You are currently viewing Basoeki Abdullah, Lukisan, dan Mitologi Sosial
Lukisan Kanjeng Ratu Kidul. Sumber: Istimewa

Basoeki Abdullah, Lukisan, dan Mitologi Sosial

Agus Aris Munandar – Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia

Telah banyak kajian yang berkenaan dengan salah seorang maestro seni lukis Indonesia, yaitu Basoeki Abdullah dengan karya-karyanya. Lukisan-lukisan yang dihasilkan oleh Basoeki Abdullah pun bermacam temanya, sekurangnya terdapat 8 tema yang berhasil diidentifikasikan berdasarkan sejumlah lukisannya, adalah tema (1) dongeng, legenda, dan mitos, (2) tokoh, (3) pemandangan alam, (4) perjuangan, (5) potret dan model, (6) dunia hewan dan tumbuh-tumbuhan,   (7) keagamaan dan spiritual, dan (8) Kemanusiaan dan sosial  (Munandar 2009: 13). Risalah ini hanya membincangkan secara ringkas tentang lukisan dan aspeknya yang berkaitan dengan salah satu tema tersebut, yaitu tema legenda, dongeng dan mitos, dalam kajian ini untuk memudahkan disebut tema mitos saja.

Kajian terhadap mitos dinamakan mitologi, jika mitos lebih difokuskan pada uraian kisah atau narasinya, mitologi tentu lebih luas.  Dalam mitologi yang diperhatikan tentu lebih luas dari pada sekedar uraian cerita, antara lain asal-usul terjadinya mitos, fungsi mitos, jangkauan dalam masyarakat, dan makna mitos tersebut dalam masyarakatnya. Kerapkali antara dongeng, legenda, dan mitos dipertukarkan artinya atau penjelasannya, misalnya uraian yang merupakan legenda disebut mitos atau sebaliknya.  Secara teoritis kajian terhadap dongeng, legenda, dan mitos dapat dijelaskan dalam tabel  eksplanasi sebagai berikut:

BENTUK NARASI TOKOH CERITA  

KRONOLOGI

 

LOKASI

DONGENG Manusia atau hewan Tidak terikat waktu, peristiwa dapat kapan saja berlangsung Lokasi cerita dapat di mana saja, tidak ada batasan
LEGENDA Manusia makhluk supernatural Terjadi pada waktu yang tidak terlalu jauh dari masa sekarang  

Di dunia manusia

MITOS Dewa-dewa, manusia setengah dewa, dan hewan mitis Peristiwa terjadi di zaman purba, yang sangat jauh dari masa sekarang. Di alam dewa-dewa atau manusia

(Bascom, 1965)

Secara umum mitologi sering diartikan sebagai rangkaian cerita turun-temurun mengenai kepercayaan nenek moyang. Selain menguraikan narasi cerita mengenai alam dewa-dewi, mitologi juga mengandung berbagai penjelasan mengenai penciptaan dan peristiwa gaib (Silitonga 1977: 1).  Kisah-kisah mitos dapat dijumpai di setiap negara dan bangsa, mereka mengembangkan kisah-kisah tersebut untuk legitimasi asal-usul mereka, untuk rasa kebersamaan dan persatuan, dan menjadikan mitos sebagai identitas mereka (Comte 1991:1). Ketika kisah-kisah mitos tersebut telah berkembang, diterima dan dipahami oleh masyarakat secara luas, maka dapat disebut mitologi sosial-kemasyarakatan. Sebab terdapat mitos yang hanya dikenal di kalangan terbatas, kaum agamawan atau para pendeta dari religi tertentu, itulah mitologi yang dianggap sakral berkenaan dengan dewa-dewa mereka. Dalam hal mitologi sosial-kemasyarakatan bukanlah sesuatu yang berkenaan dengan kemasalaluan saja, melainkan dalam kehidupan modern pun mitos-mitos tersebut akan tercipta (Barthes 2013).

Menurut Roland Barthes mitos tidak diartikan secara tradisional saja dengan menghubungkannya kepada masa lalu, melainkan terus tercipta dalam kehidupan modern. Bahasa adalah mitos, seni pertunjukan adalah mitos, makanan adalah mitos, arena olah raga adalah mitos, ketika ”sesuatu” itu telah membuat orang banyak merasa terlena, hanyut dalam perasaan yang sama dengan satu identitas, dan mampu “menyihir” mereka hingga tidak peduli dengan lingkungan, waktu itulah mitos baru tercipta (Barthes 2013: ix, x, xi). Dengan demikian mitos dan kajian mitologi dewasa ini secara filosofis dapat dipandang dari dua sisi, yaitu (a) mitologi secara umum dikenal sebagai kajian tentang dewa-dewa, asal-usul nenek moyang di masa lalu, dan (b) dalam konteks pemaknaan kehidupan modern, mitologi dapat dijumpai di berbagai aspek kehidupan, manakala masyarakat memerlukannya.

