Moehammad Saleh

0
7505

Moehammad Saleh

 

“Pendiam dan setia.” ltulah kesan Soetomo tentang Moehammad Saleh. la selalu bekerja menurut keputusan rapat, mengatur urusan rumah tangga dengan tertib, sehingga dengan hasil pekerjaannya itu tampaklah bahwa perkumpulan Boedi Oetomo selalu nampak beres dan maju. “Orang tidak mengetahui kesukaran yang ada dalam perjalanan kita, ” kata Soetomo. Moehammad Saleh adalah pekerja keras, namun senantiasa lemah lembut tingkah lakunya dan manis tutur katanya. Saleh mengabdikan diri bekerja sebagai dokter swasta di Probolinggo. Karena perangai yang melekat padanya itulah, sehingga dalam pekerjaan pun dokter ini berpengaruh besar. Karena itu ia dicintai oleh penduduk di sekitamya.

Secara khusus dalam rangka penerbitan buku ini, sebuah catatan pribadi untuk mengenang dr M Saleh, sangat menyentuh, ditulis sendiri oleh Soehartini Heroemoerti, yang sudah berusia 82 tahun, putri termuda dan satu-satunya yang masih hidup dari antara 11 orang anak -anak dr M Saleh. Berikut ini, catatan Bu Soehartini yang ia tulis 19 April 2008 di Bandung: Semangat Bangkit “Di usiaku yang masih sangat belia, suatu pagi di tahun 1937 ada yang menarik perhatianku tentang Bapak. Tidak seperti biasanya aku melihat Bapak sedang berada di garasi dengan masih mengenakan pakaian tidur, piyama kesukaannya. Aku bertanya dalam hati mengapa Bapak ada di sana, biasanya pada pagi hari seperti ini Bapak berada di meja makan, duduk minum secangkir kopi dengan sarapan kecil dua helai roti tawar yang terse lip isi telur ceplok kegemarannya. Koran pagi yang selalu menemani masih terlipat rapi di meja makan. Rasa penasaran itu mendorong aku mendekati garasi. Seperti anak-anak pada umumnya, aku selalu ingin tahu apa yang sedang dikerjakan oleh Bapak di sana. Aku hanya memandang tanpa bertanya apa pun pada Bapak yang sedang mengotak-atik kaca sebelah dalam mobilnya, seperti sedang melekatkan sesuatu. Lebih dekat aku lihat dari bagian luar kaca mobil, temyata Bapak sedang menempelkan selembar kertas berbentuk bulat berwama hijau-merah-putih melingkar. Yang terlintas dalam pikiranku saat itu kertas itu lambang Parindra (Paartij Indonesia Raya); partai di mana Bapak menjadi salah satu pengurusnya. Sebatas yang aku dengar dan ketahui kegiatan organisasi ini tidak dilakukan secara terbuka karena tidak disukai oleh Belanda.

Nekat benar Bapak ini? Sedangkan selama ini keluarga kami senantiasa diintai oleh PID (Politieke Inlichtingen Dienst _ Dinas Intel Belanda). Namun demikian aku tetap tidak bertanya apa pun pada Bapak tentang apa yang sedang aku pikirkan. Tiba. tiba saja Bapak keluar dari mobil dan tersenyum kecil melihatku, akupun membalas senyum Bapak. Aku mengira Bapak sudah selesai dan akan segera kembali ke meja makan aku pun berbalik mendahuluinya. Ternyata tidak! Bapak masih berdiri tegak di samping mobilnya, aku melihat dengan jelas Bapak meletakkan telapak kanannya ke dada sebelah kirinya sambil berucap: “Merdeka! ” Entah mengapa tiba-tiba saja ada rasa bangga melihat Bapak, meskipun belum sepenuhnya aku mengerti makna yang terkandung di dalamnya.

