SISTEM GARIS KETURUNAN IBU DI MASYARAKAT MINANGKABAU

0
26318

Tambo Alam Minangkabau digunakan sebagai dasar dalam menjelasan mengenai asal-usul nenek moyang, pengelompokkan anggota masyarakat, asal-usul nagari, dan termasuk di dalamnya adalah tata laku anggota masyarakat empunya budayanya, dalam hal ini masyarakat Minangkabau. Pola tingkah laku seseorang dalam keluarga, kerabat, kerabat luas, dan masyarakat diatur dalam Tambo Alam Minangkabau melalui sistem matrilineal. Dari Tambo Alam Minangkabau inilah muncul adat sopan santun dalam berbicara yang disebut dengan kata-kata melereng – yang termasuk ke dalam tradisi dan ekspresi lisan. Kata-kata melereng disampaikan melalui kata-kata kiasan seperti mamang, bidal, pantun, pepatah, petitih, dan lain-lain. Kata melereng akan lebih mengena sasaran dari pada kata-kata yang disampaikan dengan kalimat biasa, karena bagi orang Minang, berkata-kata dengan kiasan sudah menjadi kebiasaa sehari-hari. Sejalan dengan itu, Datuak Sanggoeno Diradjo (2004:332-338) menjelaskan bahwa orang Minang diajarkan oleh adatnya supaya arif dan bijaksana dalam menafsirkan ke mana maksud perkataan seorang. Sikap arif dan bijaksana yang dikaitkan dengan sistem matrilineal ini ada dalam Tambo Alam Minangkabau, bunyinya sebagai berikut:
Arih dikilek kato aying Arif dengan kilat kata aying
Alun bakilek alah bakalam Belum berkilat sudah masuk ke dalam tubuh
Bulan lah ganok tigo paluah Bulan sudah tanggal tiga puluh
Takilek ikan dalam aiya Terkilat ikan dalam air
Ikan takilek jalo tibo Ikan terkilat jala tiba
Lah tantu jantan batinonyo Sudah tentu jantan betinanya

Sifat-sifat tenggang rasa merupakan bagian dari sifat yang terpuji dalam hidup bermasyarakat, tujuannya agar dalam setiap tindakan selalu menjaga perasaan orang lain, seperti yang dikatakan oleh adat Minangkabau:

Gadang jan malendo Besar jangan melenda
Panjang jan malindih Panjang jangan menindas
Cadiak jan manjua kawan Cerdik jangan menjual kawan
Nan tuo dihormati Yang tua dihormati
Nan ketek disayangi Yang kecil disayangi
Sama gadang baok bakawan Sama besar bawa berkawan

Penuturan adat di atas, lekat kaitannya dengan posisi Bunda Kanduang pada masyarakat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal. Mengacu kepada Datuak Sanggoeno Diradjo (2004:345-373), masyarakat Minangkabau memiliki beberapa pengertian mengenai Bunda Kanduang, di antaranya:

• Bunda Kanduang adalah seorang raja atau ratu dari kerajaan Minangkabau pada salah satu periode pemerintahan di masa lampau
• Bunda Kanduang adalah sebutan kepada kelompok perempuan yang berpakaian adat Minangkabau sebagai pendamping kelompok ninik mamak dalam acara-acara seremonial yang diadakan oleh pemerintah
• Bunda Kanduang adalah salah satu unit lembaga kerapatan adat di Minangkabau yang mungkin terdapat pada semua tingkat lembaga kerapatan adat itu, mulai dari tingkat nagari sampai tingkat alam Minangkabau.
• Bunda Kanduang adalah seorang (perempuan) pemimpin non-formal untuk seluruh perempuan beserta anak-cucu yang ada dalam kaumnya.

Kedudukan Bunda Kanduang dalam masyarakat dimaknai sebagai perempuan yang diberi kehormatan dan keutamaan menurut adat. Bunda Kanduang sebagai penerima ketentuan keturunan menurut garis ibu, penerima ketentuan rumah tempat tinggal diberikan kepada perempuan, penerima ketentuan bahwa harta dan sumber ekonomi diutamakan untuk perempuan, penerima ketentuan bahwa yang menyimpan hasil usaha perekonomian adalah juga perempuan, serta pemegang hak suara istimewa dalam bermusyawarah. Ketentuan ini dapat dicermati dalam petatah petitih yang berbunyi sebagai berikut :

Bunda Kanduang dalam kaum Bunda Kanduang dalam kaum
Lalimpeh rumah nan gadang Tiang utama (pemimpin) di rumah gadang
Amban puruak pagangan kunci Pemegang kunci simpanan khusus
Pusek jalo kumpulan tali Pusat jala kumpulan tali
Ka pai tampek batanyo Akan pergi tempat bertanya
Kok pulang tampek babarito Jika pulang tempat berita
Sumarak dalam nagari Tampak semarak dalam nagari
Hiasan dalam kampuang Menjadi hiasan dalam kampung
Nan gadang basa batuah Yang agung besar bertuah
Kok induik tampek baniat Ketika hidup tempat berniat
Kok mati tampek banazar Setelah mati tempat bernazar
Ka unduang-unduang ka Madinah Kain pelindung ke Madinah
Ka payuang panji ka sarugo Jadi payung panji untuk ke surga

Adat Minang dalam Tambo Alam Minangkabau diterapkan melalui Adat nan sabana adat, maksudnya sesuatu yang seharusnya (dikerjakan), menurut alur, patut, dan seharusnya menurut tempat dan masa, agama dan perikemanusiaan, serta menjadi aturan pokok dan falsafah yang mendasari kehidupan suku Minang yang berlaku turun-temurun. Termasuk dalam adat ini adalah silsilah keturunan menurut garis ibu ‘matrilineal’, pernikahan dengan pihak luar persukuan, dan suami tinggal dalam lingkungan kerabat istri (eksogami – matrilocal), serta harta pusaka tinggi yang secara turun-temurun menurut garis keturunan ibu dan menjadi milik bersama sajurai yang tidak boleh diperjual belikan (Datuak Sanggoeno Diradjo, 2004:375).
Sistem matrilineal merupakan sebuah sistem yang dipegang teguh oleh masyarakat Minangkabau sampai sekarang ini. Di Minangkabau terkenal dengan garis keturunan matrilineal. Biasanya wanita-wanitanya yang memiliki rumah dan sawah. Rumahtangga-rumahtangga dikelompokkan menjadi clan yang didasarkan pada garis keturunan wanita. Setiap anak wanita mendapat warisan dari ibunya dengan memperoleh bagian yang sama besarnya dari sawah milik ibunya. Tanah tidak dapat dijual kecuali dengan syarat yang ketat dan dalam situasi khusