BENTUK INTERELASI ACARA AGAMA HINDU DAN PELESTARIAN CAGAR BUDAYA DI KAWASAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) PAKERISAN, TAMPAKSIRING, GIANYAR

0
4356

I Wayan Muliarsa

(Telah diterbitkan dalam Buletin Sudamala, Volume 05/1/2019)

I. PENDAHULUAN

Bali memiliki kekayaan budaya yang terbangun secara bertahap menurut perkembangan kebudayaan Bali dari masa prasejarah. Pitana (dalam Dharma Putra (ed.), 2004:7) menyatakan bahwa kebudayaan Bali merupakan perpaduan berbagai unsur budaya, seperti budaya megalitik, animisme, dinamisme, totemisme, China, India, Jawa, dan Barat (modern). Proses interaksi budaya terjadi secara alkulturatif, di mana unsur-unsur asing diolah sedemikian rupa ke dalam budaya lokal tanpa menghilangkan kepribadian dasar masyarakatnya (Geriya, 2000). Artinya, budaya Bali yang diwarisi saat ini merupakan perpaduan kepercayaan dan tradisi asli Bali dengan berbagai elemen budaya lain yang berinteraksi sepanjang kurun sejarah.

Tinggalan-tinggalan arkeologi dari masa pra-Hindu di Bali menunjukkan bahwa kebudayaan Bali sebelum masuknya pengaruh Hindu telah memiliki posisi yang cukup tinggi. Oleh karena itu, masuknya unsur-unsur Hindu baik yang hadir langsung dari India maupun karena pengaruh kerajaan Hindu di Jawa hendaknya dipandang sebagai zat penyubur kebudayaan Bali yang tetap saja memperlihatkan kekhasan dan keunikannya (Utama, 2003). Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa akulturasi budaya Bali dan agama Hindu menunjukkan perpaduan yang demikian mengesankan karena berhasil membangun fondasi kebudayaan Bali yang bercorak sosioreligius. Malahan ketika eksistensi Hindu di nusantara mulai meredup seiring meluasnya pengaruh Islam, masyarakat Bali tetap mempertahankan tradisi religius yang menunjukkan identitas kehinduannya.

Bali sebagai satu-satunya pulau Hindu yang dikelilingi lautan muslim merupakan realitas yang terbantahkan dalam pembentukan identitas Bali (Picard, 1997:186). Kuatnya relasi antara agama Hindu dan kebudayaan Bali, bahkan kerap melahirkan anggapan bahwa keduanya tidak mungkin dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali (Wesnawa, 2004:12). Seturut dengan itu, Mantra (1996:2) menegaskan bahwa Bali dengan kebudayaannya yang unik dan khas, tumbuh dari jiwa agama Hindu yang tidak dapat dipisahkan dari keseniannya dalam masyarakat yang bercirikan sosioreligius. Bagi masyarakat Bali, kesenian merupakan simbol jatidiri, sekaligus media ekspresivitas, acuan peradaban, kreasi persembahan, serta akumulasi nilai tambah secara ekonomi. Kebudayaan Bali mempunyai relasi yang kuat dengan agama, sosial, ekonomi, sistem ekologi, bahkan politik (Geriya dalam Ashrama (Ed.),2004:42).

Interelasi tersebut mengisyaratkan pentingnya melihat kebudayaan Bali dengan pendekatan holistik kebudayaan. Pendekatan ini bertumpu pada sirkularitas relasi antara bagian-bagian (parts) dan keseluruhan (whole) dari sebuah fenomena budaya. Thornton (1988:285—303) menggunakan pendekatan ini sebagai upaya untuk mengenali hal-hal yang unik dan spesifik dalam suatu kebudayaan, serta bagaimana kekhasan dan keunikan itu membangun kebudayaan secara utuh. Salah satunya dapat dilihat dari jalinan serat-serat budaya Bali dengan agama Hindu yang membangun wajah kebudayaan Bali dengan corak sosioreligius. Secara esensial, kebudayaan Bali merupakan simbol-simbol yang sarat dengan makna religius, sosial, dan kultural. Wiana (2003:4), bahkan meyakini bahwa kebudayaan Bali adalah kristalisasi dan integrasi konsep filsafat Hindu, yaitu satyam (kebenaran), siwam (kesucian), dan sundaram (keindahan).

Salah satu kekayaan budaya Bali dalam kaitannya dengan agama Hindu adalah keberadaan cagar budaya yang tersebar hampir di seluruh wilayah Provinsi Bali. Cagar budaya merupakan warisan peninggalan budaya tak benda (tangibel) yang mempunyai nilai penting bagi sejarah, illmu pengetahuan, agama, dan/atau kebudayaan suatu bangsa.Sebagian besar cagar budaya di Bali adalah warisan peninggalan peradaban Hindu dan Buddha, seperti pura, candi, palinggih, arca, pratima, dan benda-benda sakral lainnya. Cagar budaya tersebut umumnya masih dimanfaatkan sebagai tempat peribadatan umat Hindu, tak ubahnya monumen hidup (living monument) yang menunjukkan keberlanjutan tradisi keagamaan Hindu dari masa silam.  

Dari seluruh kabupaten/kota di Provinsi Bali, Kabupaten Gianyar adalah daerah yang paling banyak mempunyai cagar budaya. Berdasarkan Rekapitulasi Data Cagar Budaya/Yang Diduga Cagar Budaya Provinsi Bali per Desember 2019, dapat diketahui bahwa di Kabupaten Gianyar terdapat 3.872 Benda Cagar Budaya, 27 Bangunan Cagar Budaya, 302 Situs Cagar Budaya, 77 Struktur Cagar Budaya dan 1 Kawasan Cagar Budaya (Daftar Inventaris Cagar Budaya BPCB Bali Tahun 2019). Satu-satunya Kawasan Cagar Budaya di Kabupaten Gianyar dimaksud adalah Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan. Kawasan cagar budaya ini telah mendapatkan perhatian dari sejumlah ahli sejarah dan arkeologi, seperti W.F. Sutterheim dan Bennet Kempers yang telah meneliti kawasan ini sejak seputaran tahun 1920 hingga 1960-an.

Sutterheim dan Kempers (dalam Artanegara, 2016) menegaskan bahwa Kawasan Cagar Budaya DAS Pakerisan memiliki banyak peninggalan purbakala antara lain: situs Pura Pagulingan, Pura Tirta Empul, Pura Mangening, Candi Tebing Gunung Kawi, Candi Tebing Kerobokan, Pura Pengukur-ukuran, dan Candi Tebing Tegallinggah. Bukan hanya itu, pada sidang UNESCO di Pittsburg, Russia, tanggal 29 Juni 2012, Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan di Kabupaten Gianyar ditetapkan sebagai salah satu lanskap subak Warisan Budaya Dunia (WDB) bersama (1) Lanskap Subak Catur Angga Batukaru di Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan dan di Kecamatan Sukasada,  Kabupaten Buleleng; (2) Pura Taman Ayun, di Kabupaten Badung; dan (3) Pura Ulun Danu Batur dan Danau Batur, di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli (Artanegara, 2016).

Dari berbagai tinggalan purbakala di kawasan DAS Pakerisan, terdapat 4 (empat) pura yang telah ditetapkan dan dilindungi sebagai Warisan Budaya Dunia (WDB) di kawasan DAS Pakerisan, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar, yaitu (1) Pura Tirta Empul, (2) Pura Mangening; (3) Pura Pegulingan; dan (4) Pura Gunung Kawi (Mahastuti, 2018:9). Selain sebagai warisan budaya dunia, keempat pura ini juga difungsikan dan dimanfaatkan sebagai tempat peribadatan umat Hindu dan menyandang status kahyangan jagat. Pemanfaatan ini meniscayakan terlaksananya aktivitas ritual keagamaan atau acara secara berkesinambungan. Apalagi dengan statusnya sebagai kahyangan jagat, keempat pura tersebut juga terbuka dikunjungi umat Hindu dari manapun untuk melaksanakan persembahyangan atau ritual-ritual keagamaan lainnya.

