You are currently viewing Semangat Nasionalisme Dalam Lukisan Basoeki Abdullah
Sketsa Perjuangan 1 karya Basoeki Abdullah

Semangat Nasionalisme Dalam Lukisan Basoeki Abdullah

Berbicara tentang perjalanan hidup dan karya-karya pelukis, Basoeki Abdullah sangat menarik untuk dicermati karena kemantapannya memegang teguh gaya melukis naturalistik yang dianutnya sejak usia muda. Basoeki Abdullah mewarisi konsep mooi indie/Hindia jelita dan naturalisme sejak awal dari ayahnya yang juga seorang pelukis Abdullah Suriosubroto. Naturalisme adalah gaya pelukisan yang berpangkal pada peniruan yang persis atas gejala-gejala yang tampak di alam. Kepiawaiannya melukis potret terkenal sampai di luar negeri, bahkan banyak tokoh-tokoh negara dan keluarga kerajaan atau bangsawan di negara lain berlomba-lomba untuk dilukis oleh Basoeki Abdullah.

Terkait dengan tumbuhnya semangat nasionalisme yang muncul sejak abad ke 20-an dikalangan Bangsa Indonesia tentunya diwujudkan dengan berbagai cara, semangat nasionalisme menurut Ernst Renan yang muncul dalam Revolusi Perancis 1789 yang dikutip Bung Karno sebagai ‘kehendak untuk bersatu’. Diwujudkan dengan membentuk organisasi sosial, agama, ekonomi, politik, dan budaya, perjuangan juga dilakukan dengan mendirikan sekolah-sekolah, memberikan penerangan melalui pers yang bertujuan untuk mencerdaskan masyarakat. Sekecil apapun sumbangan Budi Utomo misalnya telah memberikan contoh untuk bergerak mencerdaskan bangsanya secara lokal, namun sudah ada ‘kesadaran nasional’ (national bewutszijn). Demikian juga dengan pelukis Basoeki Abdullah yang dengan caranya sendiri ingin membangkitkan kesadaran nasional melalui beberapa karya lukisnya.

Sebelumnya memang Basoeki Abdullah lebih dikenal dengan pelukis dengan aliran mooi indie yang lebih ke Belanda-belandaan. Hal inilah yang menjadikan karya-karya lukis potret dan pemandangan Basoeki Abdullah dikritik pelukis lain yang tergabung dalam Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi, berdiri tahun 1937) sebagai karya yang hanya melayani turis saja dan mencari uang saja. Bahkan Trisno Sumardjo, seorang sastrawan dan budayawan tahun 1950an mengkritik karya-karya Basoeki Abdullah sebagai pemuasan selera publik yang dangkal, quasi romantic, dan erotis yang dicari-cari. Lebih lanjut Trisno mengatakan;

”…perempuan-perempuan molek montok separuh telanjang ala Hollywood ‘mewakili’ manusia Indonesia. Teranglah bahwa dengan begitu kesenian diturunkan sebagai barang pasaran tak berisi, pun merusak rasa seni bangsa kita”.

Kritikan tersebut bagi Basoeki Abdullah tak membuat gentar, dia tetap konsisten berjalan diatas relnya sampai akhir hayatnya. Agus Dermawan T. mencatat dalam bukunya (1985) bahwa pameran lukisan Basoeki Abdullah yang digelar di Jakarta tahun 1984 di Hotel Hilton Jakarta dihadiri oleh 10.000 pengunjung dan bahkan pameran lukisannya di tahun yang sama di Taman Ismail Marzuki di hadiri sekitar 60.000 orang, hal ini berarti lukisan-lukisan Basoeki Abdullah sangat digemari oleh khalayak luas. Sehingga kritikan yang muncul terhadap karya-karyanya sejak dulu menunjukkan bahwa jalan yang diambil Basoeki Abdullah juga mendapat restu dari masyarakat. Meski untuk satu kasus dipamerkannya lukisan-lukisan telanjang masih perlu dipikirkan kembali karena hanya bisa dipamerkan di tempat-tempat tertentu saja agar tidak menimbulkan kehebohan.