Telah dikemukakan bahwa di antara sejumlah lukisan karya Basoeki Abdullah ada yang bertemakan kisah mitos, artinya karya lukisan itu menggambarkan adegan yang diambil dari narasi mitos, khususnya mitos Jawa dan Bali. Segera dapat dipahami bahwa Basoeki Abdullah mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang Jawa dan paham akan budaya Bali, ia mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang Indonesia. Sapuan kuat dari kuas pada kanvas dengan warna-warna mendalam dan terang pada dua lukisan Pergiwa-Pergiwati dan juga Gatutkaca dan Antasena Bertarung, menunjukan bahwa pelukis yakin dengan adegan mitos yang dipahaminya (Munandar 2009: 38—44).  Begitupun lukisan  Kanjeng Ratu Kidul, Barong, Topeng sebagai Sandiwara Kehidupan, dan lainnya yang bertema sama sebenarnya menggambarkan budaya yang dipahami oleh sang pelukis.

Dalam perspektif semiotika Ferdinand de Saussure banyak tanda yang diproduksi manusia, tanda  terdiri dari bentuk dan isi, bentuk disebut signifiant dan isi dinamakan signifie. Kata dan benda sebenarnya  bagian dari tanda yang disebut penanda (signifiant) dari sesuatu yang ditandainya disebut petanda (signifie) (Hoed 1994: 14).  Dengan demikian benda-benda, termasuk lukisan karya Basoeki Abdullah adalah penanda, adalah suatu bentuk yang mengacu kepada suatu petanda atau yang menjadi isi. Dapat kiranya dijelaskan bahwa lukisan “Pergiwa-Pergiwati” sebenarnya adalah suatu penanda dari kisah mitos yang dijadikan acuannya sebagai petanda, yaitu cerita Wayang Jawa yang dikenal dalam seni pedalangan di Jawa hingga sekarang.  Dewi Pergiwa-Pergiwati anak-anak Arjuna, dalam lukisan digambarkan tengah berdiri di areal perbukitan, berpakaian merah dan biru, sementara di angkasa melayang Gatutkaca yang digambarkan dengan setengah badan. Adegan itu merupakan “adegan pemandu” saja dari rangkaian cerita Wayang Jawa yang luas. Maksud “adegan pemandu” adalah bahwa Basoeki Abdullah hanya melukiskan sepotong kecil adegan kisah “Pergiwa-Pergiwati”, namun dengan 1 adegan saja seorang pengamat dapat memahaminya sebagai suatu kisah secara keseluruhan.

Bagan I: Lukisan Pergiwa-Pergiwati sebagai Penanda

Dalam pada itu cerita Wayang Jawa Pergiwa-Pergiwati tergolong narasi mitos karena melibatkan figur-figur manusia (misal: Gatotkaca) dan dewa (misal: Kresna), serta setting waktu (kronologi) yang tidak dapat diperhitungkan, peristiwa itu dianggap terjadi di masa silam yang jauh dari sekarang.  Pengamatan terhadap lukisan “Pergiwa-Pergiwati” sebenarnya diperoleh pemahaman sebagai berikut:

  1. Basoeki Abdullah paham budaya Jawa, mengerti akan cerita Wayang Jawa
  2. Lukisan itu hanya menggambarkan “adegan pandu” yang sebenarnya mengacu kepada:
  3. Kisah Pergiwa-Pergiwati dalam Wayang Jawa yang tergolong jenis kisah mitos. Kisah wayang Pergiwa-Pergiwati sebenarnya suatu kisah carangan (gubahan baru) yang menginduk kepada kisah Mahabharata.

