OBYEK WISATA SEPANJANG DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) PAKERISAN SEBAGAI WARISAN BUDAYA DUNIA

0
6380

Pulau Bali tidak memiliki kekayaan alam yang berasal dari bahan tambang seperti halnya pulau-pulau lainnya di Indonesia. Misalnya pulau Sumatra dengan tambang batu baranya, pulau Kalimantan dengan tambang minyak, pulau Irian Jaya dengan tambang emasnya, dan sebagainya. Dalam meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakatnya, perekonomian masyarakat pulau Bali lebih cenderung bertumpu pada kekayaan sumber daya alam dan budaya yang dimiliki. Kekayaan sumber daya alam dan budaya tersebut antara lain berupa keindahan alam, tradisi, adat istiadat, tinggalan budaya dan keunikan-keunikan lainnya.  Sumber daya tersebut dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan dengan mengembangkan jasa pariwisata. Dengan semakin ramainya kunjungan wisatawan ke pulau Bali mendorong masyarakat daerah tujuan wisatawan lebih kreatif menciptakan sesuatu yang memiliki nilai tukar, bahkan nilai tukar berkaitan erat dengan komoditi. Komoditi mempunyai nilai ganda, di satu pihak mempunyai “nilai pakai” dan pada pihak lain mempunyai “nilai tukar”.  Dalam kaitannya dengan pariwisata,  masyarakat Bali lebih menekankan pada nilai ekonomis. Sejalan dengan perkembangannya, masyarakat Bali dalam memilih profesinya lebih banyak pada industri pariwisata. Profesi tersebut antara lain menjadi pemandu wisata, merintis biro perjalanan wisata, penyewaan mobil, rumah tinggal, hotel, dan menjual berbagai jenis cendera mata (Soenaryo, 2012: 97-98).

Dari delapan wilayah kabupaten dan satu kota yang ada di Provinsi Bali, masing-masing wilayah kabupaten memiliki karakteristik dan potensi yang berbeda. Karakteristik dan potensi wilayah tersebut antara lain wilayah dataran, pegunungan dan wilayah pesisir atau pantai. Pada masing-masing wilayah kabupaten memiliki potensi dan ciri khas tersendiri untuk dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata yang pada akhirnya bermuara pada peningkatkan taraf hidup dan kesejahteraannya.

Lansekap Budaya Propinsi Bali (LBPB) telah ditetapkan sebagai Warisan Dunia (WD) UNESCO, pada tgl. 29 Juni 2012, dalam sidang UNESCO di Pittsburg, Rusia. Secara resmi bendel usulan yang diajukan oleh pemerintah untuk mendapatkan pengakuan UNESCO adalah Cultural Landscape of Bali Province, Subak as Manifestation of Tri Hita Karana Philosophy. Judul usulan itu ditetapkan, karena kawasan yang diajukan sebagai WD adalah kawasan yang terkait erat dengan sistem irigasi subak di Bali. Adapun kawasan yang mendapatkan pengakuan untuk ditetapkan dalam Daftar Warisan Dunia UNESCO adalah : (i) Lansekap Subak Catur Angga Batukaru, berlokasi di Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan dan di Kecamatan Sukasada,  Kabupaten Buleleng; (ii) Pura Taman Ayun, di Kabupaten Badung; (iii) Lansekap Subak Daerah Aliran Sungai Pakerisan, di Kabupaten Gianyar; dan (iv) Pura Ulun Danu Batur dan Danau Batur, di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.  Semua lanskep yang disebutkan di atas berkait erat dengan eksistensi sistem subak.

Kabupaten Gianyar sebagai salah satu  wilayah kabupaten di Bali dengan karakteristik wilayahnya adalah  berwujud dataran. Di mata dunia internasional kabupaten Gianyar memiliki predikat  sebagai “daerah seni”.  Dengan predikat tersebut, Kabupaten Gianyar merupakan daerah tujuan wisata utama bagi wisatawan baik domestik maupun manca negara. Sebagai salah satu daerah tujuan wisata dunia, Kabupaten Gianyar  memiliki ciri khas dan  keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh kabupaten lainnya di Bali.  Ciri khas dan keunikan yang menjadi daya tarik wisatawan tersebut adalah kekayaan alam dan budaya berupa keindahan alam atau lanskap, tradisi, budaya, warisan budaya, seni, dan keunikan lainnya.  Salah satu warisan budaya yang dimanfaatkan sebagai  obyek wisata adalah Dareah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan. Menurut catatan Stutterheim (1923-1930) dan Bernet Kempers daerah aliran sungai Pakerisan paling banyak ditemukan peninggalan purbakala.

