You are currently viewing Mencari Standar Sebuah Museum Melalui Seminar Bersama
Para pembicara dalam acara Seminar Penguatan Kontruksi Pada Bangunan Cagar Budaya Sebagai Museum.

Mencari Standar Sebuah Museum Melalui Seminar Bersama

Kondisi beberapa museum kini mengkhawatirkan. Banyak museum yang tidak memenuhi standar. Lantas apa yang diperlukan agar Museum Basoeki Abdullah tetap dapat bertahan?

Museum Basoeki Abdullah menyelenggarakan seminar pertama pada tahun 2018, yang bertemakan “Seminar Penguatan Konstruksi Pada Bangunan Cagar Budaya Sebagai Museum.” Penyelenggaraan seminar dilaksanakan pada hari Kamis, 12 April 2018 pukul 08.30 – 13.00 WIB di Museum Basoeki Abdullah.

Pada pelaksanaannya, seminar dihadiri oleh Dr. Harry Widianto (Direktur PCBM) sebagai pembicara kunci, dan juga tiga narasumber lainnya yaitu Ibu Yuke Ardhiati (Akademisi), Ibu Wiendu Nuryanti (Budayawan), Bapak Arief Djoko Budiono (Pemerhati Cagar Budaya dan Museum), dan Bapak Kartum Setiawan selaku Moderator. Seminar dihadiri oleh 130 peserta yang terdiri dari perwakilan-perwakilan museum di Jakarta, akademisi, media, budayawan, hingga masyarakat peminat museum dan cagar budaya di Jakarta.

Seminar diselenggarakan atas urgensi Museum Basoeki Abdullah untuk melakukan revitalisasi gedung, dimana bangunannya awalnya berupa rumah dan dialihfungsikan menjadi fasilitas umum (Museum). Selain itu tentu juga adanya perubahan storyline pengunjung yang pasti akan melewati lantai 2 gedung I (bangunan awal), dimana kondisinya memerlukan kajian mengenai struktur bangunan demi keamanan pengunjung.

Bapak Harry Widianto mengajak agar seminar ini dapat memberikan solusi atas permasalahan yang terjadi di Museum, khususnya di bangunan Cagar Budaya. “Bangunan Cagar Budaya harus diteliti lebih jauh apakah memenuhi syarat untuk menjadi sebuah museum. Terutama dari keamanan manusia dan aset-asetnya.”

Pembicara pertama, budayawan dan juga mantan Wakil Menteri Bidang Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Wiendu Nuryanti mengutarakan jika bangunan ini (Museum Basoeki Abdullah) perlu diaudit, terlebih mengingat usia bangunannya. Selain itu menurut Wiendu tentu perlu dipikirkan alur pengunjung (pembatasannya) untuk menjamin keselamatan pengunjung. Setelahnya terkait pengembangan ujar Wiendu juga mulai dipertimbangkan untuk membuat merchandise (mana yang jadi ikonik) sebagai sebuah identitas dan sekaligus promosi gratis.

“Perlu diketahui jika bangunan cagar budaya memungkinkan untuk direnovasi guna difungsikan sebagai museum, namun tentu tanpa mengubah bentuk bangunan aslinya,” pungkas Wiendu.

Yuke Ardhiati, Dosen Arsitektur, sekaligus peminat benda Cagar Budaya, selaku pembicara selanjutnya mengatakan bahwa apabila sebuah bangunan ingin diajukan sebagai bangunan cagar budaya, akan sangat spesifik. “Tentu perlu menyiapkan data-data terkait pengajuan benda cagar budaya, mulai dari foto-foto hingga nilai historisnya. Apabila masih meragukan bisa menyelenggarakan kajian ataupun forum diskusi terpumpun (focus group discussion/FGD), untuk menentukan apakah bangunan tersebut sebuah bangunan cagar budaya.

Sedangkan pembicara terakhir, Arief Djoko, menyebutkan jika saat ini bangunan lama maupun baru di Museum Basoeki Abdullah cukup bersentuhan dan terlihat ada sebuah keharmonisasian di dalamnya. Pada paparannya Arief lebih banyak mengedepankan konsep dan desain akan pemanfaatan sebuah bangunan cagar budaya maupun bangunan tua, untuk dimanfaatkan sebagai sebuah ruang publik (museum), dengan mengedepankan konsep museum yang representative, namun tanpa menghilangkan nilai-nilai di balik bangunan tersebut.

“Melalui seminar ini saya juga ingin mengajak para arsitek muda untuk bersama-sama mendesain ulang museum-museum di Jakarta, agar lebih memenuhi standar museum,” tutup Arief Djoko.