 Begitupun lukisan lain, misalnya “Perkelahian antara Rahwana dan Jatayu” merupakan penanda yang sebenarnya mengacu kepada petandanya, yaitu kisah Ramayana. Setara dengan Mahabharata, Ramayana pun tergolong kisah mitos. Dalam uraiannya dikisahkan bahwa Dewa Wisnu menjelma menjadi Rama yang mempunyai istri Sinta (Dewi Laksmi). Rahwana raja raksasa dari Alengka menculik Sinta dan seterusnya kisahpun terbentuk secara epik. Ramayana menghadirkan juga tokoh-tokoh hewan, yaitu kera, burung, dan hewan laut  yang dapat bercakap-cakap dan bertindak seperti manusia. Tentu saja lukisan “Perkelahian antara Rahwana dan Jatayu” itu merupakan penanda atau “bentuk” yang mengacu kepada petandanya yang merupakan “isi” dari lukisan. Petanda itu adalah Kisah Ramayana yang dikenal dalam kebudayaan Jawa, walaupun diakui berasal dari budaya India.

 Menurut Barthes penanda dapat menjadi mitos pula, menjadi mitos baru artinya menjadi petanda baru yang memiliki penandanya pula (Barthes 2013: 1620). Dengan demikian Lukisan “Pergiwa-Pergiwati” telah menjadi mitos baru yang menjadi petanda dan mempunyai penanda baru pula.  Dalam bagan dapat dilihat sebagai berikut:

Bagan II: Lukisan Pergiwa-Pergiwati sebagai Mitos

Dapat dijelaskan bahwa nyaris semua lukisan Basoeki Abdullah dengan petanda mitos dan petanda tema lainnya yang terkenal telah menjelma menjadi mitos baru. Bahkan hampir semua lukisan Basoeki Abdullah di kalangan pencinta lukisan telah menjadi mitos baru, telah menjadi barang buruan yang sangat berharga, dengan harga milyaran, sangat diidolakan, dan akhirnya lukisan itu hanya disimpan di ruang-ruang keluarga yang terbatas, seakan menjelma menjadi ikon sakral. Dapat dipahami pula bahwa mengapa lukisan ”Kanjeng Ratu Kidul” tergolong mitos yang banyak dikenal masyarakat luas, banyak dipalsukan, karena masyarakat banyak yang mengaguminya, karena lukisan itu telah menjadi mitos nyata, yang mengacu kepada mitos pertamanya berupa legenda  penguasa laut selatan yang cantik namun juga disegani.

Mitos tetap berfungsi dalam setiap zaman, karena itu mitos diciptakan dalam masyarakatnya. Di masa silam mitos-mitos kuno dalam masyarakat tradisi  diciptakan dan dipercaya oleh pendukungnya karena merupakan: (1) upaya ontologis untuk menjelaskan gejala alam dan geografis yang ganjil dan menarik, menjelaskan asal-usul identitas mereka, dan menjelaskan segala sesuatu yang sebelumnya menakutkan dan tidak dipahami menjadi lebih dipahami oleh manusia, (2) mitos merupakan bentuk apresiasi dan pemujaan masyarakat kepada kekuatan supernatural yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka, dan (3) mitos yang telah tercipta dapat menjadi sumber acuan dalam aktivitas budaya atau keseharian masyarakat, dalam hal perburuan, kegiatan pertanian, kegiatan nelayan, kesehatan, dan sebagainya.

Jadi mitos adalah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang, mitos berisikan lambang-lambang kehidupan masyarakat, kebaikan dan kejahatan, dosa dan penyuciannya, hidup dan kematian, perkawinan, kesuburan, dan firdaus serta akhirat (van Peursen 1985: 37) Ketiga butir tersebut dapat dipelajari dan diperdalam lebih lanjut dalam kajian mitologi. untuk menjelaskan produksi budaya yang telah dihasilkan dalam kehidupan manusia.

Di masa kini mitos-nitos baru tetap tercipta, mitos mempunyai fungsinya tersendiri dan diaplikasikan secara jelas, mitos telah menjadi (1) mitos untuk meyakinkan orang, melahirkan impresi langsung kepada orang yang mengenalnya,  (2) mitos adalah sarana penyampaian pesan-pesan secara faktual, bukan lagi sistem semiologis,  (3) mitos adalah bentuk legitimasi untuk memperkuat pandangan positif masyarakat kepada pencipta mitos tersebut (Barthes 2013: 184–190). Dalam kedua ranah fungsi mitos itulah Basoeki Abdullah berkarya, ia memahami mitos dan legenda etnik Jawa dan Bali, menjadikan acuan dalam berkarya sebagai  “isi” karyanya dan mengekspresikannya dalam lukisannya sebagai bentuk. Bukan maksud Basoeki Abdullah untuk menjadikan  lukisannya menjadi mitos masa kini, dan akhirnya dipelajari banyak orang (mitologi), namun masyarakat masa sekarang telah menjadikan lukisan-lukisan Basoeki Abdullah sebagai bentuk Penanda dari mitos baru tentang kehidupan kekinian.

