Tor-tor

0
3804

TOR TOR
Di dalam masyarakat adat Mandailing tor-tor pada awalnya bukanlah suatu tarian, tetapi sebagai pelengkap gondang (uning-uningan) yang dilaksanakan berdasarkan kepada falsafah adat itu sendiri. Pada upacara-upacara adat di Mandailing dimana uning-uningan dibunyikan (margondang), selalu dilengkapi dengan acara manortor. Pada awalnya manortor hanya diadakan pada acara-acara adat margondang, namun dalam perkembangan selanjutnya manortor juga dilakukan pada acara-acara hiburan dengan cara memodifikasi tor-tor sedemikian rupa agar lebih menarik bagi penonton. Kemudian dalam perkembangannya mengarah menjadi tarian.
Tor-tor yang dilakukan dengan gerakan-gerakan tertentu mempunyai ciri khas, makna, sifat dan tujuan-tujuan tertentu. Tor-tor dengan gerakan-gerakan mengikuti irama gondang dilakukan oleh beberapa orang yang terdiri dari 2 (dua) sisi yaitu : yang manortor dan yang mangayapi (pangayapi). Yang manortor mengambil posisi di depan (dapat terdiri dari 2,3, dan 4 orang) serta pangayapi berdiri di belakangnya. Pangayapi harus sama atau lebih jumlahnya dari yang manortor ( tidak boleh kurang). Yang manortor adalah Mora dari pangayapi (Mora didepan dan Anakborunya di belakang). Anakboru harus sudah lebih dulu siap mangayapi dibelakang Moranya. Kemudian Mora harus disambut oleh Anakborunya pada saat menaiki gelanggang panortoran, sehingga tercipta tamper marsipagodangan yaitu Anakboru yang membesarkan Moranya akan mendapat sahala dari Moranya, sehingga diapun ikut mendapat kehormatan seperti Moranya. Pada saat mangayapi, telapak tangan Anakboru tetap berada di bawah bahu Moranya dengan posisi telapak tangan menghadap ke atas, hal ini menunjukkan bahwa Anakboru tersebut manjuljulkan serta mendoakan Moranya agar tetap mempunyai tuah dan berwibawa.
Sesuai dengan kedudukannya di dalam upacara adat margondang tersebut, Tor-tor dapat dibedakan sesuai dengan kelompok yang manortor yaitu :
• Tor-tor Suhut, Kahanggi Suhut, Mora dan Anakboru.
• Tor-tor Raja-raja
• Tor-tor Raja Panusunan
• Tor-tor Naposo Bulung
Adapun tata cara pelaksanaan tor-tor dilakukan sehari sebelum acara mata ni horja (acara pesta), gondang sudah mulai dibunyikan. Untuk membunyikan gondang ada persyaratannya yang disebut dengan panaek gondang. Ketika panaek gondang dilakukan saat itu dibunyikanlah gordang sambilan dan gondang tunggu-tunggu dua. Dengan dibunyikannya gondang ini, maka gelanggan panortoran pun mulai dibuka. Gelanggan panortoran dimulai pada sore hari dan berakhir tengah malam sesuai dengan kondisi dan situasi. Pada sore hari gelanggang panortoran dibuka oleh Suhut (yang pertama manortor), disusul oleh Kahanggi Suhut dan Anakboru. Apabila yang mengadakan horja bukan Raja Panusunan atau Raja Pamusuk, maka gelanggang harus dibuka lebih dahulu oleh raja Panusunan atau Raja Pamusuk.
Pada malam harinya dilanjutkan dengan tor-tor naposo dan nauli bulung (muda-mudi) yang manortor anak gadis dan pangayapi anak muda. Yang manortor harus berlainan marga dengan pangayapi. Dalam tor-tor muda-mudi ini, yang dilakukan pertama kali adalah mengundang dan meminta izin kepada orang tuanya. Jika telah diizinkan maka seterusnya akan diatur penjemputan serta pengantarannya kembali setelah selesai manortor.
Pada pagi harinya (pada mata ni horja), gelanggang panortoran dibuka kembali untuk memberi kesempatan kepada raja-raja yang hadir untuk manortor. Yang manortor pada acara mata ni horja adalah :
• Suhut
• Raja-raja Mandailing
• Raja-raja Desa Na Walu
• Raja Panusunan
Setiap anggaran (pasangan) yang akan manortor tidak dapat diminta atau disuruh begitu saja, tapi harus dengan cara tertentu. Juka Raja Panusunan diminta untuk manortor, terlebih dahulu dipersembahkan sirih (disurdu burangir na ni tik tik ) diiringi dengan gondang tua dan dijeir (disenandungkan) untuk memperkenalkan dirinya. Setelah Raja Panusunan naik ke gelanggang, barulah diuloskan kepadanya sabe-sabe. Tor-tor Raja Panusunan disebut dengan Tor-tor sahala tua (tor-tor mangido sahala dohot tua ), sebagai ungkapan kasih sayangnya dan kemurahan hatinya hadir dalam acara itu.
