Latar Belakang
Cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, baik berupa yang berupa benda (tangible) maupun yang bukan benda (intangible) sangat perlu dilesatrikan dan dikelola secara tapat melalui upaya perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesarnya kemakmuran rakyat.
Bertitik tolak dari hal tersebut Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali merencankan akan mengusulkan upaya pelestarian melalui pemugaran dengan tujuan untuk mempertahankan keutuhan dari bangunan Istana Bima dan koleksi yang ada di dalamnya. Perlu kita ketahui bahwa Istana Kesultanan Bima dan isinya merupakan sumber data sejarah yang tidak tertulis dan tidak kalah pentingnnya dengan sumber data sejarah yang tertulis. Bangunan dan koleksi yang ada didalamnya menyimpan pesan dan kesan serta sebagai sumber informasi kepada generasi muda di Bima khususnya sebagai tanah kelahiran mereka.
Sebelum pengusulan pemugaran dipandang perlu untuk melakukan pengkajian-pengkajian salah satunya adalah studi teknis arkeologis, sebagai acuan nuntuk mengusulkan pelaksanaan pemugaran terhadap bangunan cagar budaya. Studi teknis arkeologi ini bertujuan untuk merekam data mengenai kondisi bangunan berdasarkan atas perubahan-perubahan maupun kerusakan-kerusakan yang terjadi dan cara penanggulangannya. Sehubungan dengan hal tersebut Balai Pelestarian Cagar di tahun 2014 dalam kegiatan rutin memprogramkan kegiatan studi teknis arkeologi terhadap Istana Kesultanan Bima. Dalam kegiatan studi teknis arkeologi data yang diperlukan diantaranya data sejarah, arsitektur, struktural, keterawatan dan data lingkungan disekitar bangunan. Hasil perekaman data dari studi teknis ini bila dalam usulan pemugaran telah disetujui akan dijadikan dasar untuk menentukan tata cara dan tehnik pelaksanaan/metode pemugaran.
Maksud dan Tujuan
Kegiatan studi teknis arkeologi di Istana Kesultana Bima dimaksudkan untuk mengumpulkan/merekaman data mengenai kondisi bangunan Istana Kesultana Bima saat ini, yakni perubahan-perubahan dan kerusakan yang terjadi. Data yang di butuhkan diantaranya adalah data sejarah, arkeologis, arsitektur, strukutural, keterawatan dan lingkungan. Sedangkan tujuan dari kegiatan tersebut adalah untuk menetapkan metode (tata cara) dan tehnik pelaksanaan pelestarian melalui upaya pemugaran berdasarkan atas analisis data arsitektur, struktur, kondisi bangunan (keterawatan) serta data lingkungan disekitar situs.
Metode
Untuk mencapai hasil sesuai dengan maksud dan tujuan kegiatan, harus memenuhi kaedah-kaedah metodelogi yang lazim digunakan dalam penelitian. Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan kegiatan lebih berbobot dan memiliki nilai ilmiah. Adapun metode yang digunakan adalah sebagai berikut:
- Kepustakaan merupakan salah satu acuan dalam pelaksanaan kegiatan studi teknis dengan menelaah hasil-hasil penelitian terdahulu yang dipublikasikan. Selain itu studi pustaka merupakan metode untuk mendapatkan sumber-sumber data yang terkait dengan obyek yang akan dilaksanakan studi.
- Observasi adalah teknik pengumpulan data dengan cara mengamati langsung obyek yang akan diteliti untuk mengetahui kondisi benda yang sebenarnya.
- Wawancara adalah tehnik pengumpulan data dengan mengadakan tanya jawab secara langsung dengan tokoh masyarakat, aparat desa, atau orang-orang yang mengetahui informasi tentang benda cagar budaya/situs. Wawancara dilakukan dalam kegiatan ini dengan metode tanpa struktur.
Letak dan Lingkungan
Kota Bima awalnya merupakan kota administrasi Bima yang terbentuk pada 10 April 2002 melalui Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kota Bima. Berbagai pertimbangan mendasari pembentukan Kota Bima yang merupakan perwujudan dari aspirasi masyarakat, khususnya masyarakat Kota Bima. Pertimbangan-pertimbangan tesebut pada dasarnya terkait dengan pertimbangan politis dan pertimbangan pengembangan ekonomi dan pembangunan regional dalam rangka mendukung percepatan pembangunan di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
- Kondisi Geografis
Secara geografis, Kota Bima terletak di bagian timur Pulau Sumbawa pada posisi 118°41’00”-118°48’00” Bujur Timur dan 8°20’00”-8°30’00” Lintang Selatan. Kota Bima berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Bima yaitu di sebelah utara dengan Kecamatan Ambalawi. Di sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Palibelo, Kabupaten Bima. Di sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Wawo, Kabupaten Bima sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Teluk Bima. Letaknya yang berbatasan langsung dengan Teluk Bima menyebabkan transportasi laut di Kota Bima cukup ramai karena ditunjang oleh fasilitas Pelabuhan Bima.
Sampai saat ini, pemerintahan Kota Bima masih terdiri dari lima kecamatan dan memiliki luas wilayah 222,25 km2 atau sekitar 1,03% dari keseluruhan luas Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kota Bima yang berpenduduk asli Suku Mbojo ini memiliki semboyan “Katadapu Rawima Tedi Katedipu Rawima Tada” yang artinya tekunilah pekerjaan yang sudah nyata membawa hasil yang baik dan tekunilah pekerjaan yang membawa perubahan pembangunan.
Wilayah Kota Bima seluas 222,25 km2, hampir sepertiganya atau 31,06 persennya merupakan wilayah kecamatan Asakota, kemudian 28,83 persen dan 28,67 persen merupakan wilayah kecamatan Rasanae Timur dan kecamatan Raba. Sisanya kurang lebih 10 persen adalah wilayah kecamatan Rasanae Barat dan Mpunda.
Museum Asi Mbojo berlokasi di wilayah RT 08 RW 03 Kelurahan Paruga, Kecamatan Rasanae Barat, Kota Bima, Propinsi Nusa Tenggara Barat. Letaknya berada di jantung Kota Bima yaitu pada bagian depan Alun-alun Kota Bima menghadap ke barat tepatnya berada di jalan Sultan Ibrahim Nomor 2 dengan batas-batas sebagai berikut : sebelah utara berbatasan dengan jalan Gajah Mada, sebelah timur berbatasan dengan jalan Kartini, sebelah selatan berbatasan dengan jalan Sukarno Hata dan sebelah barat berbatasan dengan jalan Sultan Ibrahim.
- Kondisi Geomorfologis
Wilayah Kota Bima sebagian besar tanahnya berada pada kemiringan 0–2% yaitu dengan kemiringan sebesar 42,54% dari luas wilayah, untuk kemiringan tanah antara 3–15% mempunyai luas 22,99% dari luas wilayah. Sedangkan lahan dengan kemiringan 16–40% seluas 20,87% dan lahan dengan kemiringan lebih dari 40% sebesar 13,60%, sedangkan kemiringan tanah lebih dari 40% mempunyai luas terkecil yaitu kurang lebih 13,61 %.
Wilayah Kota Bima memiliki kedalaman efektif antara 30-60 cm, yakni sebesar 61,77 Ha, dengan sebaran terbesar di Kecamatan Rasanae Timur, Asakota dan Raba. Sedangka kedalaman efektif antara 0-30 cm seluas 4.227,16 Ha atau 19,46% merupakan daerah lembah dan pinggiran pantai yang tersebar di Kecamatan Asakota sebesar 1.262,23 Ha, Rasanae Barat 84,80 Ha, Mpunda 296,68 Ha, Kecamatan Raba dengan luas 1.772,45 Ha dan Kecamatan Rasanae Timur dengan luas 811,00 Ha.
Secara fisiografi wilayah Kota Bima dan sekitarnya termasuk dalam Busur Gunungapi Nusa Tenggara yang merupakan bagian dari Busur Sunda sebelah Timur dan Busur Banda sebelah Barat. Busur tersebut terbentang mulai dari Pulau Jawa ke Nusa Tenggara yang selanjutnya melengkung mengitari Samudra Indonesia. Wilayah Bima dan sekitarnya secara geomorfologi berdasarkan morfometri dan morfogenesa, dapat dibedakan menjadi 4 satuan geomorfologi, yaitu:
- Satuan geomorfologi dataran fluvial
- Satuan Geomorfologi Dataran Endapan Pantai
- Satuan geomorfologi bergelombang lemah denudasional
- Satuan geomorfologi bergelombang lemah–kuat vulkanik
- Iklim
Kondisi iklim Kota Bima telah lama dikenal sebagai daerah yang memiliki cuaca cukup ekstrim, dengan terik matahari yang bersinar hampir sepanjang musim dengan intensitas penyinaran yang mencapai puncaknya pada bulan September dan terendah pada bulan Januari. Rata-rata suhu udara pada tahun 2012 memiliki kisaran antara 23,20C sampai dengan 32,50C dengan kelembaban udara antara 72 hingga 87 persen.
- Hidrologi
Kota Bima dilalui oleh 3 Sungai besar yaitu: Sungai Padolo, Sungai Romo, Sungai Jatiwangi/Melayu sehingga memiliki potensi air permukaan yang cukup baik untuk kegiatan rumah tangga maupun untuk irigasi. Sumber air bersih di Kota Bima dikelola oleh PDAM dengan sumber air dari Sori Nungga yang terletak di Kelurahan Nungga, lebih kurang 7,5 km dari Kota Raba–Bima dengan kapasitas debit sebesar 40 liter/detik. Selain sumber air yang diperoleh dari Sori Nungga, sumber air lainnya adalah sumber Oi Si’i yang terletak di Selatan Kelurahan Rontu, lebih kurang 5 km dari Kota Bima dengan kapasitas debit air sebesar 2,5 liter/detik. Sedangkan sumur bor terletak di Jatiwangi dengan kapasitas 10 liter/detik, Penaraga dengan kapasitas 10 liter /detik dan Sadia dengan kapasitas 10 liter/detik.
- Orbitasi
Istana Kesultanan Bima berlokasi di wilayah RT 08 RW 03 Kelurahan Paruga, Kecamatan Rasanae Barat Kota Bima, Propinsi Nusa Tenggara Barat. Letaknya berada di jantung Kota Bima yaitu pada bagian depan Alun-alun Kota Bima menghadap ke barat tepatnya berada di jalan Sultan Ibrahim Nomor 2 dengan batas-batas sebagai berikut : sebelah utara berbatasan dengan jalan Gajah Mada, sebelah timur berbatasan dengan jalan Kartini, sebelah selatan berbatasan dengan jalan Sukarno Hata dan sebelah barat berbatasan dengan jalan Sultan Ibrahim.