Semangat Revolusi

Pada masa revolusi seluruh rakyat bahu-membahu menyusun kekuatan dengan satu tujuan: Merdeka. Atas kuasa dan kebesaran Allah SWT telah bangkit semangat juang dari seluruh rakyat Indonesia yang ingin melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Apa pun yang mereka miliki, sekecil apa pun kemampuan dan pengetahuan yang ada, dan dengan segala keterbatasan, mereka tetap memiliki satu semangat yang sama. Seperti yang aku alami di lingkup kecil sekitar kehidupanku, salah satu elemen masyarakat yang gigih berjuang adalah para pemuda pejuang yang disebut Tentara Pelajar. Mereka rnampu melakukan perlawanan dengan dukungan rakyat. Di antara rakyat yang mendukung perjuangan, ada tiga orang yang aku ketahui ikut terjun sebagai mata rantai perjuangan. Mereka berprofesi sebagai kusir delman dari tiga desa di sekitar Gunung Bromo, yang bertugas sebagai kurir bagi pemuda pejuang yang tergabung dalam Tentara Pelajar dengan basis gerilya di daerah Gunung Bromo. Karena Bapak berprofesi sebagai dokter, pada saat- saat tertentu secara bergantian mereka datang ke rumah yang sekaligus tempat praktek Bapak dan berpura-pura mendaftarkan diri sebagai pasien yang akan berobat.

Pada saat giliran mereka masuk untuk diperiksa, maka mereka mengucapkan kata sandi tertentu kepada Bapak. Dan, Bapak pun segera tahu apa yang harus dilakukan, yaitu membantu obat-obatan untuk para pejuang melalui kurir kusir delman tersebut.Pada awalnya semua berjalan dengan baik dan lancar, berbagai obat-obatan yang diperlukan bisa diterima oleh para pejuang di lapangan. Sampai suatu saat kegiatan ini diketahui oleh pihak Belanda. Di tengah kesibukan Bapak melayani pasiennya di ruang praktik, datanglah tiga orang polisi dan mereka membawa Bapak pergi. Kami sekeluaga cemas dengan kejadian itu, sementara di kantor polisi diperlihatkan kepada Bapak berbagai macam obat- Obatan yang pernah dititipkan melalui kurir.

Menurut cerita Bapak kemudian pada kami, pada saat itu Bapak berusaha bersikap tenang dan bukti-bukti yang diperlihatkan diakui olehnya. Bapak berusaha tegar dan percaya diri, karena mengetahui bahwa apa yang diperbuatnya adalah benar, sesuai kode etik kedokteran siapa pun yang membutuhkan tindakan medis wajib dibantu. Keesokan harinya Bapak diperbolehkan pulang dan peristiwa itu langsung terdengar oleh para pejuang yang berada di basis-basis pertempuran, mereka yakin ini semua adalah perbuatan mata-mata. Tiga hari setelah Bapak pulang, datang seorang pasien dari kantor polisi ke rumah kami. Tapi pasien itu tidak bermaksud menemui Bapak, melainkan bermaksud menemuiku. Aku bertanya-tanya siapa dia dan dengan maksud apa dia berniat menemuiku. Di ruang kantor Bapak yang letaknya bersebelahan dengan ruang praktik, saya temui pasien tersebut. Dia membawa berita singkat saja bahwa para pejuang telah menemukan orang yang menjerumuskan Bapak. Pengkhianat itu adalah salah satu teman wanitaku dan saat ini telah mengakui semua perbuatannya. Sudah tentu berita ini membuatku sangat kaget dan tak mampu berkata apa pun. Kemudian dia melajutkan: “Kami akan memberi pelajaran setimpal kepada pengkhianat tersebut, karena kami tidak bisa terima atas pengkhianatannya terhadap Pak Dokter. ” Pengkhianat itu ternyata teman sekelasku di MULO dulu. Keringat dingin langsung membasahi tubuhku pada saat pejuang itu mengatakan : “Mbak, kita menunggu instruksi dari Mbak untuk mengeksekusi mati pengkhianat itu. ” Saat itu aku berucap: “Tidak, Bapak telah kembali di tengah-tengah kami dengan selamat, beri saja pengertian padanya apa arti kemerdekaan bagi bangsa dan ajak dia berjuang bersama kami.” Pejuang itu diam sejenak, kemudian pamit. Keesokan harinya aku menerima secarik kertas berisi pesan singkat: “Kami telah melaksanakan tugas kami, pesan terakhirnya almarhumah meminta maaf pada Mbak Tini dan keluarga.” Inna lilahi wa inna Illaihi rojiun. Begitulah perjuangan, tidak ada tempat bagi mereka yang mengkhianati perjuangan kemerdekaan.