Dalam kondisi sekarang tema mitos yang pernah dijadikan acuan lukisan-lukisan Basoeki Abdullah tetap hadir di tengah masyarakat, namun  dalam bentuknya yang baru. Banyak penanda dalam kebudayaan Indonesia modern sebenarnya adalah mitos bentuk baru dengan fungsinya yang baru menurut Roland Barthes. Iklan-iklan makanan, produk kendaraan, produk kesehatan dan kecantikan, dan lain-lain adalah penanda dari mitos untuk untuk meyakinkan konsumen dan menyampaikan fakta faktual sehingga dibeli orang. Dalam kancah politik Indonesia penanda banyak diproduksi dengan petandanya yang berupa mitos-mitos modern. Lambang-lambang  partai, poster dan baliho calon anggota legislatif, kampanye pemilihan presiden dan lain-lain adalah penanda-penanda baru, adalah “bentuk” terlihat yang mengacu kepada “isi” yang dapat ditafsirkan sendiri oleh anggota masyarakat yang mendukung dan mitos-mitos tersebut.

Menurut  C.A.van Peursen (1985) terdapat tiga tahap perkembangan kebudayaan, yaitu tahap (a) Mitis, (b) Ontologis, dan (c) Fungsionil. Dua peran penting dalam ketiga tahap itu adalah Manusia (Subjek[S]) dan dunia sekitaran (Objek[O]). Dalam tahap Mitis pemikiran S diliputi dan dalam kungkungan O, artinya S meresapi  O, semua gerak kehidupan S tergantung pada O. Tahap Ontologis menjelaskan bahwa pemikiran manusia mengalami pembebasan dari dunia sekitar, manusia mampu memahami dunia sekitarnya, jadi tidak lagi menghadapi dunia dengan “ketakutan”. S dan O saling berdiri sendiri-sendiri dan terdapat jarak di antaranya. Adapun pemikiran manusia dalam tahap Fungsionil  dijelaskan bahwa S dan O saling mengadakan hubungan relasi, kebertautan antara satu dengan dengan lain. S terbuka terhadap O dan sebaliknya (van Peursen 1985: 34—91). Demikianlah apabila masyarakat masa kini (S) masih ada yang terbelenggu dengan berbagai mitos yang ditawarkan oleh dunianya (O), sebenarnya mereka masih hidup dalam tahap kebudayaan Mitis, masih dalam tahap awal pengembangan pemikirannya. Manusia Indonesia sebaiknya harus berada dalam tahap kebudayaan Fungsionil, S harus bebas dan memahami secara relasional mengapa ia mengadakan hubungan dengan O dan dunia sekitarnya.

Beberapa kesimpulan yang dapat dirumuskan dalam risalah ringkas ini antara lain sebagai berikut:

  • Lukisan BA dengan tema dongeng, legenda, mitos sarat dengan aspek Sejarah Kebudayaan Indonesia (Jawa dan Bali).
  • Adalah bentuk representasi dari pencerapan lingkungan budaya yang telah dilakukan oleh Basoeki Abdullah.
  • Lukisan merupakan “adegan kunci” yang dapat menjelaskan narasi budaya yang lebih luas di baliknya.
  • Lukisan tersebut adalan “bentuk”, adalah penanda dari suatu “isi” yang menjadi petandanya. Petanda itu adalah dongeng, legenda, atau mitos dalam kebudayaan Jawa dan Bali.
  • Lukisan Basoeki Abdullah dengan tema tersebut dapat menjadi mitos baru, buktinya diapresiasi dan dihargai secara luar biasa oleh masyarakat pengagumnya.
  • Bersama lukisan yang telah menjadi mitos, diproduksi pula berbagi penanda yang menjadi mitos-mitos baru dalam kebudayaan Indonesia masa kini.
  • Agar masyarakat Indonesia tidak hanyut dan dikendalikan alam mitis akibat berbagai mitos baru yang diproduksi kebudayaan Indonesia masa kini, mereka selayaknya berada dalam pemikiran fungsionil sehingga mampu memahami mitos baru yang senantiasa berkelindan dalam kehidupan sehari-hari.