- Kondisi Kependudukan
Tahun 2012 jumlah penduduk Kota Bima tercatat sebanyak 146.308 jiwa, yang terdiri dari 71.911 orang penduduk laki-laki dan 74.397 orang penduduk perempuan. Penduduk perempuan secara jumlah lebih banyak dibandingkan penduduk laki-laki.
Dari 5 Kecamatan yang ada, hanya Kecamatan Asakota yang jumlah penduduk perempuannya lebih sedikit dibandingkan penduduk laki-laki. Dengan kata lain, sex ratio Kecamatan Asakota lebih dari 100, yakni 102 yang menggambarkan bahwa setiap 100 orang penduduk perempuan terdapat 102 orang penduduk laki-laki. Sedangkan kecamatan lainnya memiliki sex ratio dibawah 100. Dengan membandingkan antara jumlah penduduk dengan luas wilayah akan diperoleh indikator kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk Kota Bima dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, dan tahun 2012 tercatat sebesar 658 jiwa/km2.
Pada level kecamatan, tingkat kepadatan penduduk sangat variatif. Kecamatan Rasanae Barat merupakan kecamatan yang paling padat yakni 3.150 jiwa/km2, diikuti Kecamatan Mpunda pada urutan kedua yakni 2.182 jiwa/km2. Sedangkan Kecamatan Rasanae Timur merupakan kecamatan yang paling jarang penduduknya yakni 260 jiwa untuk setiap satu km2.
Memperhatikan bentuk piramida penduduk Kota Bima tahun 2012 yang berbentuk limas, menunjukkan bahwa struktur penduduk Kota Bima didominasi oleh penduduk usia muda. Bagian bawah piramida yang lebar menggambarkan angka kelahiran masih relatif tinggi. Sedangkan bagian tengah yang makin melebar menandakan adanya migrasi masuk penduduk muda relatif banyak. Sebaliknya pada bagian atas relatif mengerucut yang menggambarkan banyaknya kematian pada usia tua.
Komposisi penduduk usia muda terutama kelompok usia 20–24 tahun terlihat sangat menonjol dibandingkan kelompok umur yang lainnya bahkan bila dibandingkan dengan kelompok umur yang lebih tua. Kondisi ini dimaklumi karena Kota Bima merupakan salah satu pusat pendidikan dan perekonomian di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Banyaknya jumlah penduduk pada usia produktif dapat berpengaruh terhadap Ratio beban tanggungan (dependency ratio). Pada tahun 2012 ratio beban tanggungan di Kota Bima mencapai angka 50,78 yang berarti tiap 100 orang penduduk usia produktif akan menanggung 51 orang penduduk non produktif.
Struktur Bangunan Istana Kesultanan Bima
Bangunan Istana Kesultanan Bima merupakan bangunan cagar budaya peninggalan dari masa Kesultanan Bima. Istana ini terletak di jantung kota dimana bentuk bangunan istana yang sekarang ini merupakan hasil renovasi tahun 1927-1929. Sebelum direnovasi Istana Kesultanan Bima ini tidak sebesar yang ada sekarang. Setelah pemugarannya secara sepintas istana ini menghadap ke arah barat dengan alun-alun di depannya, tetapi secara sturktural berdasarkan denahnya tetap menghadap ke utara. Fungsi istana ini juga telah mengalami perubahan dengan digunakannya bangunan ini sebagai museum daerah.
Bangunan Istana Kesultanan Bima ini memiliki denah berbetuk persegi empat panjang dan berlantai dua, kedua lantai bangunan istana ini sekarang difungsikan sebagai tempat untuk menyimpan koleksi dari berbagai perlengkapan yang dipergunakan oleh keluarga Kesultanan Bima pada masa lalu. Dilihat dari bentuk arsitekturnya bangunan Istana Kesultanan Bima ini mencerminkan bangunan-bangunan Eropa (Kolonial) yang cukup banyak dapat kita temui di berbagai daerah di Indonesia. Ciri khas bangunan tradisional Bima berupa tiang-tiang bangunan yang menggunakan siku tidak tampak sama sekali pada bangunan istana ini. Hal ini sangat berbeda dengan bangunan istana yang terdapat di Dompu yang berupa bangunan panggung dengan tiang yang bersiku, atau dengan bangunan istana yang terdapat di Sumbawa yang juga berbentuk rumah panggung. Seperti halnya pola tata ruang kota-kota kuna Islam di wilayah-wilayah lainnya di Indonesia, ciri-ciri fisik suatu kota selain ditandai dengan adanya istana dan alun-alun juga terdapat bangunan masjid dan pasar. Hal ini juga dapat kita lihat di Bima, dimana Masjid Sultan Solahuddin yang terletak di sebelah selatan Bangunan Istana Kesultanan Bima yang dipisahkan oleh Jalan Soekarno-Hatta. Menurut informasi, Masjid Sultan Solahuddin yang ada sekarang merupakan masjid baru dengan bentuk lama yang dibangun pada tahun 1995/1996 karena masjid yang lama telah hancur pada saat Perang Dunia ke-II. Dilihat dari bentuk arsitekturnya Masjid Sultan Solahuddin memiliki bentuk yang agak berbeda dengan masjid-masjid kuna lainnya yang terdapat di Indonesia. Perbedaannya terliahta dari bentuk bangunan menara yang dibuat menempel menjadi satu dengan bangunan utama masjid. Menara ini jumlahnya empat buah, dibangun disetiap sudut masjid. Pada masjid-masjid kuna lainnya di Indonesia, bangunan menara yang berfungsi sebagai tempat mengundang adzan biasanya dibangun hanya sebuah dan letaknya di bagian sisi depan masjid.
Secara garis besar Istana Kesultanan Bima struktur ruangannya dapat dibagi menjadi beberapa buah, yaitu sebagai berikut :
- Ruangan Aula Depan Bagian Utara
Ruangan ini pada masa lalu di pakai sebagai ruang upacara resmi serta tempat penyambutan tamu-tamu dalam jumlah besar dalam upacara tradisional, dan tempat dilaksanakannya hukum sara dan hukum adat yang berlaku bagi orang-orang yang bersalah dan sekarang menjadi tempat pengelaran upacara adat, kesenian tradisional dan permainan rakyat serta tempat penyambutan rombongan tourist mancanegara, yang disuguhkan oleh sanggar-sanggar kesenian tradisional Kabupaten Bima
- Ruangan Penyimpanan
Ruangan dalam I, ruang ini tempat
menyimpan barang-barang tradisional
untuk segala kegiatan di bidang pertanian dan peternakan. Ruang dalam
II, di ruangan ini disimpan barang-barang tradisional yang berhubungan dengan
daur hidup dan upacara-upacara kehamilan, kelahiran, khitanan, perkawinan dan
kematianRuang dalam III, dalam ruangan ini di simpan barang-barang yang berhubungan
dengan perdangangan perekonomian.
Ruang
dalam IV, ruangan ini tempat menyimpan barang-barang tradisional yang
berhubungan dengan kehidupan dan pengobatan.
Ruang dalam V, ruangan ini merupakan ruangan yang di pergunakan untuk menyimpan
benda-benda tradisional dan benda-benda peralatan rumah tangga. Ruang dalam VI, ruangan
ini dipergunakan untuk menyimpan barang-barang trandisional berhubungan dengan
kegiatan kerajaan dan pertukangan serta transportasi berupa pertukangan kayu,
besi, alat-alat trasportasi dan pengangkutan serta peralatan kesenian seperti
gendang, gong dan sebagainya.
Ruang
dalam VII, ruangan ini merupakan kamar untuk menyimpan barang yang berhubungan
dengan berbagai macam pakaian adat dan pakaian upacara serta berbagai jenis pakaian
dari berbagai kelompok suku yang ada dan pernah ada di daerah bima, di ruangan
ini juga di simpan buku-buku sejarah dan naskah-naskah kuno. Ruang Terbuka bagian
utara, ruangan dekat tangga ini dulu berfungsi sebagai tempat untuk ”doho sara”
Bumi Nae Ngeko yaitu Syara Hukum Islam. Ruang itu kini menjadi tempat
visualisasi alat-alat untuk bertani, berternak, berburu, dan menangkap ikan
masyarakat awam.
- Ruang Emas
Ruangan ini dulu disebut ruang ”Saro Nae” yang dulu berfungsi sebagai tempat musyawarah Majelis Hadad dan tempat dilaksanakannya hukum sara dan hukum hadat. Sekarang ruang ini dipakai untuk memajang benda-benda pusaka milik kesultanan yang tarbuat dari emas, perak, yang terdiri dari senjata-senjata berupa keris dan tatarapang dari berbagai jenis dan ukuran, pedang, sondi, tombak, lembing, peralatan upacara, peralatan untuk perjamuan makan dan pakaian-pakaian kebesaran Kesultanan Bima.
- Ruang Lantai Atas
Lantai atas terdiri atas 10 kamar dan sebuah ruangan yang terbuka yang cukup luas, kamar dan lantai di tata dalam bentuk asli. Tata ruangan dan kehidupan kesultanan dan seluruh keluarga berupa ruangan tidur beserta segala peralatanya yang terdiri dari ruangan tidur sultan, ruang tidur putra sultan, ruang tidur para putri sultan serta ruang kerja sultan. Asi Mbojo, kendati harus menanggalkan fungsi-fungsi pentingnya, hendaknya tetap merupakan pusat pengembangan seni dan budaya Bima.
Data Sejarah
Membicarakan latar sejarah keberadaan bangunan Istana Kesultanan Bima kita tidak dapat terlepas dari sejarah awal Daerah Bima secara keseluruhan, karena keberadaan bangunan istana ini menjadi satu kesatuan dengan Sejarah Bima. Untuk itu sebelum membahas latar sejarah keberadaan Istana Kesultanan Bima terlebih dahulu akan diuraikan sedikit mengenai latar sejarah Bima. Perkembangan sejarah keberadaan Daerah Bima dapat dikelompokkan atau dibagi menjadi beberapa bagian. Adapun bagian-bagian dari sejarah Daerah Bima adalah sebagai berikut :
- Masa Naka
Secara geografis Bima terletak di wilayah dengan posisi yang strategis, terletak disebuah teluk dengan air yang tenang (tidak bergelombang) dan dapat berfungsi sebagai pelabuhan alam yang tidak bergelombang. Melihat posisinya yang strategis, kelak wilayah ini akan berkembang menjadi sebuah kerajaan besar dan akan memegang peranan penting sebagai pusat perdagangan serta pusat penyebaran Agama Islam. Nama asli dari Bima sendiri adalah Mbojo yang berasal dari kata “Babuju”, yaitu sekelompok tanah tinggi yang merupakan “busut jantan” yang agak besar (Dana Ma Babuju) (Nuryahman,2007 :7).
