasil studi kelayakan yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis, teknis, dan administratif”.

Kegiatan yang perlu dirancang untuk upaya pelestarian lanjutan adalah Kegiatan Studi Kelayakan Pelestarian Cagar Budaya. Dari studi ini diharapkan menghasilkan rencana umum pelestarian yang  berisikan tentang pelindungan, pengembangan dan  pemanfaatan dari Cagar Budaya tersebut.

 

  • Nilai Penting

Dalam dokumen Hoi An Protocol 2001“Conserving the Past – An Asian Perspective of Authenticity in the Consolidation, Restoration and Reconstruction of Historic Monuments and Sites” disebutkan bahwa “Assessment of the significance of a place, site or monument should be carried out as a necessary preliminary to any conservation action. Significance assessment is the process of studying and understanding the meanings and values of places, objects and collections. It involves three main steps; firstly, analyzing the object or resource; secondly, understanding its history and context and thirdly, identifying its value for the communities which created and/or care for it.

Nilai penting yang kami maksudkan dalam subbab ini adalah tahap tiga yang berupa “identifying it’s value for the communities which created and/or care for it” yang artinya melakukan identifikasi nilai penting bagi masyarakat yang menciptakanya atau yang merawatnya.

Pada seluruh ODCB nilainya terdapat pada masyarakat yang merawatnya, karena bangunan ini merupakan warisan yang diciptakan oleh para pendahulunya untuk dimanfaatkan sebagai tempat ibadah dan pelaksanaan ritual keagamaan dan tradisi.

 

Bagi komunitas yang berkaitan dengan Cagar Budaya, nilai penting yang terdapat dalam bangunan ini adalah :

  1. Nilai Sejarah

Nilai penting sejarah yang terkandung dalam keberadaan Kelima Situs  ini adalah sejarah wilayah Manggarai dan masuknya agama Kristen ke wilayah Manggarai. Seluruh situs ini apabila kita urutkan akan memberikan gambaran perkembangan sejarah dari Kabupaten Manggarai. Diawali dengan pemukimam pemukiman penduduk yang memuja roh leluhur seperti di Kampung Adat Todo dan Kampung Adat Pongkor. Dilanjutkan dengan kedatangan penjajah Belanda dan misionaris Kristen yang membangun Gereja yang mengadaptasi budaya lokal setempat. Dan sejarah berlanjut pada pengangkatan Raja Manggarai pertama yaitu Alexander Baroek. Keberadaan situs ini pula menjadi sebuah bukti sejarah Kristen yang mengadopsi nilai dan budaya masayarakat setempat dengan mengedepankan local genius yang ada.

Nilai sejarah ini, diwariskan secara turun temurun pada generasi berikutnya tidak berdasarkan pada dokumen tertulis, akan tetapi diwariskan secara oral dan teladan yang diberikan secara langsung melaui tindakan-tindakan dan ragam ritual. Hal ini mungkin cara penyampian sejarah yang dirasa lebih efektif dilakukan oleh para tetua adat untuk mempertahankan nilai sejarah dari seluruh situs ini.

  1. Nilai Keagamaan

Empat dari lima situs yang di dokumentasikan merupakan bagian dari bangunan keagamaan. Kampung Adat juga merupakan bagian dari ritual keagamaan yang masih secara turun temurun dilakukan. Agama yang masih memuja leluhur. Sedangkan dua situs Gereja yang lainnya merupakan sebuah bukti kehadiran Agama Kristen dalam wilayah Manggarai. Perkembangan bangunan gereja yang semakin permanen tidak mempengaruhi keyakinan masyarakat sekitar gereja untuk tidak mempertahankan bentuk dan struktur Gereja yang mereka warisi sampai saat ini.

Nilai keagamaan ini menjadi penting bagi para pencipta dan yang merawatnya, karena alasan penciptaan/pembuatan gereja dan struktur pemujaan leluhur ini adalah tempat melakukan peribadahan. Sehingga nilai keagamaan ini menjadi dasar yang sangat penting dalam mempertahankan keberadaan bangunan ini.

