Koleksi Gading Gajah Purba Koleksi Museum Bikon Blewut

0
956

Koleksi gading Gajah ini merupakan salah satu koleksi peninggalan prasejarah yang menjadi kebanggaan museum bikon blewut. Menurut Pak Endi, petugas museum Bikon Blewut, fosil gading Gajah purba flores ini ditemukan pertama kali di lokasi Ola Bula, Kapupaten Nagekeo pada tahun 1956 oleh Dr. Theodor Verhoeven SVD yang dilanjutkan juga di Matamenge dan Boa Leza, Kabupaten Ngada. Fosil gading gajah ini adalah jenis gajah stegodon trigonocephalus sehingga verhouven memberi nama Stegodon Trigonocephalus Florensis yang kini menjadi masterpiece Museum Bikon Blewut. Usia fosil gading gajah ini diperkirakan adalah 300.000 tahun BC.

Seiring berjalannya waktu, gading gajah ini mengalami degradasi, apalagi ditambah paska gempa NTT tahun 2004, kondisi fosil semakin memprihatinkan. Fosil yang pada saat ditemukan di lapangan panjangnya hampir 4 meter, sekarang tinggal 3,65 meter sisanya sangat fragmentaris (hancur) tidak dapat direkonstruksi dan keliling terbesar gading adalah 30 cm. Fosil Gading ini memiliki warna 5 Y 8/1 (Yelowish gray), N5 (Medium gray), 5 Y 8/4 (Grayish brown). Dari panjang 3,65 meter fosil gading gajah yang di display ini hanya sekitar 60 cm bagian yang utuh dan sekitar 3,05 cm kondisinya pecah menjadi lebih dari 50 bagian seperti Nampak pada gambar dibawah ini.

Fosil gading gajah terdapat sedimen tanah lempung dan pasir sangat halus ini kondisinya patah menjadi lebih dari 50 bagian ini dicoba untuk dilankukan rekonstruksi dengan cara menyatukan antar bagian fosil yang memiliki struktur anatomi yang sama. Dikarenakan banyak bagian yang hilang, tidak semua fragmen fosil gading gajah dapat direstorasi. Berikut dokumentasi bagian fosil gading gajah yang patah lebih dari 50 bagian tersebut.

Berdasarkan informasi dari Pak Endi, petugas Museum Bikon Blewut, paska terjadi gempa di NTT, petugas telah mencoba melakukan perbaikan terhadap koleksi yaitu dengan menyambungkan fosil yang patah dengan menggunakan lem yang tidak diketahui jenisnya. Namun berdasarkan pengamatan visual, lem tersebut memiliki warna yang kontras dengan warna gading dan fosil yang telah direkatkan kembali patah siring berjalannya waktu.

Berdasarkan data-data yang terkumpul maka fosil ini sangat layak dilakukan konservasi karena memiliki tingkat kerusakan berat dengan metode konservasi yang dilakukan adalah pembersihan kering untuk membersihkan sedimen tanah lempung dan pasir halus serta debu yang menempel dengan menggunakan kuas kering dan tatah kayu kemudian dilakukan konsolidasi (perkuatan) pada bagian yang mengalami retakan mikro dan pada bagian yang rapuh/lunak dan selanjutnya setelah bersih dapat dilakukan rekonstruksi dan selanjutnya restorasi.