Seperti pada umumnya daerah-daerah lainnya, Bima sebelum memasuki jaman kerajaan juga memeiliki masa prasejarah atau yang biasa disebut dengan masa naka. Masa naka ini merupakan suatu jaman dimana-mana tidak ada bukti-bukti tertulis mengenai hal-hal yang berhubungan dengan keberadaan Bima. Adapun pendukung kebudayaan pada masa naka di Bima belum dapat diketahui secara pasti, namun ada kemungkinan atau perkiraan orang-orang Donggo adalah pendukung kebudayaan ini. Orang Donggo ini dianggap merupakan penduduk asli Bima, yang kemudian terdesak ke wilayah sebelah timur, antara lain menuju ke Flores, Sumba, Timor dan sekitarnya. Sampai saat ini bukti-bukti mengenai keberadaan pendukung dari masa naka di Bima belum dapat ditemukan.
- Masa Ncuhi
Masa selanjutnya yang terjadi di Bima adalah masa ncuhi, masa ini merupakan masa peralihan dari masa naka menuju masa kerajaan atau bisa juga disebut dengan masa proto sejarah (ambang sejarah). Dari catatan-catatan atau yang disebut dengan Bo Kerajaan Bima dapat diketahui bahwa sebelum adanya kerajaan, masyarakat Bima sudah hidup berkelompok yang disebut dengan ncuhi. Kata ncuhi berasal dari bahasa Bima lama, berasal dari kata “suri” yang kemudian berubah menjadi “ncuri”, yang berarti awal dari kehidupan tumbuh-tumbuhan. Jadi kata ncuhi merupakan lambang yang mengandung pengertian bahwa masa sebelum Kerajaan Bima, penduduk sudah mulai menetap, merintis pertanian dan peternakan.
Struktur untuk menjalankan pemerintahan pada masa ncuhi ini masih sangat sederhana, hanya terdapat dua struktur yang ada pada masa ini untuk mengatur kehidupan masyarakat, yaitu ncuhi dan anggota masyarakat. Pemerintahan pada masa ini berdasarkan adat dan dijalankan berdasarkan musyarwarah. Orang-orang yang menjadi ncuhi adalah orang yang berdasarkan garis keturunan, pada umumnya orang-orang ini adalah individu kharismatik dan berwibawa serta mendapatkan kepercayaan dari masyarakat pendukungnya.
Seperti telah diuraikan di atas bahwa Bima merupakan wilayah strategis untuk jalur pelayaran dan didukung dengan pelabuhan alam yang tenang, membuat kontak dengan wilayah luar Bima menjadi lancar dan teratur. Hal inilah yang membuat pada masa ncuhi ini wilayah Bima sudah menjalin hubungan dengan orang-orang (pedagang) dari luar Bima. Para pedagang yang biasa datang menuju Bima pada masa ini pada umunya berasal dari wilayah Jawa, Sulawesi Selatan dan Melayu. Dengan semakin ramainya pelayaran yang datang ke Bima semakin berkembanglah peranan Bima dalam perdagangan di Nusantara, yang pada akhirnya akan mengakhiri masa ncuhi di Bima menuju masa kerajaan. Masyarakat Bima meyakini bahwa yang meletakkan dasar dari kerajaan Bima adalah para musafir yang datang dari Jawa.
- Masa Kerajaan
Sumber-sumber mengenai keberadaan Kerajaan Bima menyebutkan adanya perbedaan perioderisasi awal mula berdirinya Kerajaan Bima. Beberapa sumber menyebutkan Kerajaan Bima berdiri antara abad ke-13 dan abad ke-14 masehi, bersamaan dengan masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Menurut Bo Kerajaan Bima (Bo Sangaji Kai) awal berdirinya Kerajaan Bima di mulai bersamaan dengan ditinggalkannya masa ncuhi, yaitu kira-kira pada abad ke-11. Masih menurut Bo Sangaji Kai cikal bakal dari Kerajaan Bima adalah Maharaja Pandu Dewanata. Disini dikisahkan Maharaja Pandu Dewanata memeiliki empat orang putra, empat orang menetap di Pulau Jawa, sedangkan salah satu putra beliau, yaitu Sang Bima berlayar menuju ke timur dan mendarat di suatu tempat atau pulau di bagian utara Pulau Sumbawa yang bernama Satonda. Kemudian Sang Bima inilah yang menyatukan ncuhi-ncuhi yang ada di Bima dibawah suatu kerajaan yang disebut dengan Kerajaan Bima. Sumber data yang lain menyebutkan, bahwa Sang Bima bukanlah raja pertama yang memerintah di Kerajaan Bima, yang memerintah pertama di Kerajaan Bima adalah putra beliau yang bernama Indra Zamrud. Disebutkan juga bahwa pemerintahan pada masa kerajaan ini dijalankan dengan masih mengadopsi sistem yang terdahulu, dimana adat-istiadat masih memegang peranan yang sangat penting dalam pemerintahan. Berpegang dari adat-istiadat terdahulu Raja Indra Zmarud memerintah Kerajaan Bima dengan arif dan bijaksana serta mengutamakan kepentingan masyarakat umum, hal inilah kemudian menjadi dasar bagi raja-raja berikutnya setelah Raja Indra Zamrud, seperti Raja Batara Indra, Batara Sang Luka dan yang lainnya. Pemerintahan Kerajaan Bima ini berlangsung sampai dengan keturunan ke-40. Raja terakhir di Kerajaan Bima adalah Raja Ruma Mambora atau Raja Asi Sawo. Raja ini memerintah pada awal abad ke-17 sebelum masuknya Islam di Bima dan berubah menjadi Kesultanan. Pada masa pemerintahan Raja Asi Sawo Bima mengalami masa kejayaan, dimana rakyatnya hidup dengan makmur dan sejahtera. Raja Asi Sawo juga mulai menjalin persahabatan dengan Kerajaan Makasar, dan membuat perjanjian-perjanjian yang antara lain menyebutkan masalah perdagangan serta kesediaan untuk memeluk Agama Islam. Bila dicarikan perbandingan Kerajaan Bima pada masa ini sudah memiliki posisi yang sama pentingnya dengan kerajaan-kerajaan lainnya, seperti Ternate, Makasar, Demak. Cirebon, Sunda Kelapa, Aceh dan Malaka.
- Masa Kesultanan
Peralihan Bima dari masa kerajaan menjadi kesultanan diawali dengan terjalinnya hubungan antara Bima dengan Makasar. Hubungan antara Bima dan Makasar terjadi dalam berbagai bidang, yang antara lain bidang perdagngan/ekonomi, keagamaan, kebudayaan, pemerintahan dan kekelurgaan/kekerabatan. Masuknya pengaruh Agama Islam di Bima tidak terjadi dengan mudah, karena banyak terjadi intrik-intrik atau perpecahan antara keluarga kerajaan, antara yang menerima pengaruh Agama Islam dengan yang berusaha mempertahnkan kepercayaan yang telah ada. Masuknya pengaruh Agama Islam di Bima banyak dikisahkan dalam Bo Dana Mbojo (Bo Sangaji Kai dan Bo Melayu). Raja Asi Sawo sebagai raja di Kerajaan Bima pada dasarnya menerima dengan baik masuknya pengaruh Agama Islam di Bima, namun beliau meninggal sebelum pengaruh Agama Islam benar-benar menancapkan pengaruhnya di Bima. Raja Asi Sawo kemudian digantikan oleh putranya yang bernama La Kai. Putra mahkota ini masih kecil, sehingga kekuasaannya direbut oleh pamannya yang bernama Salisi dengan dibantu oleh pihak Belanda. La Kai kemudian meninggalkan Istana Bima disertai dengan pengikutnya yang masih setia, yang pada akhirnya beliau bertemu dengan para pedagang dan mubaligh dari Sulawasi Selatan di Pelabuhan Sape. Sesuai dengan keyakinan dari ayahnya, La Kai juga mengakui atau mau untuk memeluk Agama Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan para mubaligh dari Sulawesi Selatan. Mulai saat itu La Kai di beri gelar Abdul Kahir (Abdul Kaha), kemudian beliau mendirikan sebuah masjid di Kalodu, yang merupakan masjid pertama di Bima. Masyarakat di sekitaran wilayah pendirian masjid ini kemudian banyak yang memeluk Agama Islam, hal ini membuat kemarahan Salisi. Melihat perkembangan Agama Islam yang begitu pesat membuat Salisi berusaha untuk membunuh Abdul Kahir dan pengikutnya. Merasa terdesak dengan kekuatan Salisi, membuat Abdul Kahir mengungsi ke Makasar pada tahun 1621. Pada tahun 1640 Abdul Kahir kembali ke Bima didampingi oleh anak dan istrinya serta dua orang ulama, yaitu Datuk Ri Bandang dan Datuk Ri Tiro. Usaha beliau untuk mengalahkan Salisi yang dibantu oleh Belanda mengalami kegagalan. Kegagalan untuk mengalahkan Salisi membuat beliau memutuskan kembali ke Makasar, sampai pada akhirnya beliau memiliki seorang putra yang bernama Abdul Khair Sirajuddin. Walaupun Abdul Kahir menetap di Makasar, tetapi beliau tetap berusaha untuk mengalahkan Salisi dan Belanda yang menguasi Bima. Pada tahun 1623 M Abdul Kahir dibantu oleh pasukan Kesultanan Makasar melakukan penyerangan kedua terhadap Salisi dan Belanda, namun usaha ekspedisi ini kembali mengalami kegagalan. Baru pada ekspedisi ketiga, yang dilaksanakan pada tahun 1640 M Salisi dan Belanda yang menguasai Bima berhasil dikalahkan. Kemenangan ini membawa Abdul Kahir dan keluarganya kembali ke Bima. Kembalinya Abdul Kahir ke Bima mendapatkan dukungan dari selurh rakyat Bima dan para ulama. Pada tahun 15 Juli 1640 Abdul Kahir dinobatkan menjadi Sultan Bima I. Sejak saat itulah Kerajaan Bima berubah menjadi Kesultanan Bima. Dalam sejarahnya Kesultanan Bima berkembang dengan pesat sebagai pusat perdagangan dan juga pusat penyiaran Agama Islam. Demikianlah sekilas tentang sejarah perkembangan Kesultanan Bima, yang diawali dari Masa Naka, Masa Ncuhi, Masa Kerajaan dan sampai akhirnya menjadi Kesultanan. Perkembangan Bima menjadi Kesultanan banyak dipengaruhi oleh adanya hubungan dengan Kesultanan Makasar.
Kembali ke pembahasan tentang sejarah keberadaan Istana KesultananBima, sejak berdirinya Kerajaan Bima pada abad II M, sampai berakhirnya masa kesultanan pada tahun 1951, jumlah istana ada dua buah. Dari kedua istana yang didirikan pada masa kerajaan dan kesultanan hanya dua yang bisa kita saksikan yaitu Asi Bou & Asi Permanen yang masih berdiri dengan megah. Istana Bima yang dalam Bahasa Bima populer disebut ”Asi” mulai di kenal oleh masyarakat di sekitar abad II M, bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Bima. Sejak itu, Indra Zambrut, Raja Bima yang pertama mendirikan ”Asi Wadu Perpati”, yang merupakan istana tertua di Bima.
