Sidang Komisi 2 Sesi 2, Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 (10/10)

0
664

Acara sidang komisi 2 pada sesi 2 Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 tanggal 10 Oktober 2013 dilaksanakan di Hotel New Saphir Yogyakarta dengan Topik  Glokalisasi Budaya yang dimoderatori oleh Arswendo Atmowiloto.

DSC_0555

Paparan pertama dalam sidang komisi 2 dengan pembicara Ayu Sutarto dengan judul Upacara Tradisional, Kohesi Sosial, dan Bangunan Kebangsaan.

Masyarakat Indonesia sangat kaya dengan pusaka budaya (cultural heritage) dan salah satu bentuk pusaka budaya yang hingga saat ini masih memiliki pewaris aktif (active bearers) adalah upacara adat atau upacara tradisional. Upacara adat atau upacara tradisional adalah sebuah laku atau perbuatan dan tuturan tertentu yang dijalankan oleh komunitas tertentu (komunitas ini disebut komunitas adat),  berdasarkan keyakinan tertentu, dan  tradisi itu  diwarisi dari para leluhurnya. Senyatanya upacara tradisional merupakan sarana komunikasi, yakni komunikasi antara para pelaku upacara dengan lingkungannya dan kekuataan gaib yang dipercaya dapat memberi perlindungan atau solusi terhadap masalah yang membelit para pelaku dan pendukung upacara.

Akhir-akhir ini upacara tradsional mulai ditoleh, baik oleh pemerintah maupun pewarisnya, baik pewaris aktif maupun pewaris pasifnya. Pemerintah menoleh karena bentuk pusaka budaya yang satu ini bisa menjadi salah satu sarana untuk mengakomodasi kemajemukan dan mengembangkan pariwisata budaya, sementara sekelompok orang, terutama komunitas pemiliknya, beranggapan bahwa upacara tradisional merupakan laku yang bisa menjawab beberapa masalah yang membelit bangsa, yakni masalah yang terkait dengan terwujudnya kohesi sosial atau kerukunan dan penguatan identitas lokal.

Upacara adat atau upacara tradisional yang masih hidup di Indonesia dan masih memiliki pewaris aktif serta pendukung yang kuat (pewaris pasif) antara lain a) upacara daur hidup, b) upacara yang berkaitan dengan kepercayaan, c) upacara yang berkaitan dengan peristiwa/gejala alam, dan d) upacara yang berkaitan dengan kegiatan produktif. Memang, pelaksanaan berbagai upacara tradisional tersebut terkadang menimbulkan gesekan dengan agama, tetapi para pelaku dan pendukung upacara tradisional (biasanya telah memeluk agama tertentu) selalu mengalah, berkompromi, atau bernegosiasi. Berikut ini akan diberikan paparan dan bahasan tentang beberapa upacara tradisional yang masih memiliki pewaris aktif dan pendukung yang signifikan.

Dilihat dari pesan sosio-kultural yang diusungnya maka upacara-upacara tradisional, apapun bentuknya, merupakan sarana yang dapat digunakan untuk membangun kohesi sosial. Peserta dan pelaku upacara tradisional tidak menonjolkan latar belakang keyakinan yang dipeluknya atau  latar belakang yang lain. Artinya, upacara ini tidak memberi peluang akan tumbuhnya sekat-sekat sosial dalam pelaksanaannya. Tua-muda, laki-laki-perempuan, kaya-miskin yang berasal dari berbagai keyakinan atau agama  dapat mengikuti upacara tradisional karena mereka memiliki tujuan yang sama, yakni membangun harmoni, keselarasan, dan keseimbangan, baik dengan Tuhan, kekuatan gaib yang lain, maupun dengan sesama.

DSC_0492

Paparan kedua dalam sidang komisi 2 dengan pembicara Stanislaus Sandrarupa dengan judul Warisan dan Pewarisan Budaya : Glokalisasi Warisan Budaya.

Faktor penting yang sangat berpengaruh pada warisan budaya adalah bahwa di era globalisasi kita sudah menjadi penduduk dunia di kampung global. Globalisasi merupakan konsep kekinian yang menjadi satu elemen penentu bahkan bersifat hegemonik dalam mengevaluasi warisan budaya. Karena intensitasnya sangat tinggi, ia punya efek negatif pada warisan budaya sehingga dapat menghilangkan identitas maka timbul pertanyaan apakah kita akan luluh dalam perubahan tanpa permanensi?

Satu cara yang dapat dilakukan adalah penguatan budaya-budaya lokal. Namun, cara ini ternyata tidak tepat karena ia berasumsi bahwa realitas masa lampau harus sama dengan yang dulu. Warisan budaya menjadi tertutup padahal kita sudah berada di era globalisasi. Otonomi tertutup sangat menekankan perbedaan tanpa kesatuan.

Sebagai alternatif penyelesaian masalah diajukan teori glokalisasi budaya – budaya Indonesia. Glokalisasi adalah konsep kompleks yang terdiri atas global dan lokal dalam batas Indonesia dan dunia. Metode bagaimana sebuah budaya melakukan dan mengevaluasi glokalisasi bervariasi dari budaya ke budaya. Ada kelompok yang merasa globalisasi menekan mereka yang dilakukan oleh hegemonisme masyarakat adidaya, tapi ada juga yang berupaya mengundangnya. Apakah globalisasi dipaksakan atau diinginkan, ia tak dapat dihindari. Karena itu budaya-budaya harus berupaya memaksimalkan efek positipnya dan meminimalkan efek negatipnya. Cara budaya-budaya melakukan keseimbangan antara yang global dan lokal adalah dengan melakukan glokalisasi.

Paparan ketiga dalam sidang komisi 2 dengan pembicara Agus Burhan.

Paparan kempat dalam sidang komisi 2 dengan pembicara Sal Mugianto.