Fenomena tersebut menegaskan bahwa pelaksanaan acara agama Hindu merupakan fungsi utama atau fungsi manifes dari keempat pura yang terrdapat di kawasan DAS Pakerisan. Dalam kepercayaan umat Hindu, acara adalah bagian integral dari tiga kerangka dasar agama Hindu, yaitu tattwa (filsafat), susila (etika), dan acara (ritual)(Sudharta dan Punyatmadja, 2001:3). Pada sisi yang lain, juga dalam kitab Manawadharmasastra VII.10 disebutkan bahwa acara agama Hindu merupakan cara meraih kesejahteraan (dharma siddhyartha) apabila dilaksanakan berdasarkan tujuan yang benar (iksa), tradisi masyarakat setempat (desa), waktu yang tepat (kala), ajaran suci Weda (tattwa), dan kemampuan (sakti) (Pudja dan Sudharta, 2005:235). 

Walaupun demikian, pelaksanaan acara agama Hindu sebagai fungsi manifes dari keempat pura warisan budaya dunia di Kawasan DAS Pakerisan juga berinterelasi dengan aspek lainnya, yakni pelestarian cagar budaya. Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, Pasal 1, Ayat 22, dijelaskan sebagai berikut:

“Pelestarian Cagar Budaya adalah upaya dinamis untuk mempertahankan Cagar Budaya  dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya.”

Artinya, undang-undang ini memberikan kesempatan kepada pemerintah, masyarakat, dan pihak-pihak terkait lainnya untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan cagar budaya, termasuk kawasan DAS Pakerisan. Dalam hal ini terbuka peluang bahwa pura-pura yang berada di Kawasan Cagar Budaya DAS Pakerisan tidak hanya dimanfaatkan sebagai tempat suci umat Hindu, tetapi juga untuk kepentingan lain termasuk sebagai obyek pariwisata budaya.

Berdasarkan uraian di atas, pernyataan yang menyebutkan sebagaian besar keberadaan cagar budaya di Bali sebagai living monument akan terjawab dengan terlebih dahulu mengetahui dan memahami bentuk-bentuk interelasi acara agama Hindu dan pelestarian cagar budaya di Kawasan DAS Pekerisan, Tampaksiring, Gianyar (Pura Tirta Empul, Pura Mangening, Pura Pegulingan, dan Pura Gunung Kawi) seperti yang terurai dalam pembahasan.

II. PEMBAHASAN

Acara agama Hindu mencakup prosesi (upacara) dan peralatan upacara (upakara) yang dalam penelitian ini dilaksanakan pada situs-situs cagar budaya di kawasan DAS Pakerisan, Tampaksiring. Dalam situs tersebut, struktur dan benda cagar budayamenjadi bagian dari sistem ritus dan upacara sehingga berinterelasi dengan pelestarian Cagar Budaya itu sendiri. Konsep pelestarian cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010, Pasal 1, Ayat 22, adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Jadi, ruang lingkup pelestarian cagar budaya meliputi pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatannya. Dalam ketiga lingkup inilah, bentuk interelasi Acara agama Hindu dan pelestarian cagar budaya di kawasan DAS Pakerisan, Tampaksiring, Gianyar dapat dianalisis dan diuraikan secara rinci sebagai berikut.

1. Pelindungan Cagar Budaya

Menurut UU No. 11 Tahun 2010, Pasal 1, Ayat 23, Pelindungan Cagar Budaya adalah upaya mencegah dan menanggulangi dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan dengan cara penyelamatan, pengamanan, zonasi, pemeliharaan, dan pemugaran Cagar Budaya. Artinya, tujuan utama pelindungan cagar budaya adalah menjaga cagar budaya agar tidak rusak, hancur, atau musnah. Sementara itu, cara yang dapat dilakukan adalah penyelamatan, pengamanan, pembentukan zonasi, pemeliharaan, dan pemugaran. Tujuan maupun cara tersebut sesungguhnya menjadi bagian dari sistem ritus dan upacara pada situs cagar budaya di kawasan DAS Pakerisan, Tampaksiring.

Apabila dicermati secara mendalam, seluruh situs cagar budaya yang ada di Kawasan DAS Pakerisan merupakan tempat suci umat Hindu (dan khusus di Pura Pegulingan, juga dimanfaatkan oleh sebagian umat Buddha). Artinya, situs-situs cagar budaya tersebut menjadi bagian integral dari sistem religi Hindu yang di dalamnya mencakup sistem serta peralatan ritus dan upacara. Hal ini menjadi ruang bagi interelasi acara agama Hindu dan pelestarian cagar budaya pada Situs cagar budaya tersebut, terutama dalam konteks pelindungan cagar budaya pada aspek penyelamatan, pengamanan, zonasi, pemeliharaan, dan pemugaran. Aspek-aspek ini menjadi satu kesatuan dalam sistem religi Hindu pada situs-situs cagar budaya sehingga bersifat interelasional, sebagai berikut.

1.1 Penyelamatan dan Pengamanan

Pura Tirta Empul memiliki sejarah yang sangat panjang. Sebelum tahun 1980-an, pura ini hanya berfungsi sebagai tempat suci bagi masyarakat sekitarnya, termasuk untuk malukat (menyucikan diri dengan sarana air/tirtha). Keberadaan pura ini sebagai tempat suci diketahui berdasarkan Prasasti Manukaya berangka tahun 960 M yang dikeluarkan Raja Sri Candrabhayasingha Warmadewa, dan kini tersimpan di Pura Sakenan Manukaya, Tampaksiring (Goris, 1954:75—76). Selain itu, juga mitologi Pura Tirta Empul ditemukan dalam Kakawin Usana Bali yang mengisahkan pertempuran Mayadanawa dengan Dewa Indra yang pada akhirnya dimenangkan oleh Dewa Indra beserta pasukannya. Nilai sejarah dan mitologi tersebut mendasari pembangunan Pura Tirtha Empul yang di dalamnya mencakup beberapa tinggalan arkeologi, seperti Tepasana, arca Lingga-Yoni, arca Nandi, arca Singa, serta kolam suci Tirtha Empul yang dikaitkan dengan mitologi penciptaan ‘Tirtha Empul’. Dengan demikian, pemfungsian Pura Tirtha Empul sebagai tempat suci sekaligus tempat melaksanakan acara agama Hindu, berinterelasi dengan penyelamatan dan pengamanan struktur cagar budaya berupa Tepasana dan kolam suci Tirtha Empul, serta benda-benda cagar budaya berupa arca Lingga Yoni, arca Nandi, dan arca Singa.

Pura Mangening dimulai dengan penemuan gundukan tanah menyerupai bukit di areal sekarang. Melalui penggalian, kemudian ditemukan sebuah Prasada yang di dalamnya terdapat arca Lingga-Yoni. Di sekitarnya, juga terdapat beberapa arca, seperti arca Nandi dan arca laki-laki dengan phallus tegak berdiri. Penemuan ini menunjukkan tinggalan purbakala yang diperkirakan berasal dari abad ke-11 (Kempers, 1960; Srijaya, 1996:59). Setelah Pura Mangening dibangun dan menjadi tempat peribadatan sebagaimana bentuknya sekarang, maka seluruh cagar budaya berupa Prasada Agung dan beberapa arca kuno tersebut tetap diselamatkan dan diamankan dalam keseluruhan struktur bangunan pura. Dalam keseluruhan sistem ritus dan upacara atau acara agama Hindu, seluruh cagar budaya tersebut juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan di dalamnya.

Pura Pegulingan juga merupakan tempat penemuan kepurbakalaan yang cukup penting terutama dalam konteks perkembangan agama Siwa-Buddha di Bali pada seputaran abad ke-9 hingga ke-10 masehi. Temuan arkeologi terutama adalah fondasi segi delapan, beberapa arca Boddhisatwa, sejumlah fragmen, pancadatu dan yoni yang menunjukkan perpaduan Siwa-Buddha pada masa itu (Soekmono, 1983; Sutaba, dkk., 1983). Dalam pembangunan Pura Pegulingan sampai mencapai bentuknya seperti sekarang, tinggalan-tinggalan arkeologi tersebut terselamatkan karena diposisikan sebagai bagian penting dalam struktur Mandala Utama Pura yang difungsikan dalam upacara keagamaan, seperti gambar berikut.