  1. Nilai Kebudayaan

Nilai kebudayaan terdapat pada konstruksi dan arsitektur dari bangunan, struktur serta pemanfaatan bangun tersebut sebagai tempat ritual. Wilayah situs kampung adat juga menjadi ruang publik dalam pelaksanaan ritual periodik yang pasti dilaksanakan dalam setiap tahunnya. Gereja juga berfungsi sebagai ruang kebudayaan yang mengkombinasikan kebudayaan daerah dengan ritus yang memang sangat banyak dimiliki Agama Kristen.  Dan situs terakhir yaitu Rumah Wunut, dahulu merupakan bagian dari ritus perpindahan kerajaan, akan tetapi saat ini menjadi ruang publik dalam memunculkan pentas budaya baik yang tradisional maupun modern. Nilai-nilai kebudayaan inilah yang perlu dikembangkan dan dipertahankan, ruang yang dalam hal ini beruapa Situs, Bangunan, Struktur dan Benda sebagai bagian dari kebudayaan tersebut hendaknya dipertahankan sehingga tampilan kebudayaan tersebut menjadi lengkap.

  1. Nilai Pendidikan

Nilai pendidikan dapat menjadi bagian dari pembelajaran peningkatan jati diri masyarakat sekitar situs. Apabila nilai sejarah, nilai keagamaan dan nilai kebudayaan dapat dipadukan dalam pendidikan maka pendidikan akan menjadi sangat tajam dalam memperkuat jati diri generasi muda. Penggalian nilai-nilai itu dalam tinggalan budaya yang bersifat kebendaan akan menimbulkan rasa bangga pada tanah air, sehingga muara pendidikan pada mencerdaskan dan mencintai budaya dapat terwujud.

 

Kesimpulan

  • Berdasarkan hasil pendokumentasian yang dilakukan maka diperoleh Obyek yang Diduga Cagar Budaya :
  • Situs Kampung Adat Todo
    • Struktur yang Diduga Cagar Budaya sejumlah 12 buah
    • Bangunan yang Diduga Cagar Budaya sejumlah 1 buah
    • Benda yang Diduga Cagar Budaya sejumlah 20 buah
  • Situs Kampung Adat Pongkor
    • Struktur yang Diduga Cagar Budaya sejumlah 5 buah.
    • Benda yang Diduga Cagar Budaya sejumlah 13 buah
  • Situs Katedral Lama (Gereja ST. Yosep Keuskupan Ruteng):
    • Bangunan yang Diduga Cagar Budaya sejumlah 1 buah
  • Situs Gereja Pagal:
    • Bangunan yang Diduga Cagar Budaya sejumlah 1 buah
    • Struktur yang Diduga Cagar Budaya sejumlah 1 buah
  • Situs Bekas Istana Raja Manggarai (Rumah Mbaru Wunut)
    • Struktur yang Diduga Cagar Budaya sejumlah 1 buah
  • Secara keseluruhan hasil pendokumentasian meliputi 5 buah Situs yang Diduga Cagar Budaya; 19 buah Struktur yang Diduga Cagar Budaya; 3 buah Bangunan yang Diduga Cagar Budaya; dan 33 buah Benda yang Diduga Cagar Budaya.

 

Saran

Hasil pendokumentasian ini tentu saja tidak akan bisa bermanfaat jika hanya merupakan dokumen pertanggungjawaban kegiatan. Beberapa saran yang dapat kami sampaikan untuk dapat lebih menambah manfaat laporan ini adalah :

  • Hasil pendokumentasian ini merupakan bagian dari data yang harus dimiliki oleh pemerintah daerah guna mendorong percepatan penetapan sebagai Cagar Budaya.
  • Pendokumentasian dan pengambilan data serta diskusi yang lebih detail terhadap salah satu warisan budaya yang berupa Sawah Lodok dapat dilanjutkan kedepannya.