Namun demikian dalam pembacaan makalah terhadap perjalanan kepelukisan Basoeki Abdullah tercatat beberapa karya lukis yang menunjukkan semangat nasionalisme dalam diri Basoeki Abdullah sejak muda. Salah satu lukisannya paling awal yang dimaksudkan untuk membuat orang-orang Belanda kaget dan takjub dengan karya lukisan Bumi Putera adalah “Pertempuran Gatotkaca Lawan Antasena”. Lukisan dipamerkan di Pekan Raya Bandung 1933 yang biasanya didominasi para pelukis asal Eropa, dan benar lukisannya mendapat sambutan yang meriah.

Cerita lain yang menunjukkan rasa nasionalisme Basoeki Abdullah adalah lukisan Pangeran Diponegoro yang dibuatnya ketika sedang menimba ilmu lukis di negeri Belanda. Berbeda dengan Lukisan Penangkapan Diponegoro yang dibuat Raden Saleh tahun 1857, sebuah pencarian nasionalisme Raden Saleh yang diwujudkannya dalam lukisan tersebut dimana digambarkan raut wajah dan mimik Diponegoro yang marah ke Jenderal de Kock yang malu, sedangkan dari karya lukisan sejaman tentang penangkapan Diponegoro oleh J. W. Pieneman (1830), digambarkan Diponegoro yang ditangkap dan sebaliknya Jenderal De Kock yang sangat berkuasa.

Berbeda dengan lukisan Raden Saleh, dengan gayanya Basoeki Abdullah melukis Pangeran Diponegoro yang mengenakan jubah putih dan menaiki kuda hitam yang perkasa. Digambarkan sosok Pangeran Diponegoro yang marah dengan mata tajam dengan latar coklat merah menyala yang menunjukkan amukan Diponegoro di tengah lautan api. Lukisan ini awalnya dibuat di Den Haag tahun 1934 dan kemudian disempurnakan tahun 1949. Pada waktu itu Basoeki Abdullah kebetulan selama Revolusi berada di Negeri Belanda. Keberanian Basoeki Abdullah melukis Pangeran Diponegoro ketika sedang sekolah lukis di negeri Belanda sangat menarik untuk dicermati, terutama karena sosok Diponegoro adalah simbol perlawanan terhadap Belanda, sebagai negara yang sekarang memberi beasiswa kepadanya, artinya Basoeki Abdullah tetap ‘terbeli hatinya’ oleh kebijakan pemerintah kolonial. Sampai sekarang penggambaran tentang perjuangan Pangeran Diponegoro dalam buku-buku sejarah lebih banyak menggunakan karya lukisnya. (Agus Dermawan T, 1985: 14-15)

Kepedulian Basoeki Abdullah terhadap tokoh pergerakan nasional juga tergambar kepeduliannya terhadap tokoh Soekarno yang ketika itu dibuang oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda ke Ende, Flores, bahkan dia juga mengikuti perkembangan ketika Soekarno dipindahkan ke Bengkulu dan menikah dengan Fatmawati. Kekagumannya pada Soekarno dan keinginan melukisnya dilakukan Basoeki Abdullah ketika Soekarno dikembalikan oleh Jepang dari pengasingannya ke Jawa tahun 1942, Basoeki melukis Soekarno di sebuah warung di Sukabumi. Lukisan Soekarno dilakukan digambar dari samping dengan menggunakan kopiah hitam. Agus Dermawan T, 1985; 22-23)

Lukisan Basoeki Abdullah memang banyak mendapat pujian ataupun kritikan karena jalan yang dipilihnya dalam dunia lukis potret dan mooi indie, diluar pesanan-pesanan lukisan potret oleh tokoh-tokoh terkenal dunia, Basoeki Abdullah tidak serta meninggalkan ‘Indonesia’, melalui karya-karya lukisnya yang memang dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah tetap bangga sebagai orang Indonesia, lukisan awalnya (pertempuran Gatotkaca lawan Antasena) yang menghebohkan orang-orang Eropa di Pekan Raya Bandung tahun 1933, dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pelukis Bumi Putera juga punya kekuatan dan ketrampilan yang lebih baik dari pelukis Eropa. Begitu juga dengan beberapa lukisan lain yang menunjukkan bahwa nasionalisme ala Basoeki Abdullah.

Oleh Didik Pradjoko

  • Tulisan ini semula adalah makalah diskusi di Museum Basoeki Abdullah.
  •  Didik Prajoko adalah sejarawan dan staf pengajar di FIB UI.