Ketika Seni Rupa dan Sejarah Berpadu

0
836

“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”
-Bung Karno-

Sejarah menjadi aspek penting dalam kehidupan manusia, tanpa sejarah tidak ada masa depan. Sadar akan hal itu Direktorat Sejarah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI hadir melalui berbagai kegiatan yang dapat menanamkan nilai-nilai sejarah sebagai penguatan rasa kebangsaan dan nasionalisme kepada masyarakat. Nilai-nilai sejarah tersebut dituangkan kedalam pelbagai media seperti film, komik, dan aplikasi digital. Tak hanya itu, ada pula pelbagai kegiatan lain seperti ekspedisi dan kunjungan.

Berbeda dari media maupun pelbagai kegiatan seperti yang dijabarkan diatas, kali ini belajar sejarah juga bisa dilakukan melalui benda seni rupa. Bersama dengan Galeri Nasional Indonesia, Direktorat Sejarah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan Pameran Sejarah bertajuk “Visualisasi Ekspresi Pahlawan dan Tokoh Perempuan”. Pameran yang diresmikan oleh Ibu Wakil Presiden RI Mufidah Kalla ini menjadi unik ketika para perupa dari Komunitas 22 Ibu dan Perempuan Pendidik Seni Indonesia menggunakan teknik gutha tamarin diatas media kain sutera untuk membuat karya-karya yang dipamerakan.

Menurut paparan Kurator Citra Smara Dewi, teknik gutha tamarin merupakan pengembangan dari teknik batik dengan bahan dasar biji buah asam yang dihaluskan. Setelah dihaluskan biji buah asam tersebut dicampur air dan sedikit lemak nabati atau margarin sehingga menjadi sejenis pasta. Fungsi dari pasta ini adalah pengganti cairan lilin dalam membantik yang biasa dilakukan secara tradisional. Namun yang menjadi pembeda teknik gutha tamarin dengan proses membantik lebih kepada media yang digunakan. Jika dalam membuat batik menggunakan canting, sedangkan teknik gutha tamarin menggunakan kuas.

“Teknik ini cukup sulit karena para seniman ditantang untuk menghadirkan karakter dari wajah tiap tokoh sehingga tingkat resiko kegagalan tinggi”, jelas Citra Smara Dewi. Sejalan dengan yang disampaikan kurator, Direktur Sejarah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Triana Wulandari juga berpendapat teknik ini sangat sulit terlebih karena bahan yang digunakan adalah sutera sehingga dapat membuat pewarna melumer ke bagian lain. Oleh sebab itu Triana Wulandari mengucapkan apresiasi kepada para perupa yang berpatisipasi berkat kesungguhan hati, komitmen, dan motivasi yang tinggi maka karya-karya visualisasi ekpresi dapat terselesaikan dengan baik.

Pameran ini menampilkan 36 karya sejarah visual dan melibatkan 34 perupa sekaligus pendidik mulai dari guru TK, SMP, SMU/SMK hingga dosen di Perguruan Tinggi dari berbagai wilayah yaitu DKI Jakarta, Bandung, Banten dan Tangerang. Bagi pengunjung yang ingin melihat karya tersebut, pameran ini masih dibuka hingga 21 Agustus 2017, pukul 10.00-18.00 WIB, di Gedung C Galeri Nasional Indonesia. Selain pameran ada pula program publik berupa lokarya teknik gutha tamarin yang diselenggarakan pada 8-9 Agustus 2017, pukul 08.00-16.00 WIB, di Gedung Serbaguna Galeri Nasional Indonesia. Seluruh kegiatan yang tersaji terbuka untuk umum dan bebas biaya.

*fii/GNI