Pelestarian tidak hanya dilakukan terhadap bukti bendawi (fisik) yang ada, tetapi juga nilai-nilai penting yang terkandung didalamnya. Agar kedua hal tersebut dapat tercapai maka pelestarian bukti bendawi harus dapat dipertahankan, karena tanpa bukti bendawi nilai-nilai penting yang ada hanya akan menjadi wacana saja atau bahkan dapat dianggap sebagai “ dongeng atau legenda” belaka. Untuk dapat menjamin agar bukti-bukti bendawi dapat mempresentasikan nilai-nilai, bukti-bukti itu harus terjaga kondisinya. Dua aspek fisik yang harus dapat dipertahankan kondisinya adalah keaslian (authenticity) dan keutuhan (integrity). Untuk mempertahankan keaslian dapat dialakukan dengan upaya-upaya mempertahankan kondisi unsur-unsur berikut ini; (a) bentuk dan rancangan (desain), (b) bahan, (c) kegunaan dan fungsi, (d) tradisi, teknik, sistem manajemen, (e) lokasi dan latar lingkunga, (f) bahasa dan warisan budaya tak bendawi lainnya, (g) perasaan dan semangat yang melingkupinnya. Sementara itu, untuk memenuhi kondisi keutuhan dan keterpaduan unsur, maka pelesatrian harus mampu mempertahankan unsur-unsur karya budaya yang ada dalam keadaan cukup lengkap sedemikian rupa sehingga masih mampu memberikan gambaran yang utuh tentang cagar budaya yang ada dan mencerminkan nilai-nilai penting yang dikandungnya.
Upaya pelestarian dapat dilaksanakan dalam tiga kegiatan utama yaitu Perlindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan. Perlindungan dimaksudkan untuk mencegah agar cagar budaya tidak mengalami kerusakan dan kehancuran, sehingga kita akan kehilangan selamanya. Pengembangan dapat diartikan sebagai upaya untuk menjaga kualitas tampilan cagar budaya agar dapat difungsikan terus seperti fungsi semula atau untuk fungsi lain yang sesuai dengan ketentuan undang-undang. Pemanfaatan, memberikan kegunaan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, baik untuk pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, ekonomi, maupun kebudayaan di masa kini dan mendatang.
Salah satu bentuk perlindungan terhadap cagar budaya adalah zonasi atau pemintakatan. Dalam konteks penerapannya di Indonesia, pemintakan atau zonasi telah diatur dalam Undang-Undang no. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya disebutkan “ Pelindungan adalah upaya mencegah dan menanggulangi dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan dengan cara penyelamatan, pengamanan, zonasi, pemeliharaan, dan pemugaran Cagar Budaya “. Sementara itu, zonasi dipahami sebagai penetuan batas-batas keruangan Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya sesuai dengan kebutuhan.
Zonasi adalah penentuan batas-batas keruangan Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya sesuai dengan kebutuhan. Zonasi dibuat setelah suatu lokasi ditetapkan sebagai Situs Cagar Budaya atau satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya. Zonasi dilakukan tanpa mengubah luas dan batas Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya yang telah ditetapkan. Zonasi dibuat berdasarkan kriteria lokasi atau satuan ruang geografis yang sudah ditetapkan sebagai Situs Cagar Budaya dan/atau Kawasan Cagar Budaya yang :
- Rawan ancaman yang disebabkan faktor alam maupun manusia;
- Mempunyai potensi Pengembangan dan Pemanfaatan; dan/atau
- Memerlukan pengelolaan khusus.
Zonasi dibuat berdasarkan hasil kajian terhadap ruang Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya untuk kepentingan Pelindungan Cagar Budaya, dan berdasarkan prinsip : Perlindungan, Keseimbangan, Kelestarian, Koordinasi, dan Pemberdayaan masyarakat. Zonasi dilakukan dengan membagi ruang menjadi beberapa zona berdasarkan tingkat kepentingan dan rencana pemanfaatannya, yaitu:
- Zona Inti, merupakan area pelindungan utama untuk menjaga bagian dari Situs Cagar Budaya dan/atau Kawasan Cagar Budaya yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya yang paling penting
- Zona Penyangga, merupakan area yang melindungi Zona Inti
- Zona Pengembangan, merupakan area yang diperuntukan bagi Pengembangan potensi Cagar Budaya untuk kepentingan rekreasi, konservasi lingkungan alam, lanskap budaya, kehidupan budaya tradisional, keagamaan, dan kepariwisataan
- Zona Penunjang, merupakan area yang diperuntukkan bagi penempatan sarana dan prasarana penunjang untuk mendukung kegiatan usaha dan/atau rekreasi umum.