Gambar 1: Beberapa fragmen peninggalan arkeologi di Pura Pegulingan (dokumen pribadi)

Tidak jauh berbeda dengan ketiga pura di atas, Pura Gunung Kawi yang memiliki tinggalan kepurbakalaan berupa Candi Tebing dari abad ke-11 masehi, juga difungsikan sebagai tempat suci Hindu yang di dalamnya juga dilaksanakan berbagai upacara keagamaan (acara). Mengingat tinggalan cagar budaya di Pura Gunung Kawi berbentuk pahatan candi di tebing, sehingga tidak dapat dipindahkan ke tempat lain. Oleh karena itu, penyelamatan dan pengamanan cagar budaya ini cenderung bersifat menjaganya dari kerusakan, baik akibat faktor alam maupun perbuatan manusia. Dalam hal ini, acara agama Hindu berfungsi penting dalam menyelamatkan dan mengamankan Pura Gunung Kawi dari kerusakan akibat ulah manusia karena sebagai tempat sakral, orang tidak akan berani merusaknya.

Berkenaan dengan hal tersebut di atas, Pengemong (Penyungsung) Purayang diwawancarai menyatakan sebagai berikut.:

“Cagar budaya yang ada di sini, bukan sekedar peninggalan kuno, tetapi merupakan bagian dari agama Hindu. Makanya, harus diselematkan dan dilindungi keberadaannya agar tidak punah. Caranya ya dengan kembali memfungsikannya untuk kegiatan keagamaan Hindu. Kalau sudah begitu, pasti tidak akan ada lagi yang berani merusaknya, karena orang pasti akan takut kena tulah (‘kutuk’)”.  

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dimengerti bahwa penyelamatan dan pengamanan cagar budaya dengan memfungsikannya kembali untuk aktivitas keagamaan dipandang sebagai cara terbaik. Dengan cara itu, peluang rusaknya atau hilangnya cagar budaya tersebut sangat kecil, bahkan tidak mungkin, karena ada nilai kesakralan yang akan dijaga. Inilah bentuk interelasi acara agama Hindu dan pelestarian cagar budaya di kawasan DAS Pakerisan, yaitu pemfungsian cagar budaya sebagai tempat pelaksanaan acara agama Hindu dalam kesatuan struktur tempat suci (pura). Dengan memosisikan cagar budaya pada struktur pura yang berdimensi sakral, niscaya cagar budaya dapat diselamatkan dan diamankan dari kerusakan, kemusnahan, serta kehancuran terutama akibat ulah manusia. Sebab, dimensi kesakralan dari cagar budaya tersebut menjadi bagian integral dari sistem ritus dan upacara (acara agama Hindu) yang amat bernilai bagi manusia religius. 

1.2 Pembentukan Zonasi

Penyelamatan dan pengamanan cagar budaya dalam sistem religi Hindu, terutama dalam pembangunan tempat suci (pura), tidak lepas dari pembentukan zonasi ruang atau mandala. Dalam konsep mandala, pembagian tempat suci Hindu (pura) pada umumnya dikaitkan dengan kosmologi Hindu dansalah satunya dengan konsep Tri Mandala. Sebagaimana telah diketahui bahwa  keempat pura yang berada di Kawasan DAS Pakerisan menggunakan struktur Tri Mandala atau tiga zonasi, yaitu Jaba Sisi (Nista Mandala), Jaba Tengah (Madya Mandala), dan Jeroan (Uttama Mandala). Konsep Tri Mandala ini bertalian erat dengan konsep Tri Loka dalam kosmologi Hindu, yakni Bhur Loka (alam bhuta), Bwah Loka (alam manusia), dan Swah Loka (alam dewa). Struktur Tri Loka ini membentuk klasifikasi tiga secara vertikal, yaitu alam bawah, alam tengah, dan alam atas. Ketiga alam ini diwujudkan dalam berbagai simbol yang menjadi dasar filosofis kehidupan religius masyarakat Bali (Sudharta dan Punyatmadja, 2001:23).

Perwujudan simbolik alam semesta dengan Tri Loka dalam penataannya melahirkan peristilahan nista, madya, uttama. Klasifikasi tiga ini diinterpretasikan secara lebih spesifik ke dalam sistem penataan tata ruang parhyangan (tempat suci) yang disebut Tri Mandala sebagai simbol Bhur Loka, Bwah Loka, dan Swah Loka. Pengejawantahan konsep Tri Mandala dalam penataan ruang parhyangan selalu mengacu pada konsep nista-madya-uttama, yang memiliki nilai rendah-menengah-atas. Penataan tata ruang tersebut merupakan bentuk penyesuaian dari komposisi struktur hirarkis Tri Loka. Dengan demikian, konsepsi tata ruang parhyangan di Bali merupakan duplikat atau bentuk tiruan dari alam semesta sehingga memiliki nilai yang berjenjang berdasarkan tingkat kesuciannya.

Berdasarkan konsepsi Tri Mandala tersebut, selanjutnya dapat dipahami interelasi acara agama Hindu dengan pelestarian cagar budaya di kawasan DAS Pakerisan, Tampaksiring. Pemahaman ini dilakukan dengan melihat sistem zonasi pada setiap pura dalam memposisikan cagar budaya, serta fungsinya dalam acara agama Hindu. Sistem zonasi menjadi bagian integral dalam struktur mandala yang menjadi konsep dasar dalam tata ruang pura.   

Struktur cagar budaya di Pura Tirtha Empul adalah kolam suci “Tirtha Ceeng” dan Tepasana. Kolam suci “Tirtha Ceeng” berada di areal Jaba Tengah atau Madya Mandala, sedangkan Tepasana berada di areal Jeroan atau Uttama Mandala. Sementara itu, benda cagar budaya yang berupa arca Lingga-Yoni, arca Nandi, dan arca Singa, ditempatkan di areal Madya Mandala dalam satu tempat yang dipagari dengan jeruji besi. Dalam pelaksanaan acara agama Hindu, seluruh cagar budaya tersebut menjadi tempat umat Hindu untuk melakukan pemujaan dan persembahan, baik dalam yadnya sehari-hari, berkala, maupun insidental. Hanya saja, Tepasana memiliki perlakuan yang lebih khusus dalam prosesi (upacara) dan alat-alat upacara (upakara), daripada cagar budaya yang lain. Misalnya, umat yang bersembahyang akan menyajikan aturan (sesajen) di depan Tepasana, sedangkan di tempat yang lain hanya menghaturkan canang sari atau sarana persembahan lain yang tidak sebesar di Tepasana.

Struktur cagar budaya di Pura Mangening berupa Prasada Agung yang berada di areal Uttama Mandala, begitu pula dengan arca Nandi dan arca laki-laki ber-phallus tegak berdiri juga ditempatkan dalam Uttama Mandala. Artinya, cagar budaya di Pura Mangening seluruhnya ditempatkan dalam areal paling suci dalam pura sehingga menjadi pusat orientasi religius yang utama. Walaupun demikian, terdapat sedikit perlakuan yang berbeda dalam konteks upacara. Seluruh prosesi dan persembahan (banten) akan dipusatkan pada Prasada Agung, sedangkan untuk cagar budaya yang lain dihaturkan banten yang lebih kecil. Bahkan pamedek yang bersembahyang akan menyajikan aturan-nya di depan Prasada Agung, sedangkan di kedua arca tersebut cukup menghaturkan canang sari.

Struktur cagar budaya di Pura Pegulingan adalah Stupa Pegulingan atau Padmasana Asta Dala yang ditempatkan di areal Uttama Mandala. Sementara itu, beberapa tinggalan arkeologi berupa benda cagar budaya berupa arca Buddha ada sebagian di Madya Mandala, tetapi sebagian besar di Uttama Mandala. Begitupun dengan arca Yoni, dan pedagingan berupa panca datu (lima jenis logam), dan arca Buddha berbahan emas, ditempatkan bersama-sama dalam Stupa Pegulingan. Artinya, seluruh cagar budaya tersebut berada dalam areal suci dari pura yang nantinya juga berkaitan dengan sistem upacara dan peralatan upacara (acara) di pura tersebut. Adanya perlakuan yang berbeda dalam pelaksanaan acara agama Hindu, antara cagar budaya yang menjadi palinggih utama dan cagar budaya lainnya, menjadi keniscayaan dalam sistem ritual Hindu.

Struktur Pura Gunung Kawi berupa Candi Tebing adalah struktur cagar budaya yang utama. Akan tetapi, juga terdapat struktur cagar budaya lain berupa pintu masuk, Geria Pedanda, dan lainnya yang dibentuk dari pahatan tebing yang seluruhnya membentuk satu kesatuan zonasi Tri Mandala. Dalam seluruh zonasi inilah Pura Gunung Kawi membentuk kesatuan sistem religi Hindu yang bertalian erat dengan sistem ritus dan upacara di tempat tersebut. Walaupun secara khusus, seluruh prosesi upacara, baik rutin, berkala, maupun insidental terutama berpusat pada Candi Tebing yang berada di bagian Uttama Mandala, baik kelompok candi tebing lima, empat, dan satu.

