Data Arkeologi di Situs Pura Tirta Empul

0
8647

Seperti pada umumnya pura-pura di Bali, Pura Tirta Empul secara horizontal terbagi atas tiga halaman, yaitu halaman luar, halaman tengah, dan halaman dalam. Pada halaman luar (jaba) terdapat beberapa bangunan seperti wantilan dan kolam beserta ikan hias untuk memperindah pura. Di halaman tengah terdapat beberapa bangunan, antara lain, Bale Pegat, Bale Agung, Bale Gong, dan Taman suci. Pada halaman dalam yang merupakan halaman tersuci terdapat sejumlah bangunan suci pemujaan seperti Bale Piyasan, Bale Pemereman, Bale Pawedan, Pelinggih Mayadanawa, Pelinggih Patih Mayadanawa, Bale Priyasan Dewa, Gedong Pengemit, Gedong Dewa, Tepasana, Gedong Sari, Bale Pengaruman, dan Bale Peselang.

Tinggalan arkeologi yang merupakan ciri kekunaan Pura Tirta Empul terdapat di halaman tengah dan halaman dalam pura. Beberapa tinggalan arkeologi yang terdapat di Pura Tirta Empul adalah sebagai berikut.

  • Empat buah batu alam

Batu-batu alam ini berada di halaman dalam pura, letaknya di dekat bangunan Gedong Sari. Batu-batu alam ini masih dianggap suci oleh masyarakat pengempon pura. Dari pengamatan yang seksama dapat dikatakan bahwa batu-batu itu kemungkinan besar adalah menhir atau tahta batu yang terkait untuk kepentingan keagamaan. Menhir adalah batu tegak yang didirikan sebagai tanda peringatan dan melambangkan arwah nenek moyang. Menhir dapat berdiri tegak atau berkelompok. Menhir merupakan refresentasi monumen megalitik yang didirikan oleh sekelompok masyarakat di tempat-tempat tertentu dan akan melegitimasikan hubungan antar kelompok masyarakat dengan leluhur atau nenek moyangnya. Sementara itu tahta batu adalah salah satu hasil teknologi batu yang mula-mula berfungsi sakral sebagai tahta arwah nenek moyang atau pemimpin yang dihormati. Penelitian di lapangan menunjukkan bahwa tahta batu itu dibangun dengan teknik susun tumpuk, yaitu dengan jalan menyusun tumpuk batu-batu menurut keperluan tanpa mengubah bentuk aslinya (Sutaba, 1995: 74-75). Dalam perkembangan selanjutnya, teknik susun tumpuk telah mengalami penyempurnaan sehingga menjadi teknik susun timbun dalam pembangunan candi-candi. Dengan demikian terbukti bahwa teknik susun tumpuk telah menjadi dasar teknik pembangunan yang berkembang belakangan di daerah Bali. Di Kabupaten Gianyar hanya ditemukan dua buah tahta batu, yaitu sebuah tahta batu yang dibuat dari sebuah batu kali yang dipangkas menjadi bagian sandaran dan alas tempat duduk. Tahta batu ini sampai sekarang dipandang sebagai media pemujaan yang sakral disimpan di Pura Sakenan, Ubud, bersama-sama dengan bentuk-bentuk megalitik lainnya. Tahta batu yang kedua, adalah deretan tahta batu disusun memanjang, ditemukan di Desa Lebih yang juga berfungsi sakral. Menurut fungsinya dewasa ini, tahta batu itu berfungsi sebagai media pemujaan kepada leluhur atau pemimpin dengan harapan dapat memberi kesejahteraan kepada masyarakat.