Setiap orang yang manortor pada bahunya diselempangkan ulos adat. Jika Raja di uloskan ke bahu menutup kiri kanan bahu. Jika Suhut, sabe-sabe disandang di bahu kanan, maka Anakboru di kiri kemudian mora diuloskan di kiri-kanan bahu. Pada acara tor-tor adat ini juga dimodifikasi agar lebih bergembira. Untuk meminta seseorang manortor, dibunyikan gondang cepat (gondang alap-alap), sementara ada orang yang membawa sabe-sabe dan mempersembahkannya kepada orang yang diminta untuk manortor.
Pada saat boru na ni oli akan berangkat menuju rumah bayo pangoli, ia melakukan tor-tor dengan tujuan berpamitan. Tor-tor pamitan ini dilakukan sebagai tanda meminta izin dan doa restu serta meminta maaf kepada seluruh keluarga terlebih kepada kedua orang tuanya. Tor-tor ini merupakan “tanda perpisahan” boru na ni oli dengan kedua orang tuanya dan selanjutnya ia akan mengikuti bayo pangoli. Saat melakukan tor-tor pamitan ini terjadi keharuan yang dalam diantara mereka. Selanjutnya tor-tor terakhir yang dilakukan oleh pengantin adalah pada saat selesai di upa. Tor-tor ini dimaksudkan untuk memberitahukan kepada para undangan bahwa mereka telah resmi menjadi suami istri dan segala hal yang terjadi akan mereka hadapi bersama dan untuk mengambil tuah dari gelar yang baru ditabalkan kepada mereka.
Bagi orang yang manortor pertama-tama tor-tor harus menghadap kearah harajoan sebagai tanda penghormatan. Menurut Drs. H. Syahmerdan Lubis yang manortor harus mulai dari : “… kearah kanan dan kembali ke kiri dua kali bolak balik baru setelah itu tangan dikembang menurut kepandaian masing-masing dengan tidak bergerak ditempat. Selanjutnya mulai bergeser mengarah pembentukan lingkaran dimana saatnya bergeser kalau sedang onang-onang berhenti dan diganti dengan suling dan gendang. Kalau suling telah berakhir panortor berhenti bergeser dan mereka manortor menghadap kesamping kanan dan kiri serta kedepan selama onang-onang pula. Kemudian bergerak lagi setelah pindah ke suara suling dan seterusnya. Kalau berhenti ditempat, tinggal badan dan tangan saja yang boleh bergerak semuanya. Kalau onang-onang masih diteruskan kita dapat berputar sedapatnya diputar ke emapt arah sehingga semuanya dihormati secara bergiliran…”
Tari tortor pada dasarnya digunakan sebagai sarana penyampaian batin baik kepada roh-roh leluhur dan maupun kepada orang yang dihormati (tamu-tamu) dan disampaikan dalam bentuk tarian menunjukkan rasa hormat.
Pada masa sekarang konsep Margondang dapat dibagi dalam tiga bagian besar, yaitu :
• Margondang pesta, suatu kegiatan yang menyertakan gondang dan merupakan suatu ungkapan kegembiraan dalam konteks hibuan atau seni pertunjukkan, misalnya : gondang pembangunan gereja, gondang naposo, gondang mangompoi jabu (memasuki rumah) dan sebagainya.
• Margondang adat, suatu kegiatan yang menyertakan gondang, merupakan aktualisasi dari sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu, misalnya : gondang mamampe marga (pemberian marga), gondang pangoli anak (perkawinan), gondang saur matua (kematian), kepada orang di luar suku Batak Toba, dan sebagainya.
• Margondang Religi, upacara ini pada saat sekarang hanya dilakukan oleh organisasi agamaniah yang masih berdasar kepada kepercayaan batak purba. Misalnya parmalim, parbaringin, parhudamdam Siraja Batak. Konsep adat dan religi pada setiap pelaksanaan upacara oleh kelompok ini masih mempunyai hubungan yang sangat erat karena titik tolak kepercayaan mereka adalah mula jadi na bolon dan segala kegiatan yang berhubungan dengan adat serta hukuman dalam kehidupan sehari-hari adalah berdasarkan tata aturan yang dititahkan oleh Raja Sisingamangaraja XII yang dianggap sebagai wakil mula jadi na bolon.