Pembangunan istana ini dilaksanakan dengan cara ”Karawi Kaboro” atau disebut dengan gotong royong oleh rakyat di bawah pimpinan Bumi Jero sebagai Kepala Bagian Pembangunan dan Pertukangan.
Sejak pemerintahan Raja Bima pertama Indra Zamrud sampai dengan pemerintahan Sultan Abdul Aziz, Istana dibangun dengan bahan kayu jati alam yang berumur ratusan tahun. Pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim istana dibangun secara semi permanen di buat dari kayu jati alam, serambi depannya dibuat permanen. Pada masa Pemerintahan Sultan Muhammad Salahuddin di bangun istana permanen yang sekarang masih berdiri dengan megahnya. stana Bima adalah bangunan bergaya Eropa. Mulai dibangun pada tahun 1927. Bangunan ini dirancang oleh seorang arsitek putra Indonesia kelahiran Ambon, Obzichter Rehatta, dia berada di Bima karena dibuang oleh penjajah Belanda karena beliau adalah seorang tokoh pergerakan. Ia dibantu oleh Bumi Jero Istana yang kini telah beralih fungsi sebagai Museum Daerah itu adalah sebuah bangunan permanen berlantai dua yang merupakan panduan arsitektur asli Bima dan Belanda. Istana tersebut diselesaikan dalam tempo tiga tahun, dan resmi menjadi Istana Kesultanan Bima pada Tahun 1929. Pembangunan istana dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat, sedang sumber pembiayaan berasal dari anggaran belanja kesultanan dan uang pribadi sultan.
Istana Kesultanan Bima ini merupakan bangunan yang indah dan megah pada masa kesultanan, memiliki halaman seluas 500 meter persegi yang ditumbuhi pohon-pohon rindang dan taman bunga yang indah. Bangunan istana diapit oleh dua pintu gerbang timur dan barat yang senantiasa dijaga oleh anggota pasukan pengawal kesultanan. Pintu gerbang sebelah timur disebut “Lawa Kala” atau “Lawa Se”. Dinamakan “Lawa Se” karena di buat lebih awal, “Lawa Kala” merupakan pintu masuk anggota sara hukum dan para ulama. Pintu gerbang sebelah barat disebut “Lare-Lare” merupakan pintu gerbang resmi kesultanan, sedangkan pintu gerbang dibelakang istana terdapat pintu gerbang yang disebut “Lawa Weki” tempat masuk para anggota keluarga istana. “Lare-Lare” mirip masjid bertingkat tiga. Tingkat atas loteng di pergunakan untuk menyimpan tabur rancana dan dua buah lonceng. Tabur rancana di bunyikan pada jam 18.00-20.00. Disamping itu Tabur rancana di bunyikan sebagai tanda bahwa upacara adat ”Hanta Ua Pua” akan di mulai. Dua buah lonceng mempunyai fungsi yang berbeda satu lonceng berfungsi untuk pemberitahuan jam atau waktu, sedangkan yang satu berfungsi untuk memberikan tanda bahaya.
Konsepsi tata letak bangunan istana tidak jauh berbeda dengan istana lain di tanah air. Istana menghadap ke barat, di depannya terdapat tanah lapang atau alun-alun. Di sinilah raja tampil secara terbuka didepan rakyat di saat-saat tertentu, misalnya pada saat diselenggarakannya upacara-upacara penting atau perayaan hari besar keagamaan. Alun-alun ini juga menjadi arena latihan pasukan kesultanan. Disebelah selatan alun-alun terdapat sebuah bangunan masjid, sebagai sarana kegiatan ritual keagamaan. Jelaslah bahwa bangunan istana, alun-alun, dan masjid merupakan satu kesatuan yang utuh. Di depan bagian barat terdapat beberapa meriam kuno, dan tiang bendera setinggi 50 meter terbuat dari kayu jati. Tiang bendera disebut juga dengan nama “Tiang Kasi Pahu” tersebut dibangun oleh Sultan Abdullah untuk memperingati Hari Pembubaran Angkatan Laut Kesultanan. Sultan Abdullah terpaksa membubarkan angkatan lautnya karena tidak mau memenuhi keinginan penjajah Belanda yang memaksa angkatan laut kesultanan Bima untuk menyerang pejuang–pejuang Gowa – Makassar dan Bugis. Tiang Kasi Pahu sempat roboh karena lapuk, dan tahun 2003 dibangun kembali atas inisiatif Hj. Putri Maryam. Bahannya bukan jati Tololai – karena jati disana tidak ada lagi, tapi merupakan kayu jati kelas satu di Wawo, Bima.
Istana Kesultanan Bima pada masa lalu berfungsi sebagai tempat tinggal Sultan bersama keluarganya, pusat pemerintahan, pusat penyebaran agama, pusat pengembangan kesenian dan kebudayaan serta sebagai pusat peradilan. Setelah gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) meresmikan Asi Mbojo sebagai Museum Daerah, pada Agustus Tahun 1989, pembenahan – pembenahan terhadap museum dilakukan secara insentif. Dengan demikian status museum berada dibawah naungan pemerintah. Hal ini diperkuat setelah otonomi daerah. Museum tersebut menyimpan 320 jenis barang peninggalan kerajaan/kesultanan.
Seperti halnya pola tata ruang kota-kota kuna Islam di wilayah-wilayah lainnya di Indonesia, ciri-ciri fisik suatu kota selain ditandai dengan adanya istana dan alun-alun juga terdapat bangunan masjid dan pasar. Hal ini juga dapat kita lihat di Bima, dimana Masjid Sultan Salahuddin yang terletak di sebelah selatan Bangunan Istana Kesultanan Bima yang dipisahkan oleh Jalan Soekarno-Hatta. Menurut informasi, Masjid Sultan Solahuddin yang ada sekarang merupakan masjid baru dengan bentuk lama yang dibangun pada tahun 1995/1996 karena masjid yang lama telah hancur pada saat Perang Dunia ke-II. Dilihat dari bentuk arsitekturnya Masjid Sultan Solahuddin memiliki bentuk yang agak berbeda dengan masjid-masjid kuna lainnya yang terdapat di Indonesia. Perbedaannya terliahta dari bentuk bangunan menara yang dibuat menempel menjadi satu dengan bangunan utama masjid. Menara ini jumlahnya empat buah, dibangun disetiap sudut masjid. Pada masjid-masjid kuna lainnya di Indonesia, bangunan menara yang berfungsi sebagai tempat mengundang adzan biasanya dibangun hanya sebuah dan letaknya di bagian sisi depan masjid.
Data Arkeologi
Data arkeologi adalah data tentang nilai penting bangunan cagar budaya terhadap sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan serta kebudayaan dan memiliki tingkat keaslian yang meliputi bahan, bentuk, tata letak dan tehnik pengerjaan, untuk menetapkan layak dan tidaknya bangunan dipugar berdasarkan data yang ada.
Data arkeologi yang terdapat di Istana Kesultanan Bima dapat kita kelompokkan menjadi dua bagian, yaitu yang berupa bangunan cagar budaya dan benda cagar budaya.
- Bangunan Cagar Budaya
Sejak berdirinya Kerajaan Bima pada abad II M, sampai berakhirnya masa kesultanan pada tahun 1951, jumlah istana ada dua buah. Dari kedua istana yang didirikan pada masa kerajaan dan kesultanan hanya dua yang bisa kita saksikan yaitu Asi Bou & Asi Permanen yang masih berdiri dengan megah. Istana Bima yang dalam Bahasa Bima populer disebut ”Asi” mulai di kenal oleh masyarakat di sekitar abad II M, bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Bima. Sejak itu, Indra Zambrut, Raja Bima yang pertama mendirikan ”Asi Wadu Perpati”, yang merupakan istana tertua di Bima.
Pembangunan istana ini dilaksanakan dengan cara ”Karawi Kaboro” atau disebut dengan gotong royong oleh rakyat di bawah pimpinan Bumi Jero sebagai Kepala Bagian Pembangunan dan Pertukangan.Sejak pemerintahan Raja Bima pertama Indra Zamrud sampai dengan pemerintahan Sultan Abdul Aziz, Istana dibangun dengan bahan kayu jati alam yang berumur ratusan tahun. Pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim istana dibangun secara semi permanen di buat dari kayu jati alam, serambi depannya dibuat permanen. Pada masa Pemerintahan Sultan Muhammad Salahuddin di bangun istana permanen yang sekarang masih berdiri dengan megahnya. Istana Bima adalah bangunan bergaya Eropa. Mulai dibangun pada tahun 1927. Bangunan ini dirancang oleh seorang arsitek putra Indonesia kelahiran Ambon, Obzichter Rehatta, dia berada di Bima karena dibuang oleh penjajah Belanda karena beliau adalah seorang tokoh pergerakan. Ia dibantu oleh Bumi Jero Istana yang kini telah beralih fungsi sebagai Museum Daerah itu adalah sebuah bangunan permanen berlantai dua yang merupakan panduan arsitektur asli Bima dan Belanda. Istana tersebut diselesaikan dalam tempo tiga tahun, dan resmi menjadi Istana Kesultanan Bima pada Tahun 1929. Pembangunan istana dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat, sedang sumber pembiayaan berasal dari anggaran belanja kesultanan dan uang pribadi sultan.
Istana Kesultanan Bima ini merupakan bangunan yang indah dan megah pada masa kesultanan, memiliki halaman seluas 500 meter persegi yang ditumbuhi pohon-pohon rindang dan taman bunga yang indah. Bangunan istana diapit oleh dua pintu gerbang timur dan barat yang senantiasa dijaga oleh anggota pasukan pengawal kesultanan. Pintu gerbang sebelah timur disebut “Lawa Kala” atau “Lawa Se”. Dinamakan “Lawa Se” karena di buat lebih awal, “Lawa Kala” merupakan pintu masuk anggota sara hukum dan para ulama. Pintu gerbang sebelah barat disebut “Lare-Lare” merupakan pintu gerbang resmi kesultanan, sedangkan pintu gerbang dibelakang istana terdapat pintu gerbang yang disebut “Lawa Weki” tempat masuk para anggota keluarga istana. “Lare-Lare” mirip masjid bertingkat tiga. Tingkat atas loteng di pergunakan untuk menyimpan tabur rancana dan dua buah lonceng. Tabur rancana di bunyikan pada jam 18.00-20.00. Disamping itu Tabur rancana di bunyikan sebagai tanda bahwa upacara adat ”Hanta Ua Pua” akan di mulai. Dua buah lonceng mempunyai fungsi yang berbeda satu lonceng berfungsi untuk pemberitahuan jam atau waktu, sedangkan yang satu berfungsi untuk memberikan tanda bahaya.
Konsepsi
tata letak bangunan istana tidak jauh berbeda dengan istana lain di tanah air.
