You are currently viewing Menguak Tirai Panggung Basoeki Abdullah
Lukisan "selfie" Basoeki Abduaal

Menguak Tirai Panggung Basoeki Abdullah

Basoeki Abdullah bukanlah pelukis yang dicitrakan komersil saja, jauh lebih dari pada itu, Ia merupakan sosok yang memiliki sikap akan sebuah seni dan memegangnya teguh.

Basoeki Abdullah merupakan sosok pelukis yang hingga kini masih menarik untuk dibahas. Ia adalah maestro lukis Indonesia yang dikagumi dan sekaligus juga dibenci oleh masyarakat, khususnya dalam dunia seni lukis. Sepanjang hidupnya, Basoeki Abdullah kerap dicitrakan negatif oleh sebagian masyarakat sebagai pelukis komersil.

Meskipun memang betul, Basoeki Abdullah merupakan pelukis yang kerap menerima pesanan lukisan, terutama dari kalangan menengah keatas, Ia tidak menganggap karyanya merupakan sebuah benda “jualan” semata. Basoeki Abdullah tetap menganggap karya lukisnya –yang dipesan oleh orang-orang- merupakan benda yang memiliki nilai seni hingga kapanpun, walaupun karya tersebut merupakan sebuah pesanan.

Sikap Basoeki Abdullah yang menganggap karyanya yang dibuat atas pesanan orang lain merupakan sebuah benda seni yang harus tetap dijaga nilai dan orisinalitasnya, tetap Ia pegang teguh kepada orang-orang yang memesan karya lukisnya. Ketegasan sikap Basoeki Abdullah pun tetap ditunjukannya, bahkan kepada seorang kepala negara sekalipun. Basoeki Abdullah pernah melayangkan protes saat lukisannya yang dipesan oleh Presiden kedua Indonesia, Soeharto, mendapat goresan tambahan berupa banyak tanda tangan keluarga Sang Presiden.

Pada bulan November 1987 Presiden Soeharto dan Ibu Tien memesan lukisan sekelompok burung merpati putih kepada Basoeki Abdullah. Lukisan ini dimaksudkan sebagai tanda ulang tahun perkawinan Pak Harto dan Ibu Tien yang ke 40, pada 26 Desember 1987. Basoeki menyelesaikan dengan baik lukisan besar tersebut, untuk kemudian diletakkan sebagai elemen dekorasi utama rumah keluarga Pak Harto di jalan Cendana.

Mungkin lantaran terlampau gembira, Pak Harto dan Ibu Tien menyuruh anak, menantu dan para cucu untuk mengimbuhkan tandatangan dengan spidol emas di tiap puluhan merpati itu. Melihat kenyataan tersebut Basoeki gusar setengah mati. Ia menyebut keluarga Cendana vandalistik. Basoeki pun protes. Menurut Basoeki, Pak Harto menganggap bahwa setiap benda yang dibeli adalah seratus persen hak milik. Pak Harto melupakan bahwa dalam karya seni ada undang-undang hak cipta, dan pemilik lukisan sesungguhnya hanyalah mengantungi “hak guna pakai,” meski tanpa batas waktu.

Basoeki beberapa kali menelpon Ibu Tien untuk menyampaikan protes, tapi tak pernah tersambung. Namun diam-diam Pak Harto memahami kemarahan sang pelukis besar ini. Dan “Smilling General” ini lantas menunggu momentum untuk membayar “hutang”nya.

“Hutang” tersebut betul-betul terlunasi ketika Basoeki Abdullah wafat pada 5 November 1993. Di sini Pak Harto, lewat upaya Titiek Hediyati, menyediakan pesawat Pelita Air Service PK-PJN “Lengguru” untuk membawa jenasah Basoeki dari Jakarta ke Yogyakarta, sebelum dimakamkan di desa Mlati. Bahkan Titiek, sebagai wakil keluarga Pak Harto, ikut dalam penerbangan pada 7 November ini.

Di dalam pesawat juga nampak isteri terakhir Basoeki, Nataya Nareerat dan anaknya, Cicilia Sidhawati. Saraswati, putri sulung Basoeki dengan mantan isteri kedua, Josephine, serta duta besar Turki beserta isterinya. Juga mantan isteri yang pertama, Maya Michel Thacker, yang dikenal sebagai penyanyi seriosa.

Layak diingat, ketika Basoeki Abdullah merayakan ulang tahunnya yang ke 70, Maya jauh-jauh datang dari Belanda dan menyanyikan lagu “Serenade” karya Franz Schubert di tengah acara. Perayaan ulang tahun itu diselenggarakan oleh Nataya Nareerat.

Sekelumit kisah diatas dapat memberikan kita gambaran betapa citra sebagai pelukis komersil yang disematkan ke diri Basoeki Abdullah, tidak sepenuhnya benar. Basoeki Abdullah dengan tegas tetap menganggap karya-karyanya yang dibuat atas pesanan orang sebagai benda estetis bernilai seni yang tinggi, betapapun benda tersebut telah menjadi milik pemesannya. Setidaknya meskipun karya lukisnya telah dibeli, sikap seorang maestro Basoeki Abdullah tidaklah dapat dibeli.

*Diolah dari tulisan karya Agus Dermawan T.