  • Pura Tirta Empul

_dsc1011Pura Tirta Empul terletak di  hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan. Desa   Manukaya, Kecamatan  Tampaksiring, Kabupaten/Kota Gianyar, Propinsi Bali. Struktur halaman pura  terbagi menjadi empat  halaman,  utama mandala (jeroan),  madya mandala (jaba tengah) dan nista mandala (jaba). Halaman utama mandala sesungguhnya terbagi menjadi tiga ruang  yakni  ruang pertama adalah  paling utara, ruang kedua dipisahkan oleh sebuah tembok pembatas. Ruang pertama ditandai dengan adanya sebuah bangunan Tepasana dan bangunan-bangunan lainnya. Ruang kedua ditandai dengan adanya sumber mata air suci berada pada sisi timur dan pada sisi barat di depan candi bentar adalah komplek arca. Ruang ketiga adalah komplek pemandian. Ruang ini terbagi menjadi tiga, yakni bagian barat, bagian tengah  dan bagian timur (Banyun Cokor). Halaman  nista mandala ditandai dengan adanya  sebuah wantilan dan bekas  kolam renang.  Berdasarkan sumber prasasti Manukaya,  pura ini didirikan oleh raja Candrasingha Warmadewa pada tahun 884 Caka (962 M), data sejarah ini disebutkan pada prasasti batu (Jaya Stambha) yang disimpan di Pura Sakenan, Desa Manukaya Let. Benda cagar budaya yang terdapat pada pura Tirta Empul antara lain: Lingga Yoni, Arca Nandi, dan Arca Singa. Dan sebuah struktur: Tepasana. Secara mithologi hindu, berdasarkan lontar Usana Bali Pura Tirta Empul lebih dikenal dalam ceritera Maya Denawa. Mithologi tersebut mengisahkan  pertempuran antara pasukan Dewa Indra melawan Raksasa Maya Denawa. Dalam ceritera itu disebutkan bahwa Raksasa Maya Denawa berhasil membuat mata air beracun (tirta cetik) untuk mengalahkan pasukan Dewa Indra. Sedangkan Dewa Indra berhasil mebuat air suci untuk menghidupkan kembali pasukannya.

  • Pura Pegulingan

candi-pegulinganPura Pegulingan terletak di Dusun/Br. Basangambu, Desa/Kelurahan Manukaya, Kecamatan  Tampaksiring  Kabupaten/Kota Gianyar, Propinsi  Bali.  Ditemukan kembali tahun 1982 saat masyarakat merencanakan membangun paduraksa. Situs Pura Pegulingan ditemukan pada tahun 1982, pada saat itu masyarakat hendak mendirikan sebuah padmasana agung. Berdasarkan data kepurbakalaan, pura ini diperkirakan berdiri pada abad IX Masehi pada halaman dalam terdapat pelinggih dan Candi. Cagar budaya di pura ini anara lain : sebuah stupa dan temuan lain berupa materai tanah liat, relief Gana, arca budha dari emas dan fragmen-fragmen bangunan.

  • Pura Mangening

SONY DSC

Pura Mangening berada pada sebuah lembah diapit oleh aliran sungai Pakerisan di sebelah timur dan anak sungai pakerisan di sebelah baratnya. terletak di Dusun/Br. Sarasidi, Desa/Kelurahan Tampaksiring, Kecamatan   Tampaksiring, Kabupaten/Kota  Gianyar, Provinsi Bali. Struktur mandala pura Mangening dibagi menjadi tiga bagian, yakni utama mandala, madya mandala dan nista mandala.  Cagar budaya yang bernilai penting yang terdapat di pura Mangening adalah sebuah bangunan Prasada, sebuah lingga, dan dua buah arca perwujudan yang diperkirakan berasal dari abad ke XI – XII Masehi