Berkenaan dengan hal tersebut, Pengemong (Penyungsung) Pura yang diwawancarai menyatakan sebagai berikut.

“Sebagai orang Bali yang beragama Hindu, sudah pasti mengerti mana yang patut ditempatkan di Uttama Mandala, di Madya Mandala, dan  di Nista Mandala. Begitu juga dengan tinggalan cagar budaya yang ada di sini, sudah sejak awal itu semua dipertimbangkan.”

Informan tersebut menegaskan bahwa penempatan cagar budaya dalam zonasi Tri Mandala telah menjadi sistem nilai masyarakat Hindu Bali sehinggamenjadi pertimbangan sejak awal. Pembentukan sistem zonasi dalam perlindungan cagar budaya di Kawasan DAS Pakerisan, Tampaksiring berkaitan erat dengan cara membangun dimensi kesakralan cagar budaya tersebut sehingga menjadi pusat orientasi pemujaan dan persembahan (acara). Pembentukan zonasi ini tidak hanya menjadi upaya perlindungan cagar budaya, tetapi juga berinterelasi dengan sistem ritus dan upacara di pura tersebut, khususnya dalam proses (upacara) dan peralatan upacara (upakara).

1.3 Pemugaran dan Pemeliharaan

Perlindungan cagar budaya yang bertujuan melindungi dari kerusakan, kehancuran, dan kelenyapan tentu tidak dapat dilepaskan dari usaha pemeliharaan dan pemugaran. Apalagi cagar budaya di kawasan DAS Pakerisan merupakan tinggalan dari masa Kerajaan Bali Kuno sekitar abad ke-9 hingga abad ke-12. Hal ini memungkinkan terjadinya kerusakan, baik karena alam maupun ulah manusia. Berkaitan dengan hal tersebut, fakta menunjukkan bahwa situs cagar budaya yang berada di kawasan DAS Pakerisan, Tampaksiring, saat ini merupakan hasil dari pemugaran yang telah dilakukan pada waktu tertentu. Pemugaran atau restorasi Pura Tirtha Empul dilakukan sekitar tahun 1967, Pura Mangening tahun 1982, Pura Pegulingan tahun 1983, dan Pura Gunung Kawi belum pernah dipugar, tetapi sedang dilakukan kajian teknis pemugaran terutama melindunginya dari rembesan air yang dapat mengikis bangunan candi (Artanegara, 2016).

Selain pemugaran, juga dilakukan pemeliharan cagar budaya dengan melibatkan masyarakat di sekitarnya (pangempon)dan lembaga pemerintah, yaitu Pemerintah Kabupaten Gianyar dan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Bali, sebagai berikut.

  1. Masyarakat yang bertanggungjawab dalam pemeliharaan Pura Tirtha Empul adalah krama Desa Pakraman Manukaya Let terutama krama Banjar Tagtag, Manukaya Let, dan Bantas. Sementara itu, BPCB Bali menempatkan 2 (dua) juru pelihara situs;
  2. Pemeliharaan Pura Mangening terutama oleh krama Banjar Saraseda, Desa Pakraman Saraseda, dan pihak BPCB Bali menempatkan 1 (satu) juru pelihara situs;
  3. Pemeliharaan Pura Pegulingan terutama oleh krama adat Basangambu khususnya krama Banjar Basangambu dan Belahan, sedangkan dari pihak BPCB Bali menempatkan 3 (tiga) juru pelihara situs;
  4. Pemeliharaan Pura Gunung Kawi oleh krama Banjar Penaka, Desa Pakraman Tampaksiring, dan dari pihak BPCB Bali menempatkan 4 (empat) juru pelihara situs.

Berkenaan dengan hal tersebut, Pengemong (Penyungsung) Pura mengungkapkan pendapatnya, sebagai berikut.

“Peninggalan leluhur ini adalah milik kita bersama, milik orang Bali, bahkan menjadi milik dunia. Jadi, ya sudah pasti kita yang harus mampu memeliharanya. Krama adat Saraseda yang memiliki tatamian (warisan) ini, sudah tentu punya kewajiban untuk memeliharanya. Namun karena ini juga menjadi kekayaan budaya bangsa, maka pihak pemerintah ikut terlibat dan itu tidak masalah, malah lebih baik. Kita bisa bersama-sama merawatnya, yang penting koordinasi dengan baik. Tidak ada masalah.”

Ungkapan ini menegaskan bahwa kerjasama antara institusi pemerintah dan masyarakat dalam pemeliharaan cagar budaya di kawasan DAS Pakerisan, Tampaksiring merupakan upaya bersama untuk melindungi warisan leluhur yang adiluhung. Selain merawat fisik, seperti membersihkan lokasi, menjaga cagar budaya yang ada dari kerusakan, baik karena faktor alam dan ulah manusia, juga pemeliharaan ini bertujuan agar semua situs tersebut dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Fungsi-fungsi tersebut dapat disimak penjelasan berikutnya dalam hal pengembangan cagar budaya, sebagai bagian tidak terpisahkan dari pelestarian cagar budaya. 

2. Pengembangan Cagar Budaya

Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2010, Pasal 1, Ayat 29 disebutkan bahwa Pengembangan Cagar Budaya adalah peningkatan potensi nilai, informasi, dan promosi Cagar Budaya serta pemanfaatannya melalui Penelitian, Revitalisasi, dan Adaptasi secara berkelanjutan serta tidak bertentangan dengan tujuan Pelestarian. Dari pengertian ini, dapat dipahami bahwa tujuan pengembangan cagar budaya adalah meningkatkan potensi nilai, informasi, dan promosi, dan pemanfaatannya, sedangkan caranya adalah melalui penelitian, revitalisasi, dan adaptasi. Artinya, setiap situs tersebut dapat dikembangkan potensinya dengan tetap memperhatikan berbagai aspeknya sehingga tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Pelestarian cagar budaya itu sendiri. Dalam konteks pengembangan tersebut, bentuk interelasi acara agama Hindu dan pelestarian cagar budaya di kawasan DAS Pakerisan, Tampaksiring dapat dilihat pada aspek penelitian, revitalisasi, dan adaptasi sebagai pola pengembangan cagar budaya berdasarkan undang-undang di atas.

2.1 Penelitian

Penelitian yang dimaksud dalam kontek situs cagar budaya di kawasan DAS Pakerisan, Tampaksiring, mencakup 2 (dua) hal, yaitu kedudukannya sebagai objek material untuk penelitian, dan penelitian sebagai dasar untuk pengembangan cagar budaya. Dalam kedudukannya sebagai objek material, setiap cagar budaya tersebut terbuka untuk diteliti dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebaliknya, setiap usaha pengembangan cagar budaya harus didasari hasil penelitian atau kajian ilmiah sehingga tidak melenceng dari fungsi utamanya sebagai warisan budaya bangsa yang harus dilestarikan.

Terkait dengan aspek yang pertama, dapat disampaikan sebagai berikut.

“Kalau dilihat dari hasil-hasil penelitian yang ada, memang sudah sangat banyak penelitian tentang cagar budaya di kawasan DAS Pakerisan, baik peneliti asing maupun peneliti dalam negeri. Ini menunjukkan kalau cagar budaya tersebut memang memiliki nilai penting bagi pengetahuan. Bukannya hanya sejarah dan arkeologi, tetapi cagar budaya dapat diteliti aspek teknologi, arsitektur, kaitannya dengan pertanian atau subak, dan masih banyak lagi. Apalagi terkait masalah keagamaan, cagar budaya di Bali itu sebagian besar memang bernilai keagamaan yang dikaitan dengan sistem sosial, politik, dan pemerintahan pada masanya. Jadi, multiaspek yang dapat dikaji dari cagar budaya, apalagi di DAS Pakerisan.”

Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa cagar budaya di kawasan DAS Pakerisan memiliki nilai penting dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bersifat multidimensi. Oleh karenanya, terbuka untuk dijadikan objek penelitian dari berbagai disiplin ilmu. Faktanya, hasil-hasil penelitian tentang cagar budaya di kawasan DAS Pakerisan memang berkembang pesat, bahkan sejak tahun 1920-an dengan kehadiran sejumlah peneliti asing, seperti Sutterheim, Damais, Kempers, dan Goris, yang menyampaikan laporan penelitiannya tentang tinggalan kepurbakalaan di kawasan ini. Dalam satu dasa warsa terakhir, Cagar budaya di kawasan DAS Pakerisan ini juga masih banyak diteliti oleh berbagai ilmuwan dari beragam perspektif. Seluruh hasil penelitian tersebut mempunyai peran penting dalam penyebarluasan nilai, informasi, dan promosi Kawasan DAS Pakerisan sebagai warisan budaya bangsa.

Pada aspek yang kedua, bahwa pengembangan cagar budaya di kawasan DAS Pakerisan, Tampaksiring juga harus didasari hasil-hasil penelitian. Sejak awal peranan penelitian ini memang cukup penting dalam pengembangan seluruh cagar budaya di kawasan DAS Pakerisan. Bermula dari laporan Sutterheim (1923-1930) bahwa di kawasan DAS Pakerisan terdapat banyak sekali peninggalan purbakala, lalu sejumlah peneliti asing tertarik untuk menelitinya lebih lanjut, seperti Damais, Kempers, dan Goris sehingga melahirkan berbagai informasi ilmiah penting.

Sejumlah penemuan masyarakat terhadap situs-situs baru menunjukkan relevansi dengan laporan Sutterheim (1923—1930) tersebut. Gundukan bukit di Mangening dan temuan arkeologi di Pegulingan pada awal tahun 1980, kemudian memperkaya kepurbakalaan di Kawasan DAS Pakerisan. Kemudian, pemugaran dilakukan dengan melibatkan para peneliti dari Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (BPCB Bali), melalui kajian-kajian ilmiah. Dengan demikian, pemugaran tidak semena-mena dilakukan, tetapi melalui kajian yang mendalam sehingga mendekati kondisi aslinya. Melalui penelitian juga, pengembangan cagar budaya dilakukan dengan mempertimbangkan aspek kemanfaatan dan fungsinya bagi masyarakat terutama agar menjadi sebuah monumen hidup (living monument) yang akhirnya dapat berimbas pada pelestariannya.

Berkenaan dengan hal tersebut, dapat disampaikan juga pernyataan sebagai berikut.

“Ini sudah menjadi perintah undang-undang, bahwa pengembangan cagar budaya tidak boleh dilakukan sembarangan. Harus didasari kajian yang ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan. Kajiannya pun harus dengan berbagai perspektif karena kita menginginkan agar cagar budaya di Bali ini tetap menjadi living monument (monumen hidup). Pandangan para akademisi, Teknisi BPCB, pemerintah, dan masyarakat semuanya harus disinkronkan. Mengingat di Bali ini identik dengan pariwisatanya, maka pihak pariwisata juga dilibatkan. Jadi, pengembangan cagar budaya yang dilakukan tidak hanya mendukung pelestariannya, tetapi juga bermanfaat bagi masyarakat”. Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa tujuan pelaksanaan penelitian dalam rangka pengembangan cagar budaya terutama diarahkan untuk memberikan landasan ilmiah agar tetap berfungsi sebagai monumen hidup (living monument). Pada aspek inilah, pengembangan cagar budaya berinterelasi dengan acara agama Hindu karena cagar budaya tersebut merupakan situs-situs yang berkaitan dengan sistem religi Hindu. Dengan kata lain, ketika situs tersebut dikembangkan sebagai sebuah monumen hidup, itu berarti memfungsikannya kembali sebagai tempat suci, dan itu juga bermakna bahwa Situs cagar budaya tersebut akan fungsional sebagai tempat pelaksanaan acara agama Hindu. Fakta di lapangan membuktikan bahwa pengembangan situs cagar budaya di kawasan DAS Pakerisan, Tampaksiring, memang berhasil menjadikannya sebagai tempat suci umat Hindu dan sekaligus menjadi pusat aktivitas acara agama Hindu. 

2.2 Revitalisasi

Revitalisasi bermakna memvitalkan kembali objek-objek yang semula tidak atau kurang vital. Dalam konteks kebudayaan, setiap objek budaya dipandang eksis karena memiliki kegunaan (use), bentuk (form), makna (meaning), dan fungsi (function) (Kaplan dan Maners, 2007:78). Konsep ini juga dapat digunakan untuk mencermati interelasi acara agama Hindu dan pengembangan cagar budaya dalam bentuk revitalisasi. Artinya, revitalisasi mencakup aspek revitalisasi kegunaannya, revitalisasi bentuknya, revitalisasi makna atau nilainya, dan revitalisasi fungsinya. Keempat aspek ini tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain sebagai sebuah sistem yang holistik dan integral.

Apabila dicermati lebih jauh, revitalisasi keempat aspek tersebut bertalian erat dengan acara agama Hindu, yakni pengembangan situs cagar budaya sebagai tempat suci agama Hindu. Setelah cagar budaya tersebut mendapat perlindungan dengan cara penyelamatan/pengamanan, pembentukan zonasi, dan pemugaran serta pemeliharaan, maka cagar budaya tersebut dikembangkan berdasarkan penelitian atau kajian ilmiah. Tujuan pengembangan tersebut adalah menjadikannya sebagai monumen hidup (living monument), dan ini berarti mengembalikan fungsinya sebagai tempat suci Hindu. Untuk mengembalikan fungsi cagar budaya tersebut, tentu diperlukan revitalisasi kegunaan, bentuk, makna, dan fungsinya dalam sistem tempat suci Hindu yang sesuai dengan struktur pura (parhyangan).

Salah satu bentuk revitalisasi yang dapat dilihat pada situs cagar budaya di kawasan DAS Pakerisan adalah penambahan struktur bangunan dan palinggih sehingga semakin memperkuat eksistensinya sebagai tempat suci Hindu. Logika sederhana yang dapat dibangun bahwa, “apabila di dalam area situs cagar budaya tersebut hanya terdapat struktur dan benda cagar budaya saja, maka sistem religi Hindu tidak akan terbangun dengan baik.” Pada kenyataannya, semua situs cagar budaya tersebut sekarang ini menjadi pura yang memiliki kelengkapan bangunan dan palinggih sebagaimana pura-pura pada umumnya.

Revitalisasi aspek kegunaan (use) misalnya, hal tersebut dapat dilihat dari pengembangan patirthan di Pura Tirtha Empul dan Pura Mangening. Tirtha Ceeng yang berada di Pura Tirtha Empul, secara mitologis diyakini sebagai sumber mata air yang dibuat sendiri oleh Bhatara Indra dengan menancapkan tongkatnya. Tirtha ini digunakan untuk berbagai keperluan keagamaan oleh masyarakat sekitarnya, termasuk untuk malukat (‘menyucikan diri’). Seiring dengan pengembangan Pura Tirtha Empul sebagai tempat suci Hindu, yang mana penggunaan Tirtha Ceeng menjadi salah satu bagiannya, maka pengembangan pun dilakukan dengan menjadikannya sebagai tempat malukat dan memohon tirtha untuk berbagai keperluan upacara. Revitalisasi kegunaan patirthan semacamini juga terjadi di Pura Mangening. Pada aspek ini, revitalisasi kegunaan juga berkaitan dengan revitalisasi bentuk (form), seperti pembangunan kolam-kolam patirthan sehingga memudahkan masyarakat dalam menggunakan tirtha tersebut, seperti gambar-gambar berikut ini.

Gambar 2: Revitalisasi patirthan

Revitalisasi bentuk (form) tampak pada keseluruhan struktur pura, yakni penambahan berbagai bangunan dan palinggih. Penambahan tersebut tentu berada di luar realitas asal cagar budaya tersebut karena rentang waktu yang telah begitu lampau. Oleh karena itu, hal ini dapat dipandang sebagai upaya secara menyeluruh untuk merevitalisasi fungsi Situs Cagar Budaya tersebut. Dalam hal ini, bentuk dan fungsi tempat suci memiliki keterkaitan yang demikian erat dalam konteks sistem religi Hindu, terutama dalam acara agama yang membutuhkan ruang, peralatan, dan prosesinya. Salah satunya tampak dari revitalisasi struktur bangunan di Pura Tirtha Empul dengan menempatkan arca-arca (benda cagar budaya) dalam satu bataran palinggih sehingga memudahkan umat Hindu untuk melakukan upacara dan persembahyangan di tempat tersebut, seperti gambar berikut.