Zona Inti, Zona Penyangga, Zona Pengembangan, dan Zona Penunjang, dapat dimanfaatkan untuk rekreasi, edukasi, apresiasi, dan religi. Zonasi pada satu Kawasan Cagar Budaya dapat terdiri atas lebih dari satu Zona Inti. Komposisi jumlah zona, penempatan, dan keluasannya dibuat berdasarkan keadaan dengan mengutamakan Pelindungan Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, dan/atau lanskap budaya yang berada di dalam Situs Cagar Budaya dan/atau Kawasan Cagar Budaya.
Berdasarkan uraian diatas, kegiatan zonasi dilaksanakan di Situs Masjid Kuno Bayan Beleq, Desa Bayan, Kecamaan Bayan, Kabupaten Lomok Utara, Provinsi NTB,.
Penentuan batas situs adalah kegiatan utama yang dilakukan untuk kepentingan perlindungan dan pelestarian cagar budaya dan situs sesuai dengan data yang ada dengan tujuan untuk mengetahuai secara pasti letak geografis situs cagar budaya terhadap lingkungannya. penentuan batas situs ini dilakukan dengan berpedoman pada : Batas Asli dan Batas Alam, sedangkan teknik penentuan zonasi dilakukan dengan Teknik Blok.
Berdasarkan uraian diatas kegiatan zonasi yang dilaksanakan di Situs Masjid Kuno Bayan Beleq, Desa Bayan, Kecamaan Bayan, Kabupaten Lomok Utara, Provinsi NTB, adalah yang terdiri dari:
Zona inti (zoning I) merupakan Situs Masjid Kuno Bayan Beleq itu sendiri, dan 6 kuncup makam kuno, Luas 3.853 m², dalam peta/gambar dilambangkan dengan garis warna merah sebagai batas sisi terluar dari zona inti. Adapun batas dari zona inti adalah sebagai berikut:
- Sebelah Utara : dibatasi dengan pagar kawat
- Sebelah Timur : dibatasi dengan pintu masuk dan talud terbawah
- Sebelah Selatan : dibatasi dengan talud terbawah
- Sebelah Barat : dibatasi dengan Makam Anyar
Zona penyangga (zoning II) merupakan kawasan yang diperuntukkan menjaga keharmonisan antara situs dan lingkungannya. Lahan mintakat/zona penyangga di Situs Masjid Kuno Bayan Beleq dengan luas 2.777 m ², dalam peta/gambar dilambangkan dengan garis warna kuning sebagai batas sisi terluar dari zona penyangga adapun batas dari zona penyangga adalah sebagai berikut :
- Sebelah Utara : Halaman Sisi Selatan Rumah Adat Karang Bajo
- Sebelah Timur : Saluran irigasi
- Sebelah Selatan : Jalan Setapak di Halaman Bagian Bawah Tengah Masjid Bayan Beleq
- Sebelah Barat : Pintu masuk menuju Situs masjid Bayan Beleq
Zona Pengembang (zoning III), Pengembangan potensi Cagar Budaya untuk kepentingan rekreasi, konservasi lingkungan alam, lanskap budaya, kehidupan budaya tradisional, Dkeagamaan, dan kepariwisataan. Dalam peta/gambar dilambangkan dengan garis warna hijau sebagai batas awal dari zona pengembang dari Masjid Kuno Bayan Beleq adalah sebagai berikut :
- Sebelah Utara : Halaman Selatan Rumah Adat Karang Bajo
- Sebelah Timur : Sawah milik Raden Anggra Kesuma
- Sebelah Selatan : Kebun milik Raden Sumangkal
- Sebelah Barat : Jalan Raya Bayan
Selain aturan-aturan yang telah diatur dalam Undang-undang No.11 Tahun 2010, mengenai pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan Cagar Budaya, terdapat aturan-aturan lokal (aturan adat) yang masih berlaku sampai saat ini di Situs Masjid Kuno Bayan Beleq, terutama di zona inti baik untuk pelestarian Cagar Budaya, dan tindakan yang boleh atau tidak boleh dilakukan di zona inti. Setiap tindakan pelestarian yang akan dilakukan harus diawali dengan koordinasi, terutama dengan masyarakat adat sebagai pemilik dan pengelola dari Situs Masjid Kuno Bayan Beleq.