  • Pura Gunung Kawi

candi-tebing-gunung-kawiPura Gunung Kawi terletak di Dusun/Br.  Penaka, Desa/Kelurahan Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten/Kota  Gianyar, Propinsi  Bali. Dengan ukuran luas lahan 14.87 ha. Kepurbakalaan yang terdapat di dalam pura Gunung Kawi antara lain: Jero Gede merupakan sebuah ruang suci di dalam sebuah dengan ruangan berbentuk segi empat. Di dalam ruang ini sebuah altar berbentuk persegi empat panjang berada di tengah-tengah ruangan ini. Komplek candi tebing Gunung Kawi meliputi: Candi Lima, Candi Empat, Pasar Agung dan kompleks Candi Sepuluh. Menurut perkiraan para ahli, komplek percandian Gunung Kawi didirikan pada masa pemerintahan Raja Anak Wungsu sekitar abad XI Masehi. Percandian ini didirikan untuk memuliakan Raja Udayana beserta keluarga dan kerabatnya. Terbukti dengan adanya inskripsi dalam bentuk huruf Kadiri  Kwadrat  pada ambang pintu candi yang berbunyi “rwanakira” artinya: dua putra beliau, dan “haji lumah ing jalu”  artinya sang raja didharmakan di pakerisan.  Komplek percandian Candi Gunung Kawi beserta ceruk-ceruk pertapaannya seolah-olah dibelah oleh aliran  sungai Pakerisan, di situs ini ditemukan beberapa kelompok percandian yakni: Candi Lima dan Komplek Pasar Agung berada  di sebelah timur sungai, Candi Empat dan  Candi Sepuluh serta  ceruk pertapaan berada di sebelah barat sungai dan  di sebelah tenggara.

  • Lansekap Budaya

Sebagai gambaran umum, pengakuan dunia terhadap Subak sebagai Warisan Dunia membuktikan bahwa keberadan Subak bisa disejajarkan dengan situs-situs lain di dunia yang harus dilestarikan keberadaannya. Penetapan tersebut berimplikasi positif bagi promosi wisata budaya yang berpotensi memberikan manfaat ekonomi serta mendorong upaya pelestarian dan pengembangan subak ke depan.

Warisan Dunia Lansekap Budaya Propinsi Bali mencakup sejumlah komponen yaitu subak (petani dan lembaga), kawasan hutan, kawasan mata air dan danau, lansekap sawah terasering, wilayah sungai dan prasarana sumber daya air (irigasi, saluran, dan bendung irigasi), kawasan permukiman perdesaan, dan kawasan suci, seperti pura.

Tantangan besar yang harus dihadapi dalam Lansekap Budaya Provinsi Bali adalah menjaga keberlangsungan subak dari kawasan hulu sampai dengan hilir yang mencakup aspek sosial, ekonomi, budaya, dan ekologi. Pada kawasan hulu diperlukan suatu tindakan untuk melestarikan sumber mata air dan kawasan hutan yang memiliki fungsi layanan jasa ekosistem maupun nilai adat dan budaya. Pada kawasan hilir diperlukan suatu kebijakan untuk melindungi alih fungsi sawah dari peruntukan lain, mempertahankan konsep pertanian tradisional dan permukiman adat, serta insentifbagi petani yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan petani padi, meningkatkan nilaitambah produk pertanian, dan memperkuat faktor pendukung budidaya pertanian padi.

Oleh sebab itu, dalam menyikapi tantangan untuk menjaga kelestarian Lansekap Budaya Provinsi Bali, diperlukan pengelolaan terpadu yang dapat memayungi seluruh kebijakan pelindungan, pemanfaatan dan pengembangan Subak Bali yang berkelanjutan. Pengelolaan terpadu melibatkan seluruh stakeholder yang berkepentingan demi mencapai 5 strategi prioritas dalam pengelolaan ke depan, yaitu:

  1. Pelindungan dan peningkatan mata pencaharian hidup masyarakat
  2. Konservasi dan promosi jasa ekosistem
  3. Konservasi benda budaya
  4. Pengembangan terarah pariwisata budaya dan pendidikan, dan
  5. Pengembangan infrastruktur dan fasilitas.

Sistem subak secara menyeluruh mencerminkan prinsip filosofis Bali Tri Hita Karana (“tiga unsur sumber kebaikan”), hubungan selaras antara parhyangan (Tuhan), pawongan (umat manusia) dan palemahan (alam sekitar). Ritual pura subak mempromosilan hubungan selaras antara manusia dan lingkungannya melalui keterkaitan aktif manusia dengan konsep ritual yang menekankan kebergantungan pada kekuatan pemberi kehidupan alam semesta. Sistem subak memiliki nilai universal yang luar biasa, dengan kriteria: konsep filosofis masa lampau yakni Tri Hita Karana, sebagai sebuah sistem yang demokratis dan egaliter, dan sebagai suatu lembaga yang unik.

Secara Geografis Desa Tampaksiring adalah sebuah desa yang terletak di wilayah Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Propinsi Bali. Dengan batas – batas sebelah utara dengan Desa Manukaya, sebelah selatan dengan desa Sanding, sebelah barat dengan Kecamatan Tegal Alang dan sebelah timur dengan Kabupaten Bangli. Desa Tampaksiring meliputi wilayah administrasi dengan luas wilayah 8,68 Km terdiri dari 13 Banjar Dinas dan 7 Desa Adat. Jumlah penduduk Desa Tampaksiring berdasar hasil pendataan pada tahun 2010 adalah sebanyak 9925 jiwa terdiri dari 5082 jiwa penduduk laki – laki dan 4843 jiwa penduduk perempuan, yang terdiri dari 2597 KK. Sedangkan jumlah RTM sebanyak 201 RTM dengan 764 orang anggota keluarga. Laju pertumbuhan penduduk Tampaksiring sebesar 0.40% dengan kepadatan penduduk 1.139 Jiwa/ km.