Semangat Harga Diri

Bapak selalu membangkitkan rasa cinta tanah air kepada anak-anaknya sejak kecil. Salah satu yang masih teringat adalah pada saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar (lagere school), semua buku pelajaran kami dapatkan dari sekolah. Semua murid diwajibkan memberi sampul buku-buku itu, dengan judul ditulis di bagian luar sampul. Pada suatu malam di saat itu aku sedang belajar sejarah, ada dua buku sejarah, yaitu Sejarah Belanda dan Sejarah Indonesia. Kebiasaan Bapak menemani duduk di dekatku saat sedang belajar, lalu terbaca oleh Bapak di buku itu tertulis: “Inlandse Geschiedenis.” Bapak bertanya: “Tien, apa kamu tahu artinya Inlandse?” Aku jawab: “Pribumi.” (geschiedenis = sejarah). Kemudian Bapak menjelaskan: “Inlandse adalah kata sifat dari Inlander, kamu mau disebut Inlander?” Lalu sambil meninggalkan aku, Bapak berujar: “Ganti dulu judu] sampul buku itu.” Malam harinya setelah selesai belajar, Bapak memelukku dan berkata: “Nah ini baru anak Bapak.” Judul buku sejarah itu sudah aku ganti dengan: =::-: Geschiedenisl” Istilah kecil berupa kata yang memiliki arti penting menyangkut harga diri bangsa. Catatan tersebut merupakan rekaman peristiwa yang dikenang sangat mendalam, semangat kebangsaan membara yang tiada pemah pudar, hingga terpatri erat pada sanubari putri Dr Moehammad Saleh.

Mas Moehammad Saleh bin Sastrodikromo, demikian nama lengkap M Saleh, nama yang lebih dikenal pada buku- buku sejarah tentang penulisan organisasi pertama di Indonesia Boedi Oetomo. Namun tak banyak pula yang mengetahui, Salah sebagai salah satu pendiri Boedi Oetomo 1908, hingga akhir hayatnya sangat konsisten menjalankan pengabdiannya pad a nusa-bangsa. Di Probolinggo, masa tuanya dihabiskan, mengabdi sebagai dokter yang selalu melayani masyarakatnya tanpa pamrih. Untuk mengenang jasa perjuangan dan pengabdian panjangnya sebagai dokter, selain namanya pun telah diabadikan ~ada sebuah nama jalan utama di kota Probolinggo, dulu Jl Laut, Juga telah terabadikan sebagai nama rumah sakit pemerintah di Probolinggo, RSUD dr Moehammad Saleh.

Mas Moehammad Saleh terlahir dari pasangan H Sastrodikromo dan Nalirah, di Simo (Jawa Tengah), 15 Maret 1888. Lima belas tahun kemudian,1 Maret 1903, ia masuk STOVIA. Di tahun 1908, sejarah mencatat M Saleh termasuk di antara pelajar-pelajar STOVIA yang gigih dalam mendirikan organisasi Boedi Oetomo. Dalam kepengurusan organisasi itu, ia duduk sebagai komisaris. Tahun 1911, bersama ternan-temannya; Raden Soetomo, Moh Soelaiman, RM Goembrek, Mas Goenawan Mangoenkoesoemo, Mas Ramelan Tirtohoesodo, JA Latumeten, AB Andu, dan Mas Slamet, M Saleh terpilih sebagai pelajar STOVIA yang diterjunkan dalam penanganan wabah pes di Malang. Kelompok pelajar yang pandai-pandai ini, semua dinyatakan lulus tanpa perlu ujian, langsung dilantik menjadi inlandsh arts, dokter pribumi, pada 11 April 1911. Pemikahannya dengan Emma Naimah binti Daeng Moechsinl”Nyak Em” (1883-1949), dianugerahi 11 putra-putri. Perkawinannya itu sekaligus memelopori visi pluralisme nasional dengan menikahi wanita suku Makasar-Betawi, putri tokoh masyarakat di kawasan Tanah Tinggi (sekarang Cempaka Putih, yang terletak bersebelahan di timur rel kereta api dari kawasan Kwini, lokasi kampus STOVIA), tanpa minta izin dari orang tua yang suku Jawa.

