Tari Penguton, Warisan Budaya Tak Benda dari Sumatera Selatan 2017

0
3299

Domain : Seni Pertunjukan

Lokasi Persebaran : Kota Kayuagung dan Kabupaten Ogan Komering Ilir

Maestro : Yudhy Syarofie, Kecamatan Sako

Kondisi : Sedang Berkembang

 

Tari Penguton adalah Tari Sekapur Sirih masyarakat Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Tari Penguton ini telah ada sejak abad XVIII. Pada masa itu tarian ini hanya berupa gerakan bermakna dengan komposisi sederhana. Gerakan maupun pola lantai yang sifatnya sederhana sesuai kemampuan peradaban manusia pada masa itu. Musik pengiring Tari Penguton saat itu hanya berupa tetabuhan yang menggunakan instrumen benda alam seperti tempurung kelapa dan kentongan kayu yang sering dipakai untuk panggilan azan di masjid yang juga dipakai sebagai tanda pemberitahuan ada warga yang meninggal. Benda itu oleh orang Kayuagung disebut kelubkup.

Pada awal abad XIX tepatnya tahun 1920, keluarga Pangeran Bakri menyempurnakan Tari Penguton baik gerakan, pola lantai sampai kepada musik pengiringnya. Hal ini dikarenakan untuk kepentingan manyambut tamu dari negeri Belanda, seorang Gubernur Jenderal yang berkuasa saat itu. Pada masa itu daerah Kayuagung berstastus sebagai daerah Keresidenan. Kota Kayuagung sendiri masih berstatus sebagai Marga. Seperangkat gamelan peninggalan dari masa lalu yang ada dikediaman seorang Depati merupakan peninggalan dari rakyat Mojopahit akhirnya dipergunakan sebagai musik tetabuhan untuk mengiringi tarian dimaksud. Oleh keluarga Pangeran Bakri, irama lagu tarian tersebut diberi nama“Hayok” yang maksudnya bergerak melawan arus. Hal ini digambarkan dengan gerakan tarian tersebut yang terkesan lambat dan monoton.

Sejak itu Tari Penguton tersebut dipertahankan sebagai tarian milik daerah Kayuagung. Pada masa Indonesia mulai menerima kemerdekaannya, tarian ini dipergunakan untuk menyambut kedatangan pembesar negara. Untuk menyambut kehadiran Presiden Soekarno sebagai Pemerintah Negara RI yang pertama menjelang tahun 1950 dipakai tarian ini untuk penyambutannya. Pada tahun 1959, dituturkan bahwa tarian ini pernah dibawa ke Istana Negara sebagai persembahan budaya. Pada acara Jakarta Fair, tarian ini pernah difestivalkan bahkan mendapat penghargaan tertinggi dalam jenis tarian sakral. Pada tahun 1950, tarian ini diakui oleh Pemerintah Provinsi sebagai akar dari terciptanya sekapur sirih Provinsi yaitu lahirnya tari “Gending Sriwijaya”.