You are currently viewing Prasasti Padrao
Padrao koleksi Museum Nasional

Prasasti Padrao

  • Post author:
  • Post category:Cagar Budaya

Padrao
Batu
Jalan Kali Besar Timur I, DKI Jakarta
Aksara Latin
Bahasa Portugis
Abad ke-16 Masehi
Ukuran Tg. 172 cm; Lb. 44cm; Tb. 34 cm
No. Inv. 26/18423

Padrao adalah semacam ‘tugu peringatan’, pelengkap dari perjanjian antara raja Sunda dan
Henrique Leme di atas kertas bertanggal 21 Agustus 1522. Padrao didirikan di suatu tempat yang dijanjikan akan didirikan benteng, ketika Henrique Lemé akan kembali ke Malaka, yaitu di kawasan yang bernama Calapa (Sunda Kelapa).
Kedatangan bangsa Portugis ke Sunda Kelapa diawali dengan melemahnya Kerajaan Sunda
pada awal abad ke-16 Masehi. Keadaan ini dilihat sebagai sebuah peluang bagi Kerajaan
Demak untuk menaklukkan kerajaan ini. Menyadari kerajaannya yang semakin melemah dan adanya ancaman dari Kerajaan Demak, Kerajaan Sunda meminta bantuan kepada Portugis yang berada di Malaka pada tahun 1521. Portugis menanggapi permintaan ini dengan baik.

Pada tahun 1522, Portugis mengirim utusannya, Henrique Lemé ke Kerajaan Sunda untuk
mengadakan perjanjian. Isi perjanjian bilateral ini adalah bahwa Kerajaan Sunda dan
Kerajaan Portugis bersepakat untuk menjalin persahabatan. Kerajaan Sunda akan
memperoleh bantuan dari Portugis untuk melawan musuh-musuh Kerajaan Sunda. Untuk
mempererat hubungan dagang, orang-orang Portugis diijinkan mendirikan benteng dan diberi hak untuk memperoleh lada. Selain itu, raja Sunda pun berjanji memberikan karung lada setiap tahunnya kepada raja Portugal terhitung mulai hari dibangunnya benteng tersebut.

Perjanjian ini dibuat secara tertulis pada 2 lembar kertas dengan isi yang sama (copy), yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dan sebagai pegangan raja Sunda yang diwakilkan oleh Pangeran Surawisesa (Portugis menyebutnya sebagai raja Samiam) yang tak lain merupakan putra mahkota dari raja Sunda dan Henrique Lemé, yang merupakan utusan Jorge d’ Albuquerque Gubernur Portugis di Malaka. Saksi dari pihak Sunda adalah mandari tadam ‘mantri dalem’, tamungo sanque de pate ‘tumenggung sang adipati’, dan bengar xabandar ‘syahbandar’. Sedangkan dari pihak Portugis adalah 8 orang ikutserta. Saksi dari Portugis adalah Fernando de Almeida, Francisco Anés, Manuel Mendes, Joao Coutinho, Gil Barboza, Tomé Pinto, Sebastian do Rego, dan Francisco Diaz (Hageman 1867:210-211).

Sebelum kembali ke Malaka, Henrique Lemé diantarkan ke tempat yang dijanjikan untuk
membangun benteng, yaitu di tepi sebelah timur muara Ci Liwung, di kawasan yang bernama Calapa (yang kemudian menjadi Sunda Kalapa). Di situlah mereka mendirikan padrao.Selanjutnya Henrique Lemé kembali ke Malaka untuk melaporkan perjanjian ini kepadaJorge de Albuquerque, “kapten” kota Malaka untuk urusan perdagangan, menilai hal itusangat penting dan menulis kepada raja Portugis untuk meminta persetujuannya.

Dom João III, raja Portugis menyetujuinya dan mempercayakan pelaksanaannya kepada
Francisco de Sá, kemudian berangkat dengan armada kapal yang dipimpin oleh Vasco da
Gama. Saat itu Vasco da Gama adalah wakil raja yang baru di India (Guillot 1992:2). Oleh
karena Vasco da Gama wafat, Francisco de Sá diberikan tugas lain dan menetap sementara di India. Setelah menyelesaikan tugasnya, Francisco de Sá kembali melanjutkan perjalanannya ke Calapa. Akan tetapi saat mereka sampai pada tahun 1527 ternyata Calapa sudah dikuasai oleh pasukan Kerajaan Demak, yang dipimpin Fatahillah. Usaha Portugis untuk merebut Calapa dari pasukan Fatahillah tidak pernah berhasil sehingga benteng itu pun tidak pula sempat berdiri. Surawisesa pun terpaksa berperang sendiri melawan musuh-musuhnya karena bantuan Portugis tidak pernah tiba. Padrao saat ini disimpan di Museum Nasional Indonesia dengan nomor inventaris 18423/26.

Prasasti Padrao dipahat pada batu andesit warna hitam berbentuk segi empat agak membulat dengan ukuran tinggi 198 cm dan diameter 67,5 cm. Pada bagian atas Padrao terdapatarmillary sphere atau rangka bola langit dengan khatulistiwa dan lima garis lintang sejajar. Pada bagian atas bola langit terdapat lambang tiga daun (trifoil).
Di bawah bola langit ini terdapat 4 garis inskripsi. Garis pertama berupa salib Ordo Christus, yang termashur di Portugal sebagai penerus Ordo Bait Suci dari Yerusalem di wilayah kekuasan raja Portugal. Garis kedua berupa huruf DSPOR singakatan dari D= Do, S=Senhario, POR= Portugal yang artinya Penguasa Portugal. Garis ketiga berupa huruf
ESFERᴙᵅ/Mᵒ dibaca Esfera do Mundo yang artinya Harapan Dunia. Garis keempat bentuk
salib.

Pada tahun 1918 ketika dilakukan penggalian untuk membangun fondasi gedung di sudut
Prinsenstraat (sekarang Jalan Cengkeh) dan Groenestraat (sekarang Jalan Kali Besar Timur
I, yang sebelumnya bernama jalan Nelayan) batu perjanjian tersebut ditemukan kembali.
Penemuan ini termuat dalam laporan Oudheitskundig Verslag terbitan Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen 1919. Lokasi atau tempat ditemukannya
padrao menunjukkan bahwa pantai pada awal abad ke-16 Masehi kurang lebih lurus dengan garis di sebelah selatan rel kereta api dan jalan tol layang Tanjung Priok – Cengkareng, sekitar 400 meter sebelah selatan Menara Syahbandar. Maka, seluruh kawasan di sebelah utara, bahkan tempat Menara Syahbandar pun pada awal abad ke-16 Masehi masih berupa laut dangkal.