Istana menghadap ke barat, di depannya terdapat tanah lapang atau alun-alun. Di
sinilah raja tampil secara terbuka didepan rakyat di saat-saat tertentu,
misalnya pada saat diselenggarakannya upacara-upacara penting atau perayaan
hari besar keagamaan. Alun-alun ini juga menjadi arena latihan pasukan
kesultanan. Disebelah selatan alun-alun terdapat sebuah bangunan masjid,
sebagai sarana kegiatan ritual keagamaan. Jelaslah bahwa bangunan istana,
alun-alun, dan masjid merupakan satu kesatuan yang utuh.
Di depan istana bagian barat terdapat beberapa meriam kuno, dan tiang bendera
setinggi 50 meter terbuat dari kayu jati. Tiang bendera disebut juga dengan
nama “Tiang Kasi Pahu” tersebut dibangun oleh Sultan Abdullah untuk
memperingati Hari Pembubaran Angkatan Laut Kesultanan. Sultan Abdullah terpaksa
membubarkan angkatan lautnya karena tidak mau memenuhi keinginan penjajah
Belanda yang memaksa angkatan laut kesultanan Bima untuk menyerang pejuang–pejuang
Gowa – Makassar dan Bugis. Tiang Kasi Pahu sempat roboh karena lapuk, dan tahun
2003 dibangun kembali atas inisiatif Hj.
Putri Maryam. Bahannya bukan jati Tololai – karena jati disana tidak ada lagi, tapi merupakan kayu jati kelas satu di Wawo,
Bima.
Istana Kesultanan Bima pada masa lalu berfungsi sebagai tempat tinggal Sultan bersama keluarganya, pusat pemerintahan, pusat penyebaran agama, pusat pengembangan kesenian dan kebudayaan serta sebagai pusat peradilan.
Setelah gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) meresmikan Asi Mbojo sebagai Museum Daerah, pada Agustus Tahun 1989, pembenahan – pembenahan terhadap museum dilakukan secara insentif. Dengan demikian status museum berada dibawah naungan pemerintah. Hal ini diperkuat setelah otonomi daerah. Museum tersebut menyimpan 320 jenis barang peninggalan kerajaan/kesultanan.
- Benda Cagar Budaya
Museum ini menyimpan sebagian koleksi Kesultanan Bima saja karena sebagian koleksi lainnya disimpan oleh keluarga Sultan. Koleksi kesultanan tersebut antara lain berupa mahkota, senjata, perhiasan, alat-alat upacara dan peralatan makan yang terbuat dari emas dan perak. Benda koleksi lainnya berupa flora dan fauna, benda-benda geologi dan berbagai peralatan untuk upacara kehamilan, kelahiran, pernikahan dan kematian. Di antara keseluruhan benda sejarah tersebut, mahkota sultan yang terbuat dari emas dan sebuah parang tua yang diukir pada masa Kerajaan Majapahit yang disebut dengan nama Gunti Rante merupakan benda koleksi yang paling populer dan banyak diminati untuk disaksikan oleh para pengunjung museum ini.
DataTeknis
Studi Teknis adalah kegiatan pengumpulan dan pengolahan data bangunan cagar budaya setelah dinyatakan layak dipugar dalam rangka menetapkan tata cara dan teknik pelaksanaan pemugarannya. Salah satu aspek data yang menjadi penilaian dalam kegiatan ini adalah data teknis bangunan cagar budaya yang menjadi sasaran kegiatan. Dimana secara harfiah data teknis ini dapat didefinisikan sebagai data tentang kondisi teknis dan tingkat kerusakan bangunan serta lingkungannya, untuk menetapkan layak dan tidaknya bangunan dipugar atas dasar pertimbangan teknis. Lebih jelasnya mengenai data teknis bangunan Istana Kesultanan Bima akan diuraikan sebagai berikut :
Istana Kesultanan Bima merupakan bangunan cagar budaya warisan dari masa Kesultanan Bima. Bangunan ini merupakan kediaman keluarga Kesultanan Bima dan juga merupakan tempat segala urusan ketatanegaraan Kesultanan Bima. Istana Kesultanan Bima ini merupakan bangunan yang memiliki arsitektur perpaduan antara arsitektur lokal Bima dan arsitektur masa Kolonial Belanda. Terdiri dari dua lantai, yang masing-masing lantai memiliki beberapa buah ruangan dengan fungsinya masing-masing. Telah terjadi perubahan fungsi ruangan yang dulu dengan fungsi ruangan yang sekarang. Dimana sekarang ini seluruh ruangan yang terdapat di Istana Kesultanan Bima dijadikan tempat untuk menyimpan koleksi peninggalan Kesultanan Bima.
Secara garis besar kondisi bangunan Istana Kesultanan Bima telah mengalami gejala kerusakan dan pelapukan. Masing-masing gejala kerusakan dan pelapukan ini disebabkan oleh pengaruh alam, teknologi pengerjaan pada masa lalu, kwalitas bahan yang kurang baik dan juga disebabkan oleh manusia. Gejala kerusakan terparah yang dapat kita amati selama kegiatan ini terjadi pada bagian atap bangunan Istana Kesultanan Bima. Dimana kondisi atap ini sudah sangat rusak dan perlu kiranya untuk segera diperbaiki, agar secara keseluruhan dapat melindungi koleksi-koleksi yang terdapat di dalam bangunan istana ini.
Untuk mencegah gejala kerusakan dan pelapukan yang semakin parah maka sudah seharusnya dilakukan upaya-upaya pelestarian dengan cara perbaikan pada bagian-bagian yang rusak, sehingga gejala kerusakan dan pelapukan yang lebih parah dapat dicegah. Untuk dapat mengetahui gejala kerusakan dan pelapukan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut di bawah ini :
Lantai I Istana Kesultanan Bima
- Bagian Kaki
Bagian kaki bangunan Istana Kesultanan Bima ini merupakan struktur yang terbuat dari bahan batu kali dengan perekat yang terbuat dari bahan campuran antara kapur, pasir dan semen. Bagian kaki ini memiliki bentuk persegi empat panjang dengan ukuran panjang 62 m, lebar 19,40 m dan tinggi 1 cm. Bagian kaki bangunan istana ini merupakan bagian yang dibuat polos tanpa ada ornament hiasan yang berupa ukiran ataupun relief. Terdapat tiga akses untuk keluar dan masuk bangunan istana yang terdapat pada bagian kaki bangunan istana ini, dimana masing-masing terdapat pada sisi barat, utara dan selatan. Pada awalnya sisi selatan dari bagian kaki bangunan istana ini merupakan pintu utama untuk menuju ke dalam istana. Namun sejalan dengan perkembangannya pintu itu kemudian ditutup, karena ruangan yang tepat berada di sisi dalam pintu masuk ini dijadikan sebagai ruangan untuk menyimpan koleksi-koleksi yang terbuat dari bahan emas. Sekarang ini pintu utama yang menjadi akses keluar masuk Istana Kesultanan Bima adalah pintu yang terdapat pada sisi barat dan pintu di sisi utara merupakan pintu alternative. Masing-masing pintu masuk ini deilengkapi dengan anak tangga dan lantai yang terbuat dari bahan tegel.
Melihat bahan kontruksi bagian kaki bangunan Istana Kesultanan Bima yang terbuat dari bahan pasangan batu kali dan disiar dengan PC, merupakan suatu system konstruksi bangunan yang difungsikan untuk menanhan beban yang datang dari atas, mengingat bangunan ini merupakan bangunan berlantai dua dengan beban yang cukup berat. Secara umum kondisi bagian kaki bangunan Istana Kesultanan Bima ini dalam keadaann yang cukup baik, walaupun ada pada beberapa bagiannya mengalami gejala kerusakan dan pelapukan. Gejala kerusakan dan pelapukan yang terjadi pada bagian kaki bangunan istana ini prosentasenya relative sedikit.
- Bagian Badan
Bagian badan bangunan Istana Kesultanan Bima pada lantai I merupakan kontruksi yang yang tersusun dari bahan bata dengan perekat yang terbuat dari bahan pasir, kapur dan semen. Ciri khas arsitektur dengan gaya colonial nampak sangat jelas terlihat pada bagian badan bangunan Istana Kesultanan Bima ini, dimana terlihat dengan adanya pilar-pilar berbentuk segi empat dengan ukuran yang cukup besar, yaitu 30 cm x 30 cm dan juga terlihat dengan adanya jendela-jendela dengan ukuran yang cukup besar, yaitu panjang 180 cm, lebar 180 cm dan tinggi 282 cm. Secara umum bagian badan bagunan istana ini terbilang polos tanpa ada motif hiasan berupa relief ataupun ukiran. Bagian badan bangunan istana ini ditunjang dengan keseluruhan berupa tembok yang cukup tebal, kira dengan ketebala 37 sampai dengan 42 cm, terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu bagian teras sisi barat yang sekarang menjadi pintu utama untuk masuk ke bagian dalam istana, teras sisi selatan yang sekarang sudah ditutup aksesnya menuju ke ruangan dalam istana dan teras bagian utara yang merupakan pintu alternative untuk masuk ke bagian dalam istana.
Dinding bangunan istana yang dibuat dengan sistem perpaduan antara kontruksi kayu dengan bata. Tiang-tiang utama yang berfungsi sebagai penyangga beban dan balok-balok tarik berfungsi untuk menekan gerak horisontal yang ditimbulkan oleh adanya beban tarik dibuat dengan menggunakan bahan kayu jati ukuran 15 cm x 15 cm. Kusen, pintu dan jendela juga dibuat dengan bahan yang sama dirangkai menyatu dengan rangka bangunan sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh untuk menahan beban tekan dan tarik yang sering kali terjadi mengingat Pulau Sumbawa adalah merupakan daerah yang rawan gempa. Diantara tiang-tiang penyangga ini dipasang struktur bata sebagai pemisah ruangan sesuai dengan struktur tata ruang yang telah direncanakan. Struktur dinding dengan bahan bata juga menggunakan perekat baster yaitu campuran antara pasir kapur dan semen merah atau serbuk bata. Plesteran dinding juga menggunakan bahan yang sama, acian kapur dan dicat. Plapon menggunakan rangka dari kayu jati yang sekaligus menjadi lantai II Istana Kesultanan Bima.
