Gordang Sembilan

0
6716

Gordang Sembilan
Gordang Sambilan masa sebelum Islam dikenal mempunyai fungsi untuk upacara memanggil roh nenek moyang apabila diperlukan pertolongannya pada masyarakat Batak Mandailing, Sumatera Utara. Upacara tersebut dinamakan paturuan sibaso yang berarti memanggil roh untuk merasuki menyurupi medium (Sibaso). Tujuan pemanggilan ini adalah untuk minta pertolongan roh nenek moyang untuk mengatasi kesulitan yang sedang menimpa masyarakat. Misalnya penyakit yang sedang mewabah karena adanya suatu penularan penyakit yang menyerang suatu wilayah. Selain itu Gordang Sambilan juga digunakan untuk upacara meminta hujan (mangido udan) agar hujan turun sehingga dapat mengatasi kekeringan yang menganggu aktivitas pertanian. Juga bertujuan untuk menghentikan hujan yang telah berlangsung secara terus menerus yang sudah menimbulkan kerusakan .
Sesuai dengan namanya Gordang Sambilan terdiri dari sembilan buah gendang dengan ukuran yang relatif besar dan panjang. Adapun kesembilan gendang tersebut mempunyai ukuran yang berurutan dari yang besar ke ukuran yang paling kecil. Tabung resonator Gordang Sambilan terbuat dari kayu yang dilubangi dan salah satu ujung lobangnya (bagian kepalanya) ditutup dengan membran yang terbuat dari kulit lembu yang ditegangkan dengan rotan sebagai alat pengikatnya. Sebagai alat pemukul Gordang Sambilan digunakan dari kayu yang berbentuk agak tumpul Dalam Gordang Sambilan masing-masing gendang ensambelnya mempunyai nama sendiri.Namun untuk penamaan atau istilah penyebutannya tidak sama di semua tempat di seluruh Mandailing, karena masyarakat Mandailing yang hidup dengan tradisi adat yang demokratis punya kebebasan untuk berbeda.
Instrumen musik tradisional Gordang Sambilan dilengkapi dengan dua buah ogung (gong) yang besar. Nama gong yang paling besar adalah ogung boru boru (gong betina) dan yang lebih kecil dinamakan ogung jantan (gong jantan) , sedangkan satu gong yang lebih kecil dinamakan doal dan tiga gong lebih kecil lagi diberi nama salempong atau mong-mongan. Perlengkapan lain dalam Gordang Sambilan adalah alat tiup yang terbuat dari bambu yang dinamakan sarune atau saleot dan sepasang simbal kecil yang dinamakan tali sasayat. Adapun istilah yang digunakan pada masyarakat di Gunung tua – Muarasoro, pada nama gendang secara berurutan dari yang paling kecil sampai yang paling besar adalah sebagai berikut: eneng-eneng, udang-kudang, paniga dan jangat. Instrumen musik tradisional ini dilengkapi dengan dua buah ogung, satu doal, dan tiga salempong atau mongmongan.
Pada permainan ensambel gordang sambilan yang memimpin adalah pasangan gordang yang paling besar adalah jangat. Untuk pemain jangat ini diberi gelar dengan panjangati yaitu pargodang (pemusik) yang mampu menguasai pola ritmik setiap instrumen dalam ansambel gordang sambilan. Panjangati yang memiliki gelar master dalam permainan gendang ini mempunyai cita rasa ritme yang sangat tinggi. Nada-nada ritme yang diolahnya dari pola ritmik instrumen yang terdapat dalam ensambel gordang sambilan. Sekalipun jenis ritme ini diambil dari udang-kudang atau patolu , namun dengan memberi aksen ditempat yang berbeda akan menimbulkan efek ”ketegangan ” yang lain.
Gordang Sambilan ini dipergunakan untuk upacara perkawinan (Orja Godang Markaroan Boru ) dan untuk upacara kematian (Orja Mambulungi). Penggunaan Gordang Sambilan untuk kedua upacara tersebut apabila untuk kepentingan pribadi harus terlebih dahulu mendapat izin dari pemimpin tradisional yaitu Namora Natoras dan dari raja sebagai kepala pemerintahan. Proses permohonan izin ini melalui suatu musyawarah adat yang disebut markobar adat yang dihadiri oleh tokoh-tokoh Namora Natoras dan Raja beserta pihak yang akan menyelenggarakan upacara tersebut.
Selain harus mendapat izin dari Namora Natoras dan raja, penggunaan Gordang Sambilan dalam upacara perkawinan (Orja Godang Markaroan Boru ) dan untuk upacara kematian (Orja Mambulungi) juga harus disembelih paling sedikit satu ekor kerbau jantan dewasa yang sehat. Namun apabila persyaratan tersebut belum dapat dipenuhi maka Gordang Sambilan tidak boleh digunakan.
Untuk upacara kematian (Orja Mabulungi) yang dipergunakan hanya dua buah yang terbesar dari instrumen Gordang Sambilan yang dugunakan, yaitu yang dinamakan jangat. Akan tetapi khusus untuk upacara kematian istilah itu dinakan bombat. Penggunaan Gordang Sambilan dalam upacara adat disertai dengan peragaan benda-benda kebesaran adat, seperti bendera-bendera adat yang dinamakan Tonggolm payung kebesaran yang yang dinamakan Payung Raranagan. Adapau fungsi lain dari Gordang Sambilan adalah sebagai pengiring tari yang dinamakan Sarama. Penyarama (orang yang menarikan Tari Sarama) kadang-kadang mengalami kesurupan (trance) pada waktu menari karena sudah dimasuki roh nenek moyang.
Pada perkembangannya Gordang Sambilan ini masih digunakan oleh masyarakat Mandailing sebagai alat musik sakral. Meskipun demikian saat ini Gorndag sambilan juga dikenal sebagai alat musik kesenian tradisional Mandailing yang sudah mulai populer di Indonesia bahkan di dunia.