Masjid Mantingan, Persembahan Sang Ratu untuk Sang Suami

0
7470
Masjid Mantingan di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Masjid Mantingan di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.

Kebanggaan Masyarakat Jepara

Masjid Mantingan berada di Kabupaten Jepara yang berjarak 78 km dari Kota Semarang. Ditempuh sekitar 2,5 jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan roda empat dari kota lunpia ini. Begitu memasuki Kabupaten Jepara, pemandangan pun berubah. Gelondongan kayu jati ditemukan hampir di setiap rumah warga. Kabupaten Jepara yang terletak di Jawa bagian utara memang terkenal sebagai kota ukir. Hasil ukiran kayu terbaik di negeri ini bisa dibilang berasal dari tempat ini.

Dibuat oleh Sang Ratu untuk suami yang dikasihinya

Masjid Mantingan merupakan masjid kedua setelah masjid agung Demak. Dibangun pada 1481 Saka, atau 1559 Masehi oleh Ratu Kalinyamat. Tahun pembangunan masjid itu diketahui berdasarkan candra sengkala yang terukir di mihrab, yang berbunyi “Rupo Brahmana Wanasari”.

Dikisahkan satu peristiwa pembunuhan Sultan Hadiri yang dilakukan oleh Arya Penangsang. Peristiwa tragis ini dipicu oleh perselisihan yang terjadi selepas meninggalnya Raja Demak, Raden Trenggono. Istri Sultan Hadiri yang bernama Ratu Kalinyamat sangat bersedih dan terpukul. Untuk mengatasi kesedihannya itu, Ratu Kalinyamat membuat makam beserta masjid di daerah Mantingan, Jepara, yang sekarang kita kenal dengan Masjid Mantingan. Kisah ini sekilas mirip dengan kisah seorang raja di India yang membangun Taj Mahal yang dipersembahkan kepada istrinya yang sudah meninggal.

Dalam memersembahkan bangunan untuk mendiang Sultan Hadiri, Sang ratu meminta bantuan guru spiritual sekaligus ayah angkat Sultan Hadiri ketika menimba ilmu di China. Ia adalah Chi Hui Gwan, yang lebih dikenal dengan Patih Sungging Badarduwung. Patih inilah yang menjadi arsitek Masjid Mantingan. Dalam mendirikan masjid ini Patih dibantu oleh masyarakat setempat.

Makam di sebelah baratdaya Masjid Mantingan.
Makam di sebelah baratdaya Masjid Mantingan.

Makam dan Masjid yang selalu berdampingan

Komplek Masjid Mantingan mempunyai luas lebih kurang 7 hektare. Komplek masjid terdiri atas bangunan masjid, makam, dan museum. Makam yang terletak di belakang masjid denahnya membujur ke belakang. Terdiri atas tiga teras, seperti  umumnya bentuk makam-makam kuno. Pembagian itu didasarkan atas kedudukan sosial tokoh yang dimakamkan. Teras pertama, yang dibatasi dengan gapura candi bentar, terletak paling bawah. Merupakan pemakaman bagi masyarakat umum. Teras kedua, yang juga dibatasi dengan gapura candi bentar, digunakan untuk pemakaman orang-orang yang status sosialnya lebih tinggi. Teras ketiga, teras paling atas yang ditandaki dengan gapura paduraksa, adalah pemakaman yang digunakan untuk orang-orang dengan status sosial tertinggi, terutama yang berada di dalam cungkup.

Masjid yang berusia sekitar 5 abad itu memiliki relief-relief yang menempel pada dinding masjid. Saat ini terdapat 114 relief, karena masih ada bebera relief yang tersimpan di ‘museum’ sederhana di samping masjid. Mungkin ini satu-satunya masjid yang memiliki relief.  Gaya arsitekur bangunan masjid memerlihatkan akulturasi budaya Hindu dan China. Terlihat dari bentuk mustaka dan atap tumpang yang merupakan corak Hindu Majapahit. Begitu juga dengan relief yang merupakan budaya yang mendahuluinya. Pengaruh China terlihat dari adanya bentuk barongsai pada relief yang digayakan (stilisasi).

