WCF 2016, Ajang Interaksi Kekayaan Budaya Indonesia

0
1531

JAKARTA — Perhelatan World Culture Forum (WCF) akan kembali digelar. Memasuki kali kedua, sejak perdana diselenggarakan tahun 2013 lalu, WCF 2016 akan berlangsung selama lima hari di Nusa Dua Convention Center, Nusa Dua, Bali, 10-14 Oktober 2016, dengan mengusung tema Culture for an Inclusive Sustainable Planet.

Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid mengungkapkan, WCF 2016 diharapkan akan menjadi wadah bagi peserta untuk berinteraksi dengan kekayaan budaya Indonesia. “Indonesia, sebagai rumah kebudayaan yang luar biasa kaya, dan harus melihat budaya bukan semata sebagai warisan tetapi sebagai elemen dasar masa depan,” tutur Hilmar.

“Rumah budaya Indonesia memiliki banyak unsur, sehingga kita dapat menyaksikan bagaimana masyarakat membentuk sebuah ekosistem. Kekayaan kita akan menjadi inti utama untuk didiskusikan, sehingga pada perhelatan WCF 2016, Indonesia bukan sekedar sebagai negara tuan rumah saja, tetapi dapat menjadi tempat bagi para peserta mendapat pengalaman baru dengan kekayaan budaya kita,” lanjutnya.

Menurutnya, terdapat beberapa pondasi di rumah budaya Indonesia, yaitu pertama, keragaman yang luar biasa sehingga hal itu bisa menjadi modal untuk berkembang. Kedua, adanya harmoni. Indonesia memiliki kemampuan untuk membentuk harmoni melalui persatuan dan kesatuan. Ketiga, jembatan yang mengaitkan jarak, ruang berkarya, dan berkiprah secara kebudayaan. Keempat, memasukkan komponen lingkungan hidup di dalam berkarya dan membangun kebudayaan. Kelima, menempatkan desa agar dapat mengalami pembangunan berkelanjutan. Keenam, keberadaan teknologi untuk mewarnai perkembangan kebudayaan Indonesia.

Kemdikbud berharap, WCF 2016 dapat menjadi jembatan tiga komponen, yaitu jembatan antara masa lalu dan masa depan, jembatan generasi kemarin dan generasi masa depan, dan jembatan antara warisan kemarin dengan lapang baru atau landscape yang moderen.

Hilmar Farid mengungkapkan, setidaknya terdapat 1.500 peserta dari 65 negara asal akan berpartisipasi di forum ini. Pada sisi konsep penyelenggaraan, ia menuturkan dua hal berbeda yang di WCF 2016, yaitu adanya agenda kunjungan ke lapangan, dan keikutsertaan kaum muda.

Agenda kunjungan ke lapangan, lanjut Hilmar, merupakan bagian integral dari forum. “Kesenian di sini bukan dekorasi tapi cara ekspresi. Begitu pula kunjungan ke lapangan, bukan pengisi waktu senggang, tapi sebagai cara agar peserta dapat mengalami bersama apa yang dibicarakan,” jelasnya.

Selain itu, keikutsertaan kaum muda pada WCF 2016 akan dilibatkan ke dalam perhelatan Youth Forum yang dimulai di awal Oktober 2016, atau 12 hari sebelum forum utama dimulai.

Kegiatan ini bertujuan agar kaum muda mendapatkan kesempatan cukup untuk membicarakan berbagai hal penting di antara mereka sendiri. Kemudian, hasil pembicaraan akan disampaikan di dalam forum WCF. Sekira 200 orang pemuda yang terbagi atas 100 orang yang berasal dari luar negeri, dan 100 orang dari dalam negeri akan turut serta di Youth Forum.

“Kita cenderung definisikan budaya itu dari sisi orang tua, padahal anak muda harus diberikan ruang untuk mendefinisikan dan mengekspresikan kebudayaan menurut anak muda,” ujar Hilmar.

Penyelenggaraan WCF 2016 diagendakan akan dihadiri oleh Ban Ki Moon (Sekjen PBB), Irina Bokova (Dirjen UNESCO) melalui video conference dan Megawati Soekarnoputri (Presiden RI ke-5). Keynote Speaker lain seperti King Abdullah II (Raja Jordania), dan Justin Trudeau (PM Kanada) juga diharapkan hadir pada forum ini.

Sedangkan, sebagai pembicara dalam simposium akan hadir nama-nama terkenal seperti Ridwan Kamil (Walikota Bandung), Aleta Baun (Kepala Desa Mollo, NTT), Celio Turino (Culture Points, Brazil), Jill Cousins (Dirut Europana), Shinsuke Ota (Japan Water Agency), Wayan Windia (Ahli Subak), hingga Desi Anwar (CNN Indonesia).

Deretan nama di atas akan saling berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam simposium-simposium yang membahas sub-sub tema WCF 2016, antara lain: Reviving Culture for Rural Sustainability; Water for Life: Reconcilicing Socio-Economic Growth and Environmental Ethics; Interweaving History, Urban Space, and Cultural Movement; Culture in the New Digital World; Reconciling State, Community, and Cultural Divides; dan Cultural Diversity for Responsible Development. Tema-tema tersebut dipilih karena dianggap merupakan isu-isu penting dalam pembangunan dunia yang berkelanjutan.

WCF merupakan perhelatan berskala internasional yang terselenggara sebagai inisiatif untuk mewujudkan Indonesia sebagai tuan rumah budaya di tingkat internasional, untuk membahas isu-isu strategis dan dapat merekomendasikan kebijakan untuk pengembangan budaya dunia berkelanjutan, khususnya yang berkaitan dengan perdamaian, kemakmuran, pelestarian, dan pengembangan kualitas hidup tingkat tinggi bagi peradaban global. Pemilihan lokasi penyelenggaraan di Bali karena pertimbangan Bali sebagai pusat untuk melakukan diskusi-diskusi pembangunan kebudayaan dunia.