  • Lingga-Yoni

Lingga yoni terdapat pada sebuah pelinggih arca di halaman tengah di sebelah barat kolam suci Tirta Empul. Lingga yang terletak (berdiri) pada lubang yoni dibuat dari bahan batu padas, dengan ukuran tinggi 21 cm dan lebar 16 cm. Sedangkan yoni yang berada di bawahnya, bagian sisinya berukuran 50 cm. Sebagai sarana peribadatan benda ini diketahui melambangkan kesatuan Dewa Siwa dengan saktinya Dewi Parwati. Adakalanya yoni ditemukan tanpa ada lingganya. Sedangkan lingganya dapat diwujudkan dalam bentuk phalus sebagaimana dijumpai di Pura Pusering Jagat, di Desa Pejeng, Gianyar. Pasangan lingga-yoni pada umumnya dijumpai pada bilik candi-candi Hindu, di daerah Jawa Timur maupun Jawa Tengah untuk menggantikan arca Dewa yang seharusnya terdapat dalam sebuah candi. Ada kalanya kedua benda itu dijumpai tanpa ada suatu bangunan yang diduga memiliki kaitan dengan keberadaannya, misalnya lingga-yoni sebagai lambang kesuburan.

Yoni adalah benda berbentuk seperti lumpang batu yang mempunyai cerat pada salah satu sisinya. Menurut kepercayaan Hindu, yoni merupakan simbol pasangan Dewa Siwa dalam wujud lingga. Oleh karena itu, yoni mempunyai pasangan berupa lingga yang bentuknya seperti tiang atau batu penumbuk yoni juga merupakan lambang unsur wanita, sedangkan lingga merupakan lambang unsur laki-laki. Persatuan kedua unsur tersebut dianggap sebagai lambang penciptaan dan kesuburan (Kempers, 1956 : 42-43).

  • Arca Binatang

Tokoh binatang tentu paling mudah diketahui karena jelas identitasnya. Namun, dalam kaitannya dengan dunia kedewataan, arca binatang seringkali bukanlah binatang dalam arti biasa, tetapi merupakan kendaraan Dewa tertentu, sehingga kehadiran tokoh ini seringkali dapat dijadikan petunjuk mengenai Dewa Utama yang hadir bersamanya. Di Pura Tirta Empul ditemukan dua arca binatang, yaitu lembu dan singa yang ditempatkan bersama-sama dengan lingga-yoni tersebut di atas. Sebuah arca lembu dari bahan batu padas ditemukan di Pura Tirta Empul. Arca lembu berukuran panjang:  90 cm, tinggi: 48 cm, dan lebar 36 cm, berbahan batu padas. Arca lembu dalam sikap telungkup di atas lapiksegi empat panjang dalam keadaan aus. Sebuah arca singa juga ditemukan di Tirtha Empul dengan ukuran tinggi 59 cm,lebar: 58 cm, dan tebal 32 cm, berbahan batu padas. Binatang ini pada umumnya dijumpai sebagai arca, baik sebagai kendaraan Dewa Siwa maupun sebagai musuh Durga (Mahisa Asura). Arca lembu pada umumnya ditampilkan sebagai binatang dalam posisi mendekam. Sebagai wahana Dewa Siwa, lembu biasanya ditampilkan terpisah dari Siwa. Namun sebagai musuh Durga, lembu (bersama asura) selalu digambarkan dalam bentuk adegan di mana Du  rga dalam posisi menginjaknya. Penggambaran seperti itu ditemukan di Pura Bukit Dharma, Desa Kutri, Gianyar. Sedasdngkan Arca Singa terutama yang terbuat dari bahan batu padas umumnya dipajang sebagai penjaga bangunan suci.