Relief di dinding sisi timur Masjid Mantingan.
Relief di dinding sisi timur Masjid Mantingan.

Bukan candi saja, masjid juga punya relief

Hiasan-hiasan yang terdapat di komplek masjid dan makam Mantingan dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, hiasan bercorak flora. Terutama berupa sulur-suluran atau tumbuhan menjalar, dan bunga teratai. Kedua, motif geometris, yang lebih sering disebut dengan istilah lokal sebagai motif slimpetan (saling bersilangan). Ketiga, adalah motif binatang yang disamarkan, atau lebih sering disebut dengan istilah distilir.

Menurut ajaran Islam, sosok manusia atau semua makhluk yang bernyawa tidak diperkenankan sebagai hiasan dekoratif. Akan tetapi seniman pada zaman itu sangat pintar. Mereka membuat gambar-gambar bernyawa itu dalam bentuk ukiran yang disamarkan, atau distilir. Saat dilakukan pemugaran pada 1978–1981, ditemukan empat panil relief di kedua sisinya. Satu sisi berelief seperti yang dapat dilihat sekarang, sisi lainnya terdapat pahatan relief yang tidak selesai. Berupa lakon cerita tentang Ramayana, yang erat kaitannya dengan agama Hindu.

Di sini terlihat peran ulama sangat berpengaruh dalam pembuatan relief. Mereka memberikan nasehat bahwa tidak boleh menggambarkan makhluk hidup secara natural sebagai hiasan masjid. Relief yang terlanjur dipahat lakon Ramayana itu, akhirnya diganti dengan relief seperti sekarang ini kita lihat.

Pahatan Cerita Ramayana di balik relief.
Pahatan Cerita Ramayana di balik relief.

Pemugaran Masjid

Masjid Mantingan telah mengalami beberapa kali pemugaran. Pada 1927 dilakukan pemugaran dengan beberapa alasan. Di antaranya adalah, karena Masjid Mantingan masih difungsikan oleh masyarakat setempat. Alasan lainnya adalah adanya pertimbangan kebersihan dan kenyamanan bagi para jemaah. Meskipun telah menghilangkan kekunoan masjid tersebut. Pada 1978 hingga 1981, Masjid Mantingan kembali dipugar. Dalam pemugaran kali ini ditemukan enam panel berornamen di kedua belah sisinya. Selain itu juga ditemukan sejumlah balok batu putih dan fondasi bangunan kuno.

Tradisi Masyarakat

Ada tuah di dalam cungkup makam mantingan. “Air Mantingan atau Air Keramat” di dalam cungkup itu dikisahkan ampuh untuk menguji kejujuran seseorang. Dapat membuktikan sesuatu yang benar dan yang salah. Biasanya masyarakat Jepara dan sekitarnya menggunakan air keramat ini bila sedang menghadapi suatu sengketa. Air keramat yang beretuah ini diberi mantra dan doa lalu diminum.

Makam di Masjid Mantingan tidak pernah sepi pengunjung. Apalagi saat “Khool” untuk memeringati wafatnya Sunan Mantingan. Disertai upacara Ganti Luwur atau Ganti Kelambu yang diselenggarakan setiap tahun. Tepatnya pada 17 Rabbiul Awal, sehari sebelum peringatan hari jadi Jepara. Makam Mantingan sampai sekarang masih dianggap sakral. Juga mempunyai tuah bagi masyarakat Jepara dan sekitarnya. Bahkan pohon pace atau mengkudu yang tumbuh di sekitar makam konon ampuh bagi mereka yang belum memiliki keturunan. (Satria Ega)

Referensi

Priyanto, Hadi, dkk. 2013. Mozaik Seni Ukir Jepara. Jepara: Lembaga Pelestari Seni Ukir, Batik, dan Tenun Jepara Pemerintah Kabupaten Jepara