Secara umum dinding bangunan Istana Kesultanan Bima dalam kondis baik, namun gejala kerusakan dan pelapukan kecil juga masih nampak terutama pada bagian dinding di bawah balkon, yang telah mengalami perubahan warna karena adanya rembesan air dari atas, mengingat kurang bagusnya sambungan antara balkon dengan bagian dinding utama bangunan istana. Selain itu juga nampak adanya retakan-retakan mikro pada beberapa bagian badan bangunan istana serta juga terjadinya pengelupasan cat pada dinding bangunan istana sehingga tidak indah dipandang mata dan mengganggu tampilan ditinjau dari segi estetis, walaupun cat-cat tembok tersebut belum lama direnovasi. Gejala kerusakan dan pelapukan ini disebabkan oleh karena adanya pengaruh air tanah dan juga air hujan yang sampai pada dinding bangunan istana. Pengaruh air tanah dan air hujan tersebut akan mempengaruhi kondisi bangunan Istana Kesultanan Bima secara menyeluruh akibat adanya kelembaban yang terjadi secara terus menerus. Selain karena pengaruh air, gejala kerusakan dan pelapukan yang terjadi pada bagian badan bangunan Istana Kesultanan Bima ini juga disebabkan karena reaksi kimia sinar matahari yang terus menerus menerpa bagian permukaan komponen bangunan istana yang terbuat dari bahan kayu, sehingga menyebabkan terjadinya pemudaran warna pada jendela-jendela bangunan istana. Gejala keerusakan dan pelapukan yang terjadi ini perlu mendapat perhatian serius agar dapat mencegah kerusakan dan pelapukan yang lebih parah.
- Bagian Atap
Atap bangunan Istana Kesultanan Bima keseluruhannya merupakan konstruksi yang terbuat dari bahan kayu dengan bentuk atap pelana. Bahan kontruksi bagian atap bangunan istana ini keseluruhannya mempergunakan bahan dari kayu jati, secara umum terdiri dari bagian tugeh, kuda-kuda, gording (rata-rata berukuran 15/15 cm), usuk dengan ukuran 5/7 cm dan papan dengan ukuran 3/20 cm. Kondisi bagian atap bangunan Istana Kesultanan Bima secara keseluruhan telah mengalami gejala kerusakan dan pelapukan yang cukup parah. Dimana telah banyak kayu-kayu komponennya mengalami pelapukan, retak-retak, patah, mengelupas, lepas (terutama pada bagian sirapnya) dan terjadi pemudaran warna yang diakibatkan oleh reaksi kimia sinar matahari.
Lantai II Istana Kesultanan Bima
- Bagian Lantai
Bagian lantai II Istana Kesultanan Bima adalah bagian kedua dari bangunan istana, akses untuk menuju ke lantai II istana ini dapat melalui sebuah tangga yang terdapat di sisi selatan lantai I istana dengan melewati beberapa anak tangga yang keseluruhannya terbuat dari bahan kayu jati. Struktur yang membentuk bagian lantai II bangunan istana ini keseluruhannya terbuat dari bahan papan-papan kayu jati dengan ukuran panjang rata-rata 400 cm, lebar 15 cm dan tebal 3 cm. papan-papan lantai kayu ini dipasang dengan arah memanjang utara selatan di keseluruhan ruangan lantai II bangunan Istana Kesultanan Bima.
Secara keseluruhan kondisi lantai kayu pada lantai II bangunan istana ini telah mengalami gejala-gejala kerusakan dan pelapukan, yang berupa kerusakan mekanis, pelapukan chemis, fisis, biologis dan vandalisme. Visualisasi dari gejala kerusakan dan pelapukan yang nampak antara lain berupa retak-retak mikro, penggaraman, pemudaran warna, adanya serangan serangga (rayap) dan juga tancapan-tancapan paku serta sisa-sisa cat yang mengotori permukaannya.
- Bagian Badan
Bagian badan atau dinding lantai II bangunan Istana Kesultanan Bima secara dapat kita bedakan menjadi dua bagian, yaitu bagian yang terbuat dari struktur bata dengan perekat pasir, kapur dan semen serta bagian yang terbuat dari struktur kayu. Bagian badan yang terbuat dari struktur kayu ini terletak pada sisi barat atau merupakan akses untuk menuju ke bagian balkon istana. Bagian badan yang terbuat dari struktur bata ini secara umum kondisi masih sangat bagus, walaupun pada beberapa bagiannya telah mengalami gejala kerusakan dan pelapukan, namun prosentasenya sangat kecil. Sedangkan bagian badan yang terbuat dari struktur kayu kondisinya sudah mengalami gejala kerusakan dan pelapukan yang cukup parah. Visualisasi gejala kerusakan dan pelapukan yang nampak pada bagian ini berupa retakan-retakan, pecah, mengelupas, pemudaran warna, penggaraman, adanya jasad-jasad renik yang tumbuh, serangan rayap dan juga gejala kerusakan yang disebabkan oleh ulah manusia.
- Bagian Atap/Balkon
Uraian tentang bagaimana kondisi bagian atap bangunan Istana Kesultanan Bima secara keseluruhan telah diuraikan sebelumnya pada uraian bagian atap lantai I. jadi disini akan diuraikan bagaimana kondisi atap balkon saja. Balkon ini terletak di sisi barat lantai II. Terbuat dari struktur besi dan dibeton. Posisi yang terbuka menyebabkan balkon ini terkena langsung hujan dan terik matahari, yang mengakibatkan kondisinya saat ini telah mengalami gejala kerusakan dan pelapukan yang cukup parah. Visualisasi gejala kerusakan dan pelapukan yang nampak pada balkon ini antara lain berupa retak-retak, pengelupasan, aus, tumbuhnya jasad-jasad organik dan pemudaran warna pada permukaan dinding.
Data Keterawatan
Gejala kerusakan dan pelapukan yang terjadi pada bangunan Istana Kesultanan Bima ini disebabkan oleh faktor internal dan external, antara lain disebabkan oleh debu dan angin yang nantinya akan menambah kerusakan dan pelapukan lebih lanjut. Selain kerusakan dan pelapukan yang disebabkan oleh faktor di atas, bangunan istana ini juga terdapat pertumbuhan jasad-jasad oganik yang juga merupakan faktor penyebab kerusakan dan pelapukan pada bangunan cagar budaya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bangunan Istana Kesultanan Bima ini telah mengalami empat jenis gejala keusakan dan pelapukan, yaitu :kerusakan mekanis, pelapukan fisis, pelapukan chemis, pelapukan biologis dan gejala kerusakan yang disebabkan oleh faktor manusia (vandalisme).
Kondisi Fisik dan Data Kerusakan
- Kondisi Fisik
- Kerusakan Struktural
Suatu kondisi yang tidak utuh , tidak sempurna yang terjadi pada unsur-unsur struktural suatu bangunan cagar budaya.Unsur-unsur yang berkaitan dengan aspek struktural suatu bangunan seperti : stabilitas tanah dasar/pondasi, sistem sambungan yang digunakan, jenis atap yang digunakan, kuat tekan, kuat geser dan lain-lain. Pengertian kerusakan struktural bangunan cagar budaya ini berlaku untuk semua jenis bangunan, baik bangunan cagar budaya yang berbahan batu, kayu maupun bata. Data kerusakan struktural sangat berguna untuk menentukan metode dan penyelesaian yang berkaitan dengan perbaikan terhadap kerusakan yang terjadi dengan memperhatikan faktor penyebab dan proses terjadinya kerusakan tersebut.
- Kerusakan Arsitektural
Suatu kondisi yang tidak utuh, tidak sempurna yang terjadi pada unsur-unsur arsitektural suatu bangunan cagar budaya. Unsur-unsur yang berkaitan dengan aspek arsitektural suatu bangunan adalah meliputi unsur-unsur dekoratif, relief, umpak dan lain-lain. Data-data kerusakan arsitektural ditinjau dari kelengkapan unsur atau komponen bangunan yang masih asli, yang telah diganti/diubah, dan bagian dari bangunan yang hilang berdasarkan pendekatan keaslian bentuk arsitekturnya. Data identifikasi kerusakan arsitektural digunakan untuk menentukan langkah-langkah pemulihan aspek arsitektur suatu bangunan berdasar pada prinsip-prinsip dan kaidah pemugaran.
Faktor Penyebab Kerusakan dan Pelapukan
Berdasarkan sifat-sifatnya, faktor yang memicu proses degradasi bahan pada cagar budaya dapat dibedakan menjadi dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi faktor perencanaan (teknologi pembuatan) dan faktor menurunnya rasio kwalitas bahan. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor lingkungan seperti iklim, air, biologis (mikroorganisme), bencana alam dan vandalisme (manusia).
Dari segi bentuknya, bentuk degradasi yang terjadi pada bangunan cagar budaya dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu kerusakan dan pelapukan. Kerusakan dan pelapukan mempunyai pengertian yang hampir sama, tetapi secara teknis istilah tersebut dapat dibedakan. Dimana yang dimaksud dengan kerusakan adalah perubahan yang terjadi pada bangunan cagar budaya yang tidak disertai dengan perubahan sifat-sifat fisik dan kimiawi, sedangkan pelapukan adalah perubahan yang terjadi pada bangunan cagar budaya yang disertai dengan adanya perubahan sifat-sifat fisik dan kimiawinya. Hasil pengamatan/observasi yang dilakukan maka teridentifikasi proses kerusakan dan pelapukan yang terjadi pada bangunan Istana Kesultanan Bima adalah sebagai berikut :
- Kerusakan Mekanis
Merupakan kerusakan yang dapat dilihat secara visual berupa retak, pecah dan patah. Kerusakan ini juga terkait dengan kondisi lingkungan bangunan cagar budaya terutama fluktuasi suhu udara, disamping tidak terlepas dari gaya statis maupun gaya dinamis yang diterima oleh sebuah bangunan. Yang dimaksud dengan gaya statis adalah adanya tekanan beban dari atas terhadap lapisan batu di bawahnya, sedangkan yang dimaksud dengan gaya dinamis adalah suatu gaya yang dipengaruhi oleh faktor luar (eksternal), seperti getaran gempa bumi (faktor alam). Kerusakan mekanis secara keseluruhan pada Istana Kesultanan Bima mencapai prosentase kurang lebih 12% dari keseluruhan permukaan bidang bangunan. Visualisasi dari gejala kerusakan mekanis pada gapura kuna ini adalah berupa retak, pecah dan retak.
- Pelapukan Fisis
Merupakan pelapukan yang disebabkan oleh iklim dimana bangunan cagar budaya itu berada, baik secara mikro maupun secara makro. Unsur iklim, suhu dan kelembaban merupakan faktor utamanya, besarnya amplitudo suhu dan kelembaban baik itu siang maupun malam hari akan sangat memicu terjadinya pelapukan secara fisis. Pelapukan secara fisis yang terjadi pada Istana Kesultanan Bima antara lain berupa aus pada beberapa bagian permukaan bidang bangunan istana. Semua gejala pelapukan fisis yang nampak pada Istana Kesultanan Bima ini kemungkinan disebabkan oleh faktor adanya kapilarisasi air tanah dan pengaruh air hujan. Pelapukan fisis secara keseluruhan pada Istana Kesultanan Bima mencapai prosentase kurang lebih 16% dari keseluruhan permukaan bidang bangunan. Visualisasi dari gejala pelapukan fisis pada istana ini adalah berupa penggaraman, pengelupasan permukaan dan perubahan warna pada bidang permukaan komponen yang terbuat dari bahan kayu.
