Pembukaan Dialog Refleksi Memory of the Earth

0
696

Satonda- Dialog refleksi Memory of the Earth untuk mengenang letusan Tambora tahun 1815 resmi dibuka pada 9 April 2015. Salah satu bagian dari rangkaian World Culture Forum (WCF) 2016 ini berlangsung di Pulau Satonda, kecamatan Tambora, kabupaten Bima.

Acara dibuka dengan sajian musik oleh Ayu laksmi yang membawakan musik suara semesta dengan alat musik pentin. Kemudian dilanjutkan dengan sambutan yang diberikan oleh Kuat Prihatin selaku wakil Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Dalam sambutannya, Kuat menyampaikan permintaan maaf atas berhalangan hadirnya Menteri dan Dirjen Kebudayaan dikarenakan penuhnya jadwal. Kuat juga menjelaskan mengenai hubungan antara WCF dan Tambora. Salah satunya adalah, berdasarkan literatur yang ada saat ini, dikarenakan terjadinya letusan Tambora mampu membuat perubahan di dunia, baik perubahan cuaca hingga perubahan budaya. “Oleh karena itu, WCF juga diharapkan mampu untuk merubah kebudayaan di dunia. Sehingga, melalui Tambora maka akan mampu menjadi titik awal perubahan atas segala hal,” lanjutnya.

Taufik Rahzen selaku steering comitee dari WCF memberikan sebuah refleksi mengenai kebudayaan. Pertama, masa atau era orang tidur yang berjalan, kedua masa orang bermimpi, ketiga masa ketika seseorang bangun dan berjalan. Muncul dari gagasan bahwa bumi adalah organisme atau makhluk hidup. Bumi selalu bereaksi dengan ingatan yang terekam dalam bermacam bentuk baik dalam bentu bebatuan, danau ataupun lainnya.

WCF diharapkan dapat dihidupkan dalam konteks yang baru. Tahun 2013 merupakan pertama kalinya WCF diadakan dan akan diselenggarakan setiap tiga tahun. Masa selama 3 tahun dimanfaatkan untuk mencari tema besar WCF dalam bentuk Focus Group Discussion (FGD).  Selama ini FGD dianggap sebagai forum intelektual berdasar text book.

Dalam FGD kali ini, Taufik menjelaskan hubungan antara WCF dan tambora. Sebelum masa erupsi tambora merupakan sebuah tempat peribadatan dengan ketinggian 4200 dpl. Dengan ketinggian yang dimiliki maka Tambora menjadi lokasi strategis untuk melakukan kontemplasi. Masa itu terjadi peperangan antara Belanda dengan Karaeng Patingaloang. Saat itu Karaeng melarikan diri ke Tambora dan menjadikan Tambora sebagai basis perlawanannya. Memory of the Earth akan membandingkan dengan Memori of the World. Memori of the Earth dapat dilakukan secara berkala meski tidak perlu tiap tahun. Pungkasnya, Rahzen ingin Memory of the Earth besok akan memberikan refleksi mengenai perjalanan Tambora.