Gambar 3: Revitalisasi arca-arca purbakala di Pura Tirtha Empul dalam satu bataran palinggih dan kegunaannya bagi umat Hindu untuk bersembahyang (dokumen pribadi)

Gambar tersebut menegaskan bahwa penempatan arca-arca (cagar budaya) pada satu bataran palinggih merupakan revitalisasi bentuk dan kegunaan di dalam interelasinya dengan pelaksanaan acara agama Hindu. Dengan ditempatkan dalam satu palinggih, arca-arca tersebut tidak hanya berguna sebagai benda purbakala, tetapi juga berkembang fungsinya sebagai tempat pemujaan dan persembahan bagi umat Hindu yang meyakininya. Setidak-tidaknya, fungsi arca-arca tersebut dalam acara agama Hindu tidak akan berkembang maksimal, dibandingkan ketika telah ditempatkan dalam satu lokasi dan berubah bentuk dari arca-arca terpisah menjadi sebuah palinggih.

Baik secara langsung maupun tidak, revitalisasi cagar budaya menjadi palinggih yang berhubungan erat dengan acara agama Hindu, juga menunjukkan bentuk revitalisasi makna (meannig). Makna sebuah cagar budaya secara umum lebih cenderung berhubungan dengan kesejarahan, pendidikan, dan objek wisata misalnya, candi-candi Hindu di Jawa yang tidak lagi berfungsi sebagai tempat suci. Akan tetapi, revitalisasi cagar budaya di kawasan DAS Pakerisan, Tampaksiring sebagai tempat suci, tentu memiliki makna religius karena cagar budaya tersebut memiliki nilai religius yang diyakini umat Hindu. Dengan kata lain, revitalisasi kegunaan dan bentuk dalam konteks pengembangan cagar budaya menyediakan ruang bagi perluasan makna cagar budaya tersebut bagi masyarakat.

Revitalisasi cagar budaya sebagai upaya pengembangan nilai, informasi, dan promosi tentu bertalian erat dengan fungsi cagar budaya tersebut. Berkenaan dengan itu, revitalisasi cagar budaya di kawasan DAS Pakerisan, Tampaksiring, terbukti mampu mengembangkan fungsinya dari sekedar peninggalan sejarah dan purbakala menjadi fungsi keagamaan, pendidikan, rekreasi, dan sebagainya. Dalam hal ini, acara agama Hindu yang berkaitan erat dengan fungsi tempat suci (pura)  telah memberikan andil besar dalam revitalisasi cagar budaya di kawasan DAS Pakerisan, Tampaksiring sehingga keduanya berinterelasi secara fungsional.

2.3 Adaptasi

Adaptasi adalah konsep yang diderivasi dari pendekatan ekologi budaya dalam studi-studi antropologi. Steward (dalam Poerwanto, 2010:68) menyatakan bahwa ekologi budaya adalah ilmu yang mempelajari bagaimana manusia sebagai makhluk hidup menyesuaikan dirinya dengan lingkungan tertentu. Konsep kunci ekologi budaya adalah adaptasi, sistem, dan lingkungan. Sementara itu, Kaplan dan Manners (2002:112) memandang adaptasi adalah proses yang menghubungkan sistem budaya dan lingkungannya. Daeng (2008:44) juga mendefinisikan adaptasi sebagai penyesuaian antara organisme dengan lingkungannya sebagai keseluruhan yang di dalamnya lingkungan itu menjadi bagiannya.

Hardestry (1977:45—46) menyatakan bahwa adaptasi merupakan proses dinamis karena manusia dan lingkungan tidak ada yang bersifat konstan atau tetap. Daya tahan hidup populasi tidak pasif terhadap lingkungan, tetapi memberi ruang bagi individu untuk bekerja secara aktif memodifikasi perilaku mereka dalam rangka memelihara kondisi tertentu, menanggulangi resiko pada kondisi baru, dan mengimprovisasi kondisi yang ada. Berkaitan dengan hal tersebut, Kaplan dan Manners (2002:116) juga menyatakan bahwa manusia melakukan adaptasi melalui mekanisme budaya, yaitu cara-cara khas yang dilakukan untuk menghadapi suatu keharusan pada tempat dan waktu yang berlainan.

Hal ini menegaskan bahwa adaptasi merupakan mekanisme budaya yang bersifat dinamis karena tidak hanya dideterminasi pengaruh lingkungan. Artinya, adaptasi budaya melibatkan tindakan individu dan lingkungan secara simultan dan saling memberikan umpan-balik. Sementara itu, Sanderson (1991:68) menyatakan bahwa adaptasi adalah suatu trait sosial (sifat atau perangai sosial) yang muncul akibat kebutuhan, tujuan, dan hasrat individu. Adaptasi bertalian dengan sebuah pola sosiokultural karena bentuk-bentuk sosiokultural baru senantiasa muncul dari proses adaptasi. Sanderson (2003:72) menambahkan bahwa inovasi sosiokultural dilakukan secara sengaja dan tidak acak sehingga evolusi berlangsung sangat cepat. Dalam hal ini, adaptasi merupakan proses pengambilan ruang perubahan yang di dalamnya terdapat perilaku kultural yang bersifat teknologikal, organisasional, dan ideologikal (Hardestry, 1977:243).

Mengacu pada konsep adaptasi tersebut, pengembangan cagar budaya di kawasan DAS Pakerisan, Tampaksiring, juga tidak dapat dilepaskan dari adaptasi dengan lingkungan, baik alam maupun sosial budaya, yang memengaruhinya. Dari faktor alam dapat dilihat bahwa pengembangan cagar budaya di kawasan tersebut cenderung berpijak pada dimensi-dimensi alamiah yang dimiliki, seperti pamijilan (kemunculan) patirthan. Hal ini berhubungan erat dengan bentuk acara agama Hindu yang dominan pada situs cagar budaya di kawasan tersebut, yakni sebagai tempat malukat (menyucikan diri dengan sarana air/tirtha). Berkaitan dengan hal tersebut, beberapa Pengemong dan Pengurus Pura menyampaikan pendapat sebagai berikut.

“Wilayah Tampaksiring ini memang berkelimpahan air sehingga sangat kaya dengan pamijilan-pamijilan (kemunculan-kemunculan) patirthan (sumber air suci), termasuk di Pura Mangening. Bagi saya, ini anugerah Ida Bhatara yang tidak ternilai harganya dan tergantung kita saja mampu atau tidak untuk merawat dan memanfaatkannya. Sudah barang tentu, ini yang menjadi dasar pertimbangan, mengapa kami terus berusaha untuk mengembangkan Pura Mangening sebagai tempat malukat.

Pernyataan tersebut menegaskan bahwa pengembangan Pura Mangening sebagai tempat malukat merupakan bentuk adaptasinya dengan kondisi alam sekitar pura tersebut yang memang berlimpah dengan pamijilan patirthan. Artinya, pengembangan cagar budaya yang dilakukan pun tidak jauh-jauh dari potensi alami yang dimiliki. Kondisi alam yang tidak jauh berbeda juga dimiliki Pura Tirtha Empul, bahkan fungsinya sebagai tempat malukat cenderung paling dominan daripada fungsi-fungsi yang lain. Sementara itu, Pura Gunung Kawi yang memiliki kondisi alam bertebing dalam pengembangannya cenderung memadukan antara situs arkeologis Candi Tebing dengan keindahan alamnya. Adaptasi dengan lingkungan alam ini jelas memberikan pengaruh penting terhadap perkembangan situs cagar budaya di kawasan tersebut dalam konteks malukat sebagai salah satu bentuk acara agama Hindu.

Sementara itu, dalam konteks adaptasi dengan lingkungan sosial budaya, pengembangan situs cagar budaya di kawasan DAS Pakerisan, Tampaksiring pun berkaitan erat dengan mayoritas penduduknya yang beragama Hindu. Bagi umat Hindu, tradisi bersembahyang ke tempat-tempat suci (tirthayatra) telah mengakar dalam jiwa keagamaannya. Oleh karena itu, pengembangan seluruh situs cagar budaya tersebut hampir seluruhnya didasari pertimbangan bagaimana memberikan suasana yang aman dan nyaman bagi umat Hindu yang akan tangkil (berkunjung dan bersembahyang) ke pura tersebut. Pengembangan berbagai fasilitas, seperti tempat parkir, kamar mandi, toilet, jasa penyimpanan pakaian (locker room), dan sebagainya tidak terlepas dari realitas sosial budaya yang diadaptasi. Keempat pura tersebut, seluruhnya memiliki fasilitas-fasilitas umum yang dibutuhkan pamedek untuk melaksanakan aktivitas ritualnya dengan aman dan nyaman. Fakta menarik ditemukan di Pura Pegulingan yang menunjukkan kuatnya relasi agama Shiwa-Buddha di dalamnya. Ketertarikan sejumlah umat Buddha untuk melaksanakan ritual di Pura Pegulingan juga menjadi realitas sosial budaya yang dimonitor oleh pangempon pura tersebut sehingga memberikan kesempatan pada umat Buddha untuk melaksanakan ritual keagamaan, seperti gambar berikut.     

