Menelisik Nasionalisme Dibalik Perayaan Hari Dokter Nasional

0
1245

“Berikan seorang pria semangkuk nasi dan anda akan memberinya makan untuk sehari. Ajarkan seorang pria memelihara padi dan anda akan memberinya makanan seumur hidup”_Confusius

Demikianlah pepatah lama yang cukup menggambarkan usaha Pemerintah Kolonial Belanda pada abad ke 17 dalam memerangi wabah penyakit di Tanah Hindia (sekarang Indonesia). Para dokter yang didatangkan dari negeri Belanda hanya mampu menyembuhkan satu diantara ribuan bahkan jutaan orang yang terkena wabah. Akhirnya dibuatlah suatu lembaga pendidikan kesehatan yang ditugaskan untuk memerangi wabah penyakit menular yang membuat tanah Hindia mengalami masa kelam dalam bidang kesehatan. Ribuan orang meninggal tanpa peringatan gejala kematian, wabahpun menyerang tanpa membedakan kasta mulai dari petani, pekerja perkebunan, tentara, hingga pegawai kolonial.

Sehubungan dengan berdirinya pendidikan kesehatan, mulailah berdiri Sekolah Dokter Djawa (1851) yang kemudian menjadi STOVIA (School Tot Opleiding voor Indische Artsen) atau Sekolah Kedokteran Bumiputera. Dari sekolah inilah kemudaian dicetak para teruna bangsa yang kemudian mendirikan organisasi pemuda kebangsaan “Boedi Oetomo” pada tanggal 20 Mei 1908, dan babak baru kebangkitan bangsa Indonesiapun telah dipancangkan. Pendidikan kedokteran terus berkembang dan terbentuklah sekolah-sekolah kedokteran yang lain, seperti NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School) pada tanggal 1 Juli 1913.

Seiring banyaknya dokter bumiputera, maka dibuatlah perkumpulan para dokter-dokter bumiputera. Perhimpunan yang pertama berdiri pada tahun 1911 adalah Vereniging van Indische Artsen, dengan tokohnya seperti dr. Kayadu, dr. Wahidin, dr. Soetomo, dan dr. Tjiptomangunkusumo. Pada 1926, perkumpulan Vereniging van Indische Artsen berubah namanya menjadi Vereniging van lndonesische Geneeskundige (VIG). Perubahan nama dari Indische menjadi Indonesische, berdasarkan pada landasan politik sebuah nasionalisme, dokter pribumi sering dianggap sebagai dokter kelas dua. Pemilihan nama Indonesische dianggap sebagai peletak sendi-sendi persatuan.

Pada 1940, organisasi VIG mengadakan sebuah kongres di Solo. Prof. Bahder kemudian membuat 3000 istilah baru dalam dunia kedokteran. VIG juga menuntut peningkatan gaji dokter “melayu”agar sederajat dengan dokter Belanda. Pada masa pendudukan Jepang 1943, VIG dibubarkan dan diganti dengan Jawa izi Hooko-Kai (dalam masa pendudukan Jepang).

Selanjutnya 30 Juli 1950, PB Perthabiban (Persatuan Thabib Indonesia) dan DP-PDI (Perkumpulan Dokter Indonesia) menyelenggarakan rapat dan terbentuklan panitia Muktamar Dokter Warganegara Indonesia (PMDWI) yang diketuai oleh Dr. Bahder Djohan. Mukhtamar I Ikatan Dokter Indonesia (MIDI) di gelar di Desa Park pada 22-25 September 1950, dan terpilihlah Dr. Sarwono Prawirohardjo sebagai Ketua Umum IDI yang pertama.

Perkumpulan dokter  meski telah ada sejak masa pendidikan kedokteran pertama di Indonesia, namun hari dokter baru ditetapkan pada 24 Oktober 1950, ketika Dr. Soeharo menghadap notaris untuk memperoleh dasar hukum berdirinya perkumpulan dokter dengan nama Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Sehingga tepatnya hari ini merupakan peringatan lahirnya organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai Hari Dokter Nasional. Sejarah telah mencatat perjalanan bangsa ini dalam memperjuangkan kemerdekaan tidak terlepas dari peran para dokter, baik mereka yang menjadi pahlawan kesehatan, maupun mereka yang berjuang di pergerakan nasional.

(Untari)