Masalah sosial yang saat ini muncul adalah (1) penurunan tenaga kerja pertanian di pedesaan khususnya buruh tani, (2) pencemaran sampah dan limbah pada saluran irigasi, (3) kerusakan infrastruktur pendukung pertanian seperti saluran irigasi dan jalan usaha tani serta dukungan pemodalan dan pengembangan kapasitas bagi petani, (4) Berbagai kasus konflik sosial yang terjadi di desa-desa lokasi penelitian diantaranya adalah konflik antar pihak dalam pemanfaatan retribusi dari kunjungan wisatawan, konflik antara daerah inti dan penyangga terkait dengan wisata Subak, konflik antara petani dengan usaha lain seperti peternakan, serta konflik kepentingan antara petani dengan investor dan penguasaha yang ingin meraup untung dari ekonomi pariwisata.

Mengakhiri tulisan ini, berkaitan dengan tema Obyek Wisata Sepanjang  Daerah Aliran Sungai Pakerisan sebagai Warisan Dunia,  dapat dikemukakan beberapa hal terkait dengan upaya pelestarian dan pemanfaatannya sebagai daerah tujuan wisata sebagai berikut.

  1. Obyek wisata sepanjang Daerah Aliran Sungai Pakerisan adalah merupakan satu-satunya daerah kawasan Cagar Budaya di Kabupaten Gianyar yang paling padat populasi cagar budayanya. Sebagai suatu kawasan cagar budaya, kawasan DAS Pakerisan adalah kawasan cagar budaya yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, dan telah ditetapkan sebagai salah satu warisan dunia oleh UNESCO.
  2. Dengan telah ditetapkannya DAS Pakerisan beserta cagar budaya maupun lansekap budayanya  sebagai warisan dunia, bukan berarti tanggung jawab pelestariannya semata-mata menjadi tanggung jawab pemerintah saja, tetapi adalah menjadi tanggung jawab kita bersama, lebih-lebih kawasan cagar budaya sepanjang DAS Pakerisan di dalam realitasnya telah dimanfaatkan sebagai obyek dan tujuan wisata dunia.  Karena  dalam pemanfaatan cagar budaya Pemanfaatan dan pengelolaan pariwisata budaya ibarat pisau bermata dua yang mempunyai dua sisi yang berbeda, dapat menimbulkan dampak positif dan dampak negatif. Dampak positifnya adalah lestarinya cagar budaya, karena memberikan keuntungan ekonomi kepada masyarakat lokal/setempat. Sedangkan dampak negatifnya adalah rusak/hancurnya benda cagar budaya,akibat terjadinya komersialisasi terhadap  cagar budaya.
  3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya sebagai payung hukum pelestarian dan pemanfaatannya, disamping itu peranserta aktif pemerintah daerah juga sangat dibutuhkan melalui regulasi-regulasi daerah untuk mempertajam dan berfungsi sebagai rambu-rambu pemanfataannya.

Pustaka

  1. Anonim, 2010: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, Kementerian Kebudyan dan Pariwisata, Direktorat Jenderal  Sejarah dan Purbakala
  2. Ardika, I Wayan, 2007: Pusaka Budaya dan Pariwisata, Denpasar: Pustaka Larasan
  3. Stutterheim, W.F. 1925 a: Kort Verslaag Van den Adjuct Oudheidkundige nopemszijn reisnaar Bali, OV, halaman 90 -96
  4. Sttutterheim, W.F. 1929: Oudheden van Bali I, Het Ouderijk van Pedjeng, Kirtya Liefrick-vander Tuuk, Singaraja.
  5. Soenaryo, F. X. 2012: “Perekonomian Masyarakat Bali dalam Era Globalisasi”, dalam Komodifikasi Identitas Bali Kontemporer, Pustaka Larasan.
  6. Suantra, I Made dan Muliarsa, I Wayan (Editor) 2006: Pura Pegulingan, Tirta Empul dan Goa Gajah Peninggalan Purbakala di Daerah Aliran Sungai Pakerisan dan Petanu Gianyar, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali, Wilayah Kerja Provinsi Bali, NTB, dan NTT.