Semangat kebangsaan melekat pada j iwa dr Moehammad Saleh, hingga seluruh putra-putrinya yang mengenyam kehidupan panjang, dididik pula untuk menjadi penerus bangsa yang berguna bagi negara ini. Putri pertamanya lahir, Soeratmi Saleh/”Mimi” (1905-1981). Disusul adiknya, Soeratman Saleh /”Maman Besar” (1907 -1909), danAbdulrachman Saleh I “Maman Kecil” (1909- 1947), yang kemudian sangat dikenal jasa besamya di Angkatan Udara Republik Indonesia, dan diangkat sebagai pahlawan nasional, Marsda TNI (Anumerta) ProfDr Abdurachman Saleh.

Nama putranya ini diabadikan sebagai nama lapangan terbang di Malang dan nama jalan di banyak kota di Indonesia. Bahkan secara kebetulan, nama jalan Museum Kebangkitan Nasional yang dulu merupakan gedung STOVIA, tempat M Saleh bersekolah dan menorehkan catatan sejarah, tempat lahimya Boedi Oetomo, juga bemama Jl Abdulrachman Saleh.

Putra selanjutnya, Haroen Al Rasyid Saleh I “Harun” (1911-1982), mengabdikan diri di Departemen Luar Negeri. Dan adiknya, Ir Mohammad Effendi Saleh I”Tam” (1912-2002), bekerja di bidang transportasi pada Jawatan Kereta Api, pemah menjabat sebagai Sekjen Perhubungan. Ketiga putra berikutnya, Abdul Aziz Sal eh, Alibasah Sal eh, dan Abubakar Saleh mewarisi jiwa dan bidang yang digeluti ayahnya, mengenyam pendidikan dokter dan semuanya bekerja sepenuhnya pada dunia kedokteran dan mengabdi pada negara.

Dokter H Abdulazis Saleh I” Azis” (1914-2001), selain lulus sebagai dokter juga berpangkat mayor jenderal Angkatan Darat, tercatat pemah menjabat tiga kali menjadi menteri di zaman pemerintahan Presiden Soekamo dan Presiden Soeharto, di antaranya sebagai Menteri Kesehatan dan Menteri Perindustrian Republik Indonesia. Kolonel CKM (Pum) dr Alibasah Saleh/ “Ali” (1919- 1999), mengabdikan diri sebagai dokter di TNI Angkatan parat Republik Indonesia. Sedangkan Marsda TNI (Pum) dr H Abubakar Saleh I “Tutut” (1923-2008), dikenal sebagai dokter di TNI Angkatan Udara Republik Indonesia.

Putranya terakhir setelah bemama Mochtar Saleh I “Nies” (1917-1988), menurut catatan, kelahiran Nies yang mendalami pendidikan jasmani ini, adalah Suriname. Hingga kini, belum dapat ditelusuri tentang perlawatan dr Moehammad Saleh hingga Suriname. Putri ke-9, Soemartini Saleh I “Tini Besar” (1920-1925), wafat ketika masih kecil. Saat ini, putri bungsunya, Soehartini Saleh, satu-satunya putri dr Moehammad Saleh yang masih dikaruniai usia panjang, merupakan salah seorang saksi hidup yang dapat memberikan cerita sejarah yang sangat bermanfaat untuk mengenang semangat dan jiwa kebangsaan dr Moehammad Saleh. Daun jatuh tak jauh dari pohonnya, demikian kata-kata yang tepat menggambarkan dr Moehammad Saleh dan putra- putrinya. Dari seorang ayah yang memiliki jiwa perjuangan besar untuk negara, telah terlahir putra-putri penerus bangsa yang selalu siap mengabdikan diri untuk negara. Moehammad Saleh wafat di Probolinggo Jawa Timur , 2 Maret 1952, dimakamkan di Pasarean “Astono Mulyo,” Probolinggo. Pemakamannya dihadiri oleh masyarakat luas serta tokoh-tokoh sepergerakan.