- Pelapukan Chemis
Pelapukan yang terjadi pada bangunan cagar budaya sebagai akibat dari proses atau reaksi kimiawi. Dalam proses ini faktor yang berperan adalah air, penguapan dan suhu. Air hujan dapat melapukan benda melalui proses oksidasi, karbonatisasi, sulfatasi dan hidrolisa. Gejala-gejala yang nampak pada pelapukan ini adalah berupa penggaraman. Prosentase gejala pelapukan chemis yang terjadi pada Istana Kesultanan Bima ini kira-kira mencapai 25% dari keseluruhan permukaan bidang bangunan.
- Pelapukan Biologis
Pelapukan pada material bangunan cagar budaya yang disebabkan oleh adanya kegiatan mikroorganisme, seperti pertumbuhan jasad-jasad organik berupa lichen, moss, algae dan pertumbuhan perdu. Gejala yang nampak pada kerusakan ini adalah berupa diskomposisi struktur material, pelarutan unsur dan mineral, adanya noda pada permukaan material dan sebagainya. Prosentase pelapukan biologis yang nampak pada bangunan Istana Kesultanan Bima ini mencapai sekitar 5% dari keseluruhan permukaan bidang bangunan.
- Vandalisme
Merupakan kerusakan yang disebabkan oleh ulah manusia, seperti adanya tancapan-tancapan paku, tulisan-tulisan spidol pada dinding istana dan juga sisa-sisa cat di lantai kayu Istana Kesultanan Bima. Prosentase gejala vandalisme ini mencapai ± 3% dari keseluruhan permukaan bidang bangunan istana.
Faktor Penyebab Kerusakan dan Pelapukan
- Faktor Internal
Faktor internal meliputi faktor perencanaan (teknologi pembuatan), faktor menurunnya rasio kwalitas bahan serta letak atau posisi bangunan. Bangunan yang dibuat dengan perencanaan atau teknologi yang baik akan memiliki daya tahan yang baik serta dapat mengurangi kerusakan yang diakibatkan oleh faktor mekanis dan fisik. Bangunan yang dibuat dengan bahan yang kwalitasnya jelek akan cepat mengalami kerusakan sedangkan bangunan yang dibuat dengan bahan yang bagus akan bertahan lebih lama dari berbagai macam kerusakan dan pelapukan serta tanah tempat suatu bangunan cagar budaya berdiri juga mempengaruhi kelestarian material bangunan. Tanah yang memiliki sifat rentan terhadap faktor air, daya tahannya akan mudah menurun sehingga menyebabkan kondisi bangunan tidak stabil.
- Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor lingkungan yang meliputi faktor fisis (suhu, kelembaban, hujan), faktor biologis, faktor kimiawi, bencana alam serta faktor manusia (vandalisme). Pengaruh suhu dan kelembaban yang yang tinggi dan berubah-ubah akan mengakibatkan suatu bangunan cagar budaya kondisinya tidak stabil, yang pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan dan pelapukan. Air hujan juga akan menyebabkan kelembaban pada bangunan cagar budaya akan meningkat yang pada akhirnya akan merangsang tumbuhnya jasad–jasad organik pada permukaan material cagar budaya yang pada akhirnya juga akan menimbulkan kerusakan dan pelapukan. Faktor eksternal penyebab kerusakan dan pelapukan pada bangunan cagar budaya sangat sulit untuk dihindari, apalagi terhadap bangunan cagar budaya yang terdapat di alam terbuka.
Rencana Program
Dalam UU No 11 Tentang Cagar Budaya Tahun 2010, pasal 1 ayat 28, disebutkan pemugaran adalah upaya pengembalian konsi fisik benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, dan struktur cagar budaya yang rusak sesuai dengan keaslian bahan, bentuk, tata letak, dan/atau teknik pengerjaan untuk memperpanjang usianya.
Berdasrkan hasil observasi di lapangan dapat diketahui bahwa bangunan Istana Kesultanan Bima telah mengalami gejala kerusakan dan pelapukan pada beberapa bagiannya, yang antara lain terjadi pada bagian balkon,tembok-tembok, dinding kayu di lantai dua, atap serta pada bagian lantai di lantai satu.
Analisa terhadap data-data yang berhasil dikumpulkan selama pelaksanaan kegiatan studi teknis arkeologi di Istana Kesultanan Bima dicapailah suatu kesimpulan rencana pelaksanaan pemugaran terhadap bangunan cagar budaya ini, yakni pemugaran akan dilaksanakan dengan mengunakan metode konsolidasi/parsial, yakni pemugaran dengan cara melakukan penggantian pada komponen-komponen bangunan yang rusak saja. Adapun perencanaan pelaksanaan pemugaran terhadap bangunan Istana Kesultanan Bima ini meliputi perbaikan terhadap seluruh teras yang mengelilingi bangunan istana, perbaikan terhadap bagian pondasi yang amblas, retak dan pecah, tembok-tembok dan bagian lantai yang mengalami retak-retak.
Berdasarkan hal tersebut dalam rencana pelaksanan pemugaran, mengingat fungsi Istana Kesultanan Bima, disamping sebagai tempat tinggal raja juga berfungsi sebagai museum tempat menyimpan benda-benda peninggalan milik Kesultanan Bima, dan Istana Kesultanan Bima juga sering dikunjungi oleh para pengunjung yang datang ke Sabu baik domestik maupun mancanegara. Mengingat nilai penting Istana Kesultanan Bima dan melihat kondisinya sekarang maka disusunlah rencana penanganan pemugarannya sebagai berikut :
Rencana Penanganan Pemugaran
Pekerjaan Persiapan:
- Pekerjaan Pembersihan Objek
Mengawali kegiatan pemugaran dilakukan upaya pembersihan areal kerja dari hal-hal yang mengganggu aktivitas pemugaran. Pembersihan lapangan meliputi : pembersihan lingkungan situs dan pembersihan pada obyek pemugaran (bangunan yang akan dipugar).
- Pekerjaan Pemasangan Stager
Untuk dapat mencapai sasaran di tempat yang tinggi maka diperlukan perantos atau stager agar mudah dalam melakukan aktivitas. Perantos atau stager dibuat atau memasang stager yang terbuat dari besi dengan dikombinasikan dengan menggunakan bambu. Perantos atau stager ini dibuat dengan memperhitungkan kemudahan jangkauan diatas tempat yang tinggi dan juga faktor keselamatan bekerja.
- Pekerjaan Pembongkaran
Kegiatan pembongkaran atau disebut juga penurunan komponen-komponen asli bangunan cagar budaya Istana Kesultanan Bima adalah merupakan upaya perbaikan struktur dan pemulihan arsitektur dari bangunan cagar budaya tersebut, karena sudah mengalami kerusakan dan pelapukan. Dari kegiatan pembongkaran ini dapat diketahui kondisi fisik tiap–tiap komponen-komponen asli Istana Kesultanan Bima untuk kemudian mendapatkan sebuah metode penanganan kerusakan dan pelapukannya.
Adapun rangakain kegiatan pembongkaran/penurnan komponen-komponen asli Istana Kesultanan Bima akan diuraikan sebagai berikut :
- Penurunan Struktur Atap
Pekerjaan penurunan terhadap struktur atap teras bangunan Istana Kesultanan Bima merupakan rangkaian awal dari keseluruhan pekerjaan pembongkaran. Penurunan struktur atap Istana Kesultanan Bima dilaksanakan secara menyeluruh, mengingat kayu-kayunya sudah mengalami kerusakan dan pelapukan yang cukup parah dan sebagian besar akan diganti dengan bahan kayu yang baru. Bahan kayu pengganti untuk struktur atap ini akan mempergunakan kayu yang memiliki kualitas yang baik dan menyerupai kayu komponen asli.
- Pembongkaran Lapisan Tembok
Dinding bangunan Istana Raja Sabu dibuat dengan bahan bata berperekat perpaduan antara pasir dan kapur. Dinding bangunan istana ini dibuat sangat tebal atau melebihi ketebalan dinding-dinding bangunan pada umumnya. Plesteran dinding menggunakan bahan acian kapur dan dicat dengan cat tembok pada umumnya. Secara umum dinding bangunan Istana Kesultanan Bima dalam kondis baik, namun keruskan-kereusakan kecil juga masih nampak terutama pada bagian dinding yang telah mengelupas sehingga tidak indah dipandang mata dan mengganggu tampilan ditinjau dari segi estetis. Kerusakan dan pelapukan yang terjadi pada bagian dinding bangunan istana ini disebabkan oleh karena adanya pengaruh air tanah yang terus menerus menembus dinding karena bagian bawah (pondasi) tidak dilengkapi dengan lapisan kedap air (sloop) dan juga faktor usia yang sudah tua.
- Perbaikan Bagian Pondasi
Sama halnya dengan bagian tembok, pondasi bangunan Istana Kesultanan Bima ini hanya mengalami kerusakan di beberapa bagian saja. Sedangkan bagian pondasi lainnya cenderung masih stabil, dan hanya mengalami gejala-gejala kerusakan dan aus berupa retak-retak mikro dan pengelupasan-pengelupasan lapisan luar saja.
- Perbaikan Lantai
Keseluruhan dari bagian lantai bangunan Istana Kesultanan Bima ini terbuat dari bahan tegel. Hasil pengamatan di lapangan dapat diketahui bahwa bagian lantai Istana Raja Sabu ini telah mengalami gejala-gejala kerusakan, yang berupa retak-retak, pecah dan mengelupas. Hal ini kemungkian disebakan oleh faktor umur yang sudah tua dan juga kwalitas bahan yang kurang begitu bagus.
Berkanaan dengan hal itu pada perencanaan ini bagian lantai lama Istana Kesultanan Bima ini akan diganti dengan bahan tegel. Diharapkan dengan mempergunakan bahan tegel ini akan bagian lantai bangunan istana ini dapat bertahan dalam waktu yang lama.
Pekerjaan Finishing
- Pekerjaan Politur
Pekerjaan politur ini dilakukan terhadap seluruh komponen-komponen kayu yang terdapat di Istana Kesultanan Bima. Politur yang dipergunakan disesuaikan dengan warna asli kayu, sehingga tampak indah dan serasi.
- Pekerjaan Pengecatan
Pengecatan dilakukan terhadap semua bidang tembok bangunan Istana Kesultanan Bima. Cat yang dipergunakan adalah cat yang memiliki kwalitas bagus dan anti air (waterfroof) sehingga cat ini dapat bertahan lama. Warna cat yang dipilih adalah warna yang sesuai dengan warna cat asli Istana Kesultanan Bima.
