Soeradji

0
14616

Soeradji

Salah satu pelajar STOVIA yang pandai berbahasa Jawa adalah Soeradji. Karena itu ia menjadi perantara dan pemikat hati di antara para pelajar STOVIA. Pun Soeradji menjadi perantara di antara para pelajar yang aktif di perkumpulan Boedi Oetomo dengan masyarakat bumiputera yang sehari-hari hanya mampu menggunakana bahasa Jawa. Sebelum muncul nama Boedi Oetomo, Soeradjilah yang mengusulkan nama perkumpulan mereka lewat dua nama yang disodorkannya yaitu “Eko Projo” dan “Boedi Oetomo”. Hal itu disampaikan kepada Dr. Wahidin Soedirohoesodo saat mengunjungi STOVIA. Soetomo yang waktu itu didampingi Soeradji berkata kepada Dr Wahidin: “Menika satunggaling pedamelan sae sarta nelakaken budi utami.” Kata “budi utami” adalah bahasa Jawa bentuk kromo untuk “budi utomo.” Akhinya istilah Boedi Oetomo dijadikan nama resmi perkumpulan (organisasi) para pejar STOVIA yang aktif dalam kegiatan pergerakan.

Soeradji dilahirkan pada tahaun 1887, di desa Uteran, kabupaten Ponorogo. la adalah sulung dari sembilan bersaudara. Ayahnya, Tirtodarmo, adalah seorang pensiunan guru Kepala Sekolah Rakyat. Orangtua Soeradji sangat ketat dalam mendidik perilakunya. Setamat dari Europese Lagere School (ELS) Soeradji melanjutkan studinya di sekolah kedokteran bumiputera (STOVIA) di Jakarta. Suatu kali ayahnya merasa kecewa karena Soeradji tidak mendapat nilai yang baik, padahal telah dididik dengan keras sehingga menjadi siswa yang tekun. Karena itu ayahnya tidak mengirim uang sekolah kepadanya. Melihat situasi tesebut kemudian Dr Wahidin yang sudah mengenal ssbelumnya, mengulurkan bantuan dengan menanggung semua biaya pendidikan Soeradji hinga lulus.

Dr Wahidin dikenal sebagai dokter omg senior yang sangat dermawan. Sejarah mencatat perekenalan Sooeradji dengan Wahidin melalui catatan kecil pergulatan batin yang dialami Soetomo dan teman-temannya yang dikisahkan dalam buku Kenang-kenangan Seoetomo. Berikut cuplikannya: “Pada penghabisan tahun 1907 datanglah Dr. Wahidin Soedirohoesodo di Jakarta untuk mengaso dari perjalanannya kernana-mama guna mendirikan Studiefonds, agar anak-anak dapat kiranya meneruskan pelajarannya. Dengan teman saya yang karib, Soeradji namanya (yang kemudian kawin dengan salah satu cucu dari Dr Wahidinitu) datanglah kami berdua mendengarkan cita-citanya. Yang mengherankan dan menarik perhatian ialah cara dan akal Tuan Dokter yang tua ini buat mematahkan kekuatan dan pengaruh rintagan yang mengalang-halangi maksudnya. Dengan anak-anak sekelas saya dibicarakan maksud perjalanan Tuan Dokter ini dan bantuan saudara-saudara itu (disebutnya teman-teman: Mas Soeradji, Mas Moehamad Saleh, Mas Soewamo, Mas Soelaiman, Mas Goenawan Mangoenkoesoemo) dapatlah didirikan satu perkumpulan pemuda-pemda di seluruh tanah Jawa guna memperhatikan soal pengajaran terutamanya.” (Van der Veur, 1984) Soeradji berhasil menyelesaikan pendidikannya pada 30 Juli 1912. Sejak itu ia resmi menjadi dokter dan telah berprakek di beberapa tempat antara lain Bandung, Palembang, Riau. Pada tahun 1916, atas permintaan Dr Wahidin melalui Sri Sultan Hamengkubuwono VIII, Soeradji dipulangkan ke Yogyakarta. Kemudian mendapat tugas ke Wonogiri, menjadi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten, karena di sebagian wilayah itu masyarakat sedang terkena wabah penyakit kulit pathek. Pada tahun 1928, Soeradji dipindahkan ke Klaten. Di daerah inipun Soeradji dihadapkan pada masalah wabah penyakit yang menyerang penduduk yaitu penyakit busung lapar (hongerodeem). Selain aktif sebagai dokter, Soeradji juga ikut dalam perjuangan kemerdekaan serta peduli terhadap kemanusiaan. Pada 17 September 1946, didirikan PMI Klaten dan markasnya menempati rumah beliau di Jl. Pramuka/Stasiun Klaten.

Pada masa clash II (1949) Soeradji bersama teman- temannya bergerilya. Saat megalami tekanan tentara NICA, oleh seorang perwira Belanda Soeradji diminta pindah ke kota Klaten dengan iming-iming gaji yang tinggi, perumahan yang  layak dengan kedudukan sebagai dokter. Soeradji pun menolak permintaan itu dengan mengatakan: “Tidak bisa, karena saya adalah Dokter Republik Indonesia.” Belanda geram dan mencari  tempat persembunyian Soeradji dan keluarganya yang temyata sudah kosong, karena Soeradji secara diam-diam telah berpindah tempat. Dengan amat kecewa tentara Belanda melakukan penembakan membabi buta, dan salah satu korbannya adalah seekor kuda kesayangannya mati tertembak, padahal kuda tersebut merupakan kendaraan sehari-hari Soeradji ke pelosok- pelosok untuk memberikan pengobatan kepada masyarakat.

Selanjutnya Soeradji menjalankan praktek sebagai dokter di daerah kekuasan Pakubuwono X. Berkat jasa-jasa dan pengabdiannya kepada rakyat, Soeradji mendapat peghargaan dengan pemberian gelar: “Raden Toemenggoeng Tirtonegoro”. Soeradji memang gemar bekerja, membantu rakyat kecil, dan menghindari publikasi, sehinga jarang keluarga menemukan foto atau tulisan beliau. Pada hari Minggu, 13 Desember 1959, Dr. RT Soeradji  Tirtonegoro, meninggal dunia. Di kediamannya di jalan Stasiun KJaten. Jenazahnya dimakamkan di Mlati, Sleman, Yogakarta. Soeradji meninggalkan isterinya, Onengtyas (cucu dr. Wahidin Soedirohoesodo), dan delapan putra-puterinya yaitu: Soenaryo Soeradji,Soenarti, Margono Soeradji, Santi Miranti, Hari Resapati, Sri Rini, Djoko Pahargyo, Radite Soeradjo.

Jiwa nasionalis dan rasa kemanusiaan yang tinggi dalam diri Soeradji tidak perlu diragukan, meski sesungguhnya ia dididik guna menjadi ambtenaar. Profesinya sebagai dokter dijalankan dengan sangat profesional, berkeadilan, dan menjujung rasa kemanusaaian terhadap sesama, hingga akhir hayatnya. Atas jasa-jasa beliau, pada 20 Desember 1997, bersaamaan dengan hari ulang ahun ke-70 RSUP Tegalyoso, Klaten, Soeradji diberi penghargaan. Penghargaan itu berupa pemberian nama RSUP Tegalyoso menjadi “RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro.”