  • Fragmen Bangunan dan Bangunan Tepasana

Tidak jauh dari temuan arca perwujudan, ditemukan pula fragmen bangunan. Berdasarkan bentuknya, fragmen bangunan ini diperkirakan merupakan bagian dari susunan atap prasada atau candi. Fragmen yang berbahan dari batu padas ini pada bagian sisi-sisinya telah ditumbuhi lumut, sedangkan bagian sudut dan bawahnya dalam keadaan aus. Selain fragmen bangunan, di Pura Tirta Empul terdapat bangunan utama, yaitu tepasana yang mirip dengan bentuk candi. Candi adalah salah satu ba ngunan keagamaan yang mendapat pengaruh dari budaya Hindu Buddha. Dari kitab Negarakertagama dan Pararaton diperoleh keterangan bahwa pembangunan candi bertalian erat dengan peristiwa wafatnya seorang raja. Sebuah candi didirikan sebagai tempat untuk mengabadikan dharma-Nya dan memuliakan rohnya yang telah bersatu dengan dewa penitisnya (Seokmono, 1993 : 67). Secara konseptual bentuk fisik candi yang menjulang tinggi merupakan replika gunung, tempat bersemayam para Dewa dan roh-roh suci. Candi yang berfungsi sebagai kuil pemujaan agama Hindu dan Buddha biasanya mempunyai ruang untuk menempatkan arca/patung yang menggambrkan Dewa, sekaligus raja titisannya. Di Bali, roh leluhur lebur menyatu dengan Dewa yang di dunia manusia diwakili oleh raja. Dengan demikian, pemujaan terhadap Dewa agama Hindu dan Buddha waktu itu merupakan bentuk baru dari pemujaan terhadap roh leluhur atau nenek moyang (Atmosudiro, 2001 : 47).

Secara vertikal candi dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kaki candi, tubuh candi, dan atap candi. Ketiga bagian itu melambangkan tiga tingkatan dunia, yaitu bhurloka, bhuwah loka, dan swahloka. Kaki candi melambangkan bhurloka, yaitu dunia bawah tempat kehidupan manusia. Di dalam kaki candi di bagian tengah terdapat sumuran untuk menempatkan pripih, yaitu wadah berisi kepingan-kepingan logam, batu mulia, dan biji-bijian, yang menjadi media bagi para Dewa untuk memasukkan ”zat inti” kedewaannya. Tubuh candi melambangkan bhuwahloka, yaitu dunia tengah tempat kehidupan manusia yang sudah disucikan, Dalam tubuh candi di atas sumuran itulah ditempatkan arca Dewa atau obyek pemujaan lainnya. Sedangkan atap candi melambangkan swahloka, yaitu dunia atas tempat kehidupan para Dewa. Bangunan tepasana di Pura Tirta Empul yang mirip dengan candi berfungsi sebagai tempat pemujaan terhadap Dewa Indra.

  • Petirtaan

Sebagaimana telah disebutkan di atas di kompleks situs Pura Tirta Empul terdapat sumber mata air yang sangat jernih. Mata air ini terletak di bagian halaman tengah pura dan merupakan air suci yang dimanfaatkan untuk kepentingan upacara keagamaan. Selain itu masyarakat meyakini bahwa mata air tersebut memiliki kekuatan magis yang dapat menghilangkan segala macam mala (kotor) dalam tubuh manusia. Sumber mata air itu dialirkan ke kolam permandian yang ada di halaman luar pura. Di situlah pada hari-hari tertentu banyak orang datang dan melukat untuk membersihkan tubuhnya/ menyucikan dirinya. Di Pura Tirta Empul sekarang terdapat tiga buah kolam, yaitu kolam utama sebagai pusat sumber air, sedangkan kolam kedua dan ketiga sebagai tempat penampungan air melalui beberapa pancuran yang berjajar dari barat ke timur. Dari satu mata air yang dianggap suci, air dialirkan melalui pancuran yang dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupannya. Di antara air suci (tirta) itu, ada di antaranya yang berfungsi untuk pembersihan, untuk pengobatan, untuk menghilangkan kutukan, dan untuk upacara keagamaan. Tidak terhitung jumlah orang yang datang menyucikan diri ke kolam suci Pura Tirta Empul. Dari hari biasa sampai pada hari tertentu yang dianggap suci, jumlah umat yang datang sungguh luar biasa. Mereka rela menunggu giliran dalam antrean panjang, dengan kesabaran dan ketulusan hari untuk memohon berkah dari yang Maha Kuasa. Air dari kolam ini sebagian dialirkan ke jaringan irigasi untuk mengairi sawah di Desa Pejeng, dan sebagian lagi dialirkan ke sebuah kolam permandian yang ada di sebelah timur, dan sisanya dialirkan ke Sungai Pakerisan yang berada di sisi timur pura.