- Pembersihan
Untuk mendapatkan hasil yang sesuai dan mendekati sturktur asli maka dilakukan upaya pembersihan terhadap komponen pengganti terutama di bagian muka pasangan agar sesuai dengan aslinya. Upaya ini diperlukan untuk dapat menyesuaikan antara komponen asli dan komponen pengganti agar kelihatan sama baiknya dilihat dari pola maupun teknis pengerjaan, sehingga dapat menampakkan kesan kompak, serasi, harmonis dan indah.
- Penggambaran Purnapugar
Sebagai langkah terakhir dari proses kegiatan pemugaran bangunan meru tumpang sebelas, dilakukan penggambaran hasil pemugaran. Gambar ini disebut gambar purna pugar sebagai bentuk pertanggung jawaban pemugaran secara teknis maupun arkeologis.
Rencana Penanganan Konservasi
Rencana penanganan pemeliharaan yang berupa tindakan konservasi yaitu meliputi penentuan prosedur, metode, teknis, bahan, peralatan, tenaga (jumlah kompetensi) dan biaya. Salah satu bentuk penanganan yang direncanakan adalah perawatan secara kuratif. Kegiatan perawatan ini dimaksudkan untuk menanggulangi segala permasalahan kerusakan maupun pelapukan. Dasar yang digunakan dalam kegiatan penanganan ini meliputi perawatan secara tradisional maupun modern.
- Perawatan Tradisional
Perlakuan konservasi secara tradisional dilakukan dengan mempergunakan peralatan seperti solet, sapu lidi, sikat ijuk, kapi, cengkeh, tembakau, pelepah daun pisang serta peralatan lainnya. Tindakan ini efektif bila kerusakan secara biologis seperti moss, algae dan lichen telah mengering dan mati.
- Perawatan Modern
Perawatan yang dilakukan dengan mempergunakan bahan kimia. Adapun jenis penanganan perawatan modern yang dilakukan adalah : pembersihan mekanis kering, pembersihan chemis, konsolidasi perbaikan, pengawetan dan sterilisasi.
Berikut ini akan diuraikan tentang bagaimana kegiatan perawatan secara modern dilaksanakan :
- Pembersihan Mekanis Kering
Kegiatan ini dimaksudkan untuk membersihkan akumulasi debu, kotoran-kotoran dan endapan-endapan tanah dalam bentuk inkratasi bekas-bekas rumah serangga. Dalam pelaksanaannya pembersihan mekanis kering dilaksanakan dengan hati-hati dan cermat untuk menghindari adanya pertambahan kerusakan mekanis, terutama pada bagian-bagian yang sudah rapuh.
- Pembersihan Chemis
Pembersihan chemis dilakukan untuk membersihkan noda-noda yang sulit dibersihkan secara tradisional, seperti kotoran, lichen dan geram-garam yang sudah mengendap. Bahan yang dipergunakan pada kegiatan ini adalah pelarut organic sejenis alcohol, aceton dan larutan air tembakau, cengkeh serta pelepah pisang. Sebelum mempergunakan bahan-bahan tersebut perlu dilaksanakan pengujian terlebih dahulu untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan dampak yang terjadi terhadap obyek yang akan dikonservasi.
- Konsolidasi
Kegiatan konsolidasi ini dilaksanakan terhadap bagian-bagian obyek konservasi yang mengalami pelapukan cukup serius. Jenis bahan yang dipergunakan dalam pelaksanakan kegiatan ini adalah Paraloid B-72 dengan pelarut Thye Acetate dengan konsentrasi 3%. Aplikasi bahan dilakukan melalui cara pengolesan dengan mempergunakan kuas.
- Pengawetan dan Sterilisasi
Kegiatan ini dilaksanakan sebagai langkah antisipasi adanya serangan rayap pada bangunan Istana Kesultanan Bima. Langkah ini dilakukan dengan pengolesan dan injeksi. Bahan-bahan yang dipergunakan adalah insektisida jenis lentrek dengan kadar 3% dan pelarutnya adalah minyak tanah.
- Perbaikan
Kegiatan ini dilakukan untuk menutupi dan juga untuk memperkuat bagian-bagian bangunan Istana Kesultanan Bima yang mengalami keretakan-keretakan akibat pengaruh suhu dan kelembaban yang tidak menentu. Bahan-bahan yang dipergunakan adalah Araldite dicampur dengan Penolmikrobalon.
Rencana Penanganan Lingkungan
Hasil pelaksanaan pemugaran terhadap bangunan Istana Kesultanan Bima adalah berupa harapan untuk dapat mewujudkan kembali keberadaan bangunan cagar budaya tersebut ke dalam bentuk aslinya, berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan sebelumnya. Pemugaran ini dilaksanakan dengan mempergunakan atau berdasarkan atas prinsip dan prosedur pemugaran bangunan cagar budaya, dengan memperhatikan keaslian bentuk, bahan, tata letak serta teknik pengerjaan. Disamping itu hal yang tidak kalah pentingnya selama proses pemugaran ini adalah dengan menugaskan tenaga-tenaga yang sudah berpengalaman dan memiliki kompetensi terhadap pemugaran bangunan cagar budaya. Dengan memperhatikan hal tersebut di atas pemulihan akan struktur dan arsitektur bangunan Istana Kesultanan Bima dapat diwujudkan.
Dalam upaya pelestarian terhadap bangunan cagar budaya Istana Kesultanan Bima setelah dilakukannya pemugaran, perlu diimbangi dengan upaya atau usaha untuk penataan lingkungan, agar keberadaan bangunan cagar budaya tersebut tampak serasi atau menyatu dengan lingkungan di sekitarnya. Secara umum kerusakan lingkungan yang dapat mempengaruhi keberadaan suatu bangunan cagar budaya disebabkan oleh faktor alam dan manusia. Salah satu faktor alam yang dapat mempengaruhi keberadaan bangunan cagar budaya adalah pengaruh air, baik itu yang berupa air tanah maupun air hujan yang tidak dapat dikendalikan, sedangkan faktor manusia yang dapat mempengaruhi keberadaan suatu bangunan cagar budaya adalah pemanfaatan lahan di sekitar bangunan cagar budaya yang tidak terkendali. Berkenaan dengan hal tersebut maka usaha penataan lingkungan yang dilaksanakan setelah selesainya pemugaran bangunan Istana Kesultanan Bima antara lain :
- Pembuatan Saluran Drainase
Pembuatan saluran drainase di sekitar bangunan Istana Kesultanan Bima dimaksudkan sebagai usaha pengendalian genangan air hujan pada saat musim penghujan selain itu pembuatan saluran drainase ini juga untuk meminimalisasi kapilarisasi air tanah naik ke bangunan Istana Kesultanan Bima. Alternatif pembuatan saluran drainase ini adalah dengan membuat saluran ke tempat yang posisinya lebih rendah daripada posisi bangunan Istana Kesultanan Bima.
- Pembuatan Tembok Keliling
Secara umum areal Istana Kesultanan Bima telah dibatasi dengan tembok keliling yang terbuat dari struktur batu karang. Namun tembok ini ukurannya tidak terlalu tinggi, sehingga sangat mudah untuk dilompati dan juga dari sisi keamanan juga sangat riskan. Berkenaan dengan hal tersebut, maka pada upaya penataan lingkungan istana ini juga termuat rencana pembaharuan tembok keliling ini. Perencanaan yang dibuat adalah dengan menambah komponen-komponen besi atau BRC, sehingga secara keseluruhan tembok ini menjadi lebih tinggi dan tidak bisa dilompati dengan mudah. Pemasangan BRC ini juga akan dilengkapi dengan pilar-pilar pada tembok yang sudah ada tersebut. Pemasangan BRC ini akan mengelilingi seluruh areal Istana Kesultanan Bima.
- Pertamanan
Penataan taman disekitar bangunan Istana Kesultanan Bima bertujuan untuk memperindah lingkungan di sekeliling bangunan istana dengan menanam rumput-rumputan. Penanaman rumput ini diharapkan menampakkan kesan sejuk dan asri serta juga untuk mencegah pengikisan tanah di sekitar bangunan Istana Kesultanan Bima yang mungkin disebabkan oleh air hujan. Untuk menambah keindahan dan keasrian lingkungan di sekitar bangunan Istana Kesultanan Bima dapat pula dilakukan penanaman pohon-pohon yang berfungsi sebagai perindang.
- Pemeliharaan Yang Berkesinambungan
Usaha untuk memelihara bangunan cagar budaya dan lingkungannya setelah selesainya pelaksanaan pemugaran mutlak harus dilakukan, kerena usaha pemeliharaan yang merupakan usaha preventif lebih baik daripada nantinya bangunan cagar budaya tersebut terlanjur mengalami keruskan yang berat. Berhubungan dengan hal tersebut peran serta masyarakat dan kerabat Kerajaan Sabu sangat penting, dan yang tidak kalah pentingnya dalam usaha pemeliharaan suatu cagar budaya adalah koordinasi antara masyarakat dan instansi yang berkompeten dibidang usaha pelestarian cagar budaya.
Kesimpulan
- Bangunan Istana Kesultanan Bima ini merupakan suatu bangunan cagar budaya yang memiliki nilai budaya dan sejarah yang penting. Hal ini berkenaan dengan sejarah keberadaan dan perkembangan Kesultanan Bima.
- Bangunan Istana Kesultanan Bima dapat dijadikan sebagai suatu bahan kajian bagi penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang sejarah, arkeologi, budaya dan arsitektur.
- Untuk mengantisipasi gejala kerusakan yang terjadi pada bangunan cagar budaya Istana Kesultanan Bima ini perlu kiranya mendapatkan penanganan pemugaran secara parsial (konsolidasi) dan juga penanganan konservasi, sehingga bangunan cagar budaya ini kelestariannya tetap terjaga.
- Pelaksanaan pemugaran terhadap bangunan Istana Kesultanan Bima hendaknya dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip pemugaran bangunan cagar budaya sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.
- Penanganan keadaan lingkungan perlu mendapatkan perhatian, karena dengan keberadaan lingkungan yang asri akan dapat mewujudkan keindahan dan keserasian lingkungan Istana Kesultanan Bima secara keseluruhan.
Saran
- Pada saat pelaksanaan pemugaran nantinya, hendaknya prinsip-prinsip pemugaran bangunan cagar budaya benar-benar diperhatikan, yang meliputi tentang keaslian bentuk, bahan, warna, tata letak serta teknologi pengerjaannya. Hal ini sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.
- Keberadaan cagar budaya bangunan Istana Kesultanan Bima dan benda cagar budaya peninggalan Kesultanan Bima perlu kiranya diperkenalkan kehadapan khalayak umum, karena ini merupakan hal yang sangat penting bagi kita semua dan merupakan pencerminan jati diri bangsa secara keseluruhan.
- Sebagai langkah preventif terhadap kelestarian bangunan cagar budaya ini, hendaknya seluruh masyarakat Bima dan juga keluarga Kesultanan Bima senantiasa menjaga warisan budaya yang tak ternilai ini, agar nantinya dapat diwariskan kepada generasi-generasi berikutnya.