Gambar 4: Sejumlah umat Buddha yang dipimpin seorang Bhiksu melaksanakan ritual di
                  Candi Pegulingan (dokumen pribadi)

Berkaitan dengan gambar tersebut, Pengurus Pura, memberikan penjelasan sebagai berikut.

“Nggak masalah, sebenarnya masih ada banyak lagi. Pura Pegulingan niki (ini) kan memang situs Shiwa-Buddha, jadi mereka (umat Buddha) juga ikut memiliki karena itu bagian dari sejarah leluhurnya juga. Beberapa kali saya menerima kunjungan Bhiksu dan murid-muridnya untuk ritual di sini. Namun saya tepat menghaturkan banten dengan cara Bali (Hindu) dan mereka mau ikut sembahyang yang saya pimpin. Setelah itu, baru saya berikan kesempatan pada mereka untuk melakukan ritual dengan cara mereka sendiri.”

Ungkapan tersebut menegaskan bahwa pengembangan Pura Pegulingan telah mengadaptasi lingkungan sosial budaya yang menyangkut keberadaan pura tersebut sebagai situs Shiwa-Buddha. Adaptasi kultur-keagamaan dapat dibangun dengan spirit sejarah dan toleransi, tanpa harus kehilangan sentuhan tradisi Hindu. Dalam gambar tersebut, juga terdapat bukti bahwa di depan Stupa Pegulingan atau Padmasana Asta Dala juga terdapat aturan (sesajian) seperti tradisi Hindu Bali. Jadi, pengembangan Pura Pegulingan tidak saja menunjukkan interelasinya dalam acara agama Hindu saja, tetapi juga dengan ritual Buddhis, walaupun tetap berada dalam kendali pamangku pura tersebut.

Uraian ini menegaskan bahwa bentuk interelasi acara agama Hindu dan pelestarian cagar budaya pada aspek pengembangan cagar budaya mencakup penelitian, revitalisasi, dan adaptasi. Dalam ketiga aspek tersebut, acara agama Hindu mendapatkan tempat penting sebagai orientasi pengembangan cagar budaya dalam konteks menjadikannya monumen hidup (living monument). Di sini, penelitian memiliki andil untuk melakukan kajian ilmiah dalam pengembangan cagar budaya, dan karenanya aspek-aspek acara agama Hindu menjadi bagian penting dari rekomendasi penelitian. Revitalisasi aspek kegunaan, bentuk, makna, dan fungsi cagar budaya juga mendukung pengembangan acara agama Hindu. Begitu pula dengan adaptasi, baik alam maupun sosial budaya juga mengarah pada penguatan fungsi cagar budaya di kawasan DAS Pakerisan, Tampaksiring untuk menjadi tempat pelaksanaan acara agama Hindu, khususnya malukat, tirthayatra, dan persembahyangan.  

3 Pemanfaatan Cagar Budaya

Aspek terakhir dari konsep pelestarian Cagar Budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010, Pasal1, Ayat 33 adalah Pemanfaatan Cagar Budaya. Pemanfaatan Cagar Budaya adalah pendayagunaan Cagar Budaya untuk kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya. Dari definisi ini, maka pemanfaatan cagar budaya berkaitan dengan pendayagunaannya untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Artinya, pemanfaatan lebih mengacu pada aspek ekonomis dari cagar budaya tersebut. Dalam konteks pemanfaatan cagar budaya di kawasan DAS Pakerisan, Tampaksiring, relasi-relasi ekonomis dari cagar budaya tersebut dapat dilihat pada 2 (dua) aspek, yakni tirtayatra dan pariwisata, sebagai berikut.

3.1 Tujuan Tirthayatra

Status Pura Tirtha Empul, Pura Mangening, Pura Pegulingan, dan Pura Gunung Kawi adalah Kahyangan Jagat. Status ini membuka peluang bagi pura-pura tersebut untuk dikunjungi umat Hindu (pamedek) dari berbagai daerah di Bali dan luar Bali untuk tirthayatra. Pengertian tirthayatra berasal dari dua kata, yakni tirtha berarti air suci, dan yatra berarti perjalanan. Dengan demikian, tirthayatra berarti perjalanan untuk mencari air-air suci. Tirthayatra dapat dimaknai sebagai perjalanan mencari sumber-sumber air suci (patirthan) atau bersembahyang ke pura-pura untuk mendapatkan anugerah yang diwujudkan dalam bentuk tirtha.

Walaupun kegiatan tirthayatra ini merupakan aktivitas religius yang erat kaitannya dengan acara keagamaan Hindu, tetapi tidak tertutup kemungkinan juga terdapat relasi-relasi ekonomis di baliknya, baik bagi pihak pengelola pura maupun masyarakat sekitarnya. Bagi para pamedek, memang tidak dikenakan karcis khusus untuk memasuki pura-pura tersebut. Tentu syaratnya adalah dengan berbusana adat Bali atau busana sembahyang. Akan tetapi, relasi ekonomi bagi pamedek yang sering terbangun adalah untuk biaya parkir, menyewa locker room untuk berganti dan menyimpan pakaian, menggunakan toilet dan kamar mandi, serta biaya belanja pada warung-warung yang berjualan di kawasan tersebut.

Di Pura Tirtha Empul, pamedek yang ber-tirthayatra harus membayar biaya parkir sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah) untuk kendaraan sepeda motor, dan Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) untuk mobil. Apabila pamedek menyewa locker room untuk menyimpan pakaian dan berganti pakaian, maka pamedek harus membayar sebesar Rp. 10.000,-. Hasil dari parkir dan locker room inilah yang akan memiliki nilai ekonomis bagi pengelola Pura Tirtha Empul, yakni Desa Pakraman Manukaya Let. Sementara itu, untuk di Pura Mangening, Pura Gunung Kawi, dan Pura Pegulingan, para pamedek cukup membayar biaya parkir yang nilainya sama dengan di Pura Tirtha Empul.

Dalam pemanfaatannya bagi pamedek yang ber-tirthayatra, justrurelasi ekonomis menyasar pada masyarakat yang berdagang di sekitar pura tersebut. Di sini, nilai ekonomis yang diperoleh para pedagang sangat fluktuatif, tergantung ramai tidaknya pengunjung. Berkenaan dengan hal tersebut, dapat disimak seperti gambar berikut.

Gambar 5: Pamedek yang berbelanja kepada pedagang di Pura Tirtha Empul  
                  (dokumen pribadi)

Menurut pengakuan beberapa pedagang di Pura Tirtha Empul menyebutkan pada hari-hari suci Hindu, omset penjualannya meningkat tajam karena banyaknya pamedek yang tangkil. Sehari mereka bisa menghabiskan 30 sampai 50 bungkus canang dengan harga Rp. 5. 000,- sampai Rp. 10.000,-. Namun pada saat sepi, paling banyak hanya bisa menjual 10 bungkus, malah kadang-kadang kurang. Dari informasi tersebut, dapat diketahui bahwa kehadiran pamedek juga memberikan nilai ekonomis bagi masyarakat di sekitar Situs Cagar Budaya tersebut, khususnya para pedagang yang mengais rejeki di stand-stand yang disediakan.

3.2 Objek Wisata

Berbeda dengan pamedek yang relatif kecil pengaruh ekonominya terhadap pengelola cagar budaya, justru pariwisata menjadi bentuk pemanfaatan cagar budaya yang paling dominan. Hal ini tidak terlepas dari daya tarik cagar budaya terhadap para wisatawan, baik sekadar menikmati keindahan objek maupun turut dalam aktivitas keagamaan, khususnya malukat seperti gambar di bawah ini.

Gambar 6: Tampak para wisatawan asing berbaur dengan warga lokal untuk malukat di Tirtha Empul (dokumen pribadi)

Dari keempat situs cagar budaya yang dikaji dalam penelitian ini, hanya Pura Tirtha Empul dan Pura Gunung Kawi yang telah menetapkan tarif resmi bagi para wisatawan asing maupun domestik, sebagai berikut.

  • Pura Tirtha Empul:
    • Dewasa : Rp. 30.000,-
    • Parkir Mobil : Rp. 5.000,-
    • Parkir Motor : Rp. 2.000,-
  • Pura Gunung Kawi:
    • Dewasa  : Rp. 15.000,-
    • Parkir Mobil : Rp. 5.000,-
    • Parkir Motor : Rp. 2.000,-

(*Tarif tersebut berlaku per 1 Januari 2019).

Hasil retribusi Pura Tirtha Empul dibagi dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gianyar dengan persentase 60% untuk Pemkab, dan 40% untuk Desa Pakraman Manukaya Let. Sedangkan untuk di Pura Gunung Kawi, pembagian retribusinya adalah 50% untuk Pemkab Gianyar, dan 50% untuk Banjar Penaka, Desa Pakraman Tampaksiring. Sementara untuk di Pura Mangening dan Pura Pegulingan, biaya yang dikenakan kepada wisatawan hanya terbatas pada parkir dan penyewaan selendang dan kamben (kain). Imbas ekonomi yang lain kepada pedagang juga tidak berbeda dengan yang berlaku pada pamedek, sebagaimana diuraikan di atas.

Pemanfaatan cagar budaya di kawasan DAS Pakerisan, Tampaksiring terbukti memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat dan desa pakraman yang mengelolanya, bahkan juga Pemkab Gianyar. Akan tetapi, pemanfaatan ini tidak sampai mengurangi nilai pelestarian cagar budaya. Malahan hasil dari retribusi ini memberikan kontribusi penting bagi desa pakraman yang menjadi pangempon-nya untuk menyelenggarakan berbagai acara agama Hindu di pura tersebut. Berbeda dengan di Pura Pegulingan dan Pura Mangening yang tidak menentukan tarif bagi para wisatawan, acapkali krama masih memiliki tanggungan iuran (paturunan) untuk melaksanakan berbagai macam acara agama Hindu di pura dimaksud. Di sini, pemanfaatan cagar budaya tersebut berinterelasi dengan acara agama Hindu terutama dalam keberlangsungan upacara-upacara keagamaan pada setiap situs cagar budaya, walaupun secara umum fungsi sebagai tempat pelaksanaan acara agama Hindu tetap terpelihara.

III. SIMPULAN

Alasan yang mendasari terbangunnya interelasi acara agama Hindu dan pelestarian cagar budaya di kawasan DAS Pakerisan, Tampaksiring karena sistem kepercayaan, spirit bhakti;dan peran struktur serta pranata sosial. Dua alasan pertama berada pada lingkup sistem religi yang bersifat subjektif, sedangkan alasan ketiga berada pada lingkup sistem sosial yang bersifat objektif. Sistem kepercayaan mendasari sakralisasi struktur dan benda cagar budaya sebagai pusat orientasi religius umat Hindu yang harus dipelihara kelestariannya. Spirit bhakti mendasari pelaksanaan acara agama Hindu sebagai konkretisasi sistem kepercayaan yang berinterelasi dengan pelestarian cagar budaya. Peranan struktur dan pranata sosial mendasari terjadinya interelasi acara agama Hindu dan pelestarian cagar budaya dalam sistem sosial keagamaan.

Bentuk interelasi acara agama Hindu dan pelestarian cagar budaya di kawasan DAS Pakerisan, Tampaksiring, mencakup pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. Pertama, pelindungan cagar budaya dalam bentuk penyelamatan dan pengamanan, pembentukan zonasi, serta pemeliharaan dan pemugaran dalam struktur ruang tempat suci Hindu (pura). Kedua, pengembangan cagar budaya dalam bentuk penelitian, adaptasi, dan revitalisasi yang berorientasi pada fungsi-fungsi religius. Ketiga, pemanfaatan cagar budaya dalam bentuk menjadi tujuan tirthayatra dan objek wisata demi kesejahteraan masyarakat. Ketiga bentuk interelasi ini bertujuan menjadikan cagar budaya sebagai monumen hidup (living monument)yang fungsional dalam pelaksanaan acara agama Hindu.

Daftar Pustaka

Artanegara, I Gusti Agung Gede. 2016. “Objek Wisata Sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan Sebagai Warisan Budaya Dunia”, dalam https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbbali/obyek-wisata-sepanjang-daerah-aliran-sungai-das-pakerisan-sebagai-warisan-budaya-dunia/, diakses 12 September 2018.

Ashrama, Beratha (Ed.). 2004. Ajeg Bali Sebuah Cita-cita. Denpasar: Pustaka Bali Post.

Daeng, Hans J. 2008. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan Tinjauan Antropologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dharma Putra, I Nyoman. (Ed.) 2004. Bali Menuju Jagadhita: Aneka Perspektif. Denpasar: Pustaka Bali Post.

Geriya, I Wayan. 2000. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI. Denpasar: Dinas Kebudayaan Bali.

Goris, R. 1954. Prasasti Bali. 2 Vols. Bandung: N.V. Masa Baru.

________. 1957. “Dinasti Warmadewa dan Dharmawangsa Di Pulau Bali”, dalam Majalah Ilmiah Populer Bahasa dan Budaja, Th. V No.3. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Hardestry, Richard W. 1977. Ecological Anthropology. New York: John Wiley & Suns.

Kaplan, David dan Robert. A. Manners. 2002. Teori Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Kempers, A.J. Bernet. 1960. Bali Purbakala: Petundjuk Tentang Peninggalan Purbakala di Bali. Jakarta: PT. Penerbit dan Balai Buku Iktiar.

Mahastuti, Ni Made Mitha. 2018. “Kontekstual Warisan Budaya Dunia DAS Pakerisan Terhadap Kesinambungan Budaya Bali”,dalam Laporan Hasil Penelitian, Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana.

Mantra, Ida Bagus. 1996. Bhagawadgita Naskah Sanskerta dan Terjemahannya. Denpasar: Parisada Hindu Dharma Indonesia.

________. 1996. Landasan Kebudayaan Bali. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.

 Picard, Michel. 1997. ”Cultural Tourism, National Building, and Regional Culture: The Making of Balinese Identity”, dalam Michel Picard dan Robert E. Wood (Ed.), Tourism, Ethnicity, and the State in Asian and Pasific Societies. Honolulu: University of Hawai’i Press.

Pudja, Gde dan Tjok Rai Sudharta. 2005. Manawa Dharmasastra (Manu Dharmasastra) atau Weda Smrti Kompedium Hukum Hindu. Jakarta: Felita Nursatama Lestari.

Sanderson, Stephen K. 2003. Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. Jakarta: Rajawali Press.

Soekmono. 2005. Candi: Fungsi dan Pengertiannya. Jakarta: Jendela Pustaka.

Srijaya, I Wayan. 1996. “Pola Persebaran Situs Keagamaan masa Hindu Buda di Kabupaten Gianyar, Bali: Suatu Kajian Ekologi”. Tesis. Bidang Ilmu Pengetahuan Budaya. Jakarta: Universitas Indonesia.

Sudharta, Tjok, Rai & Ida Bagus Punyatmaja. 2001. Upadesa. Surabaya: Paramita.

Sutaba, I Made, dkk. 1983. Pura Pegulingan Temuan Baru Persebaran Agama Buddha di Bali. Gianyar: Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali di Bedulu.

Sutterheim, W.F. 1929. Oudheiden van Bali. Nederlands.

Thornton, Robert. J. 1988. “The Retoric of Ethnograpic Holism.” Dalam Jurnal Cultural Anthropology, August’1, 1988, page 285—303.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Utama, I Wayan Budi. 2003. “Hindu Bali, Hindu Nusantara dan Hindu India”. Makalah disampaikan dalam penyegaran dan pelatihan Dharmaduta 22-24 Juni 2003. Denpasar.

Wesnawa, Ida Bagus Putu. 2004. Revitalisasi Kebudayaan Bali. Denpasar: DPRD Provinsi Bali.

Wiana, Ketut. 2003. Veda Vakya: Tuntunan Praktis Memahami Veda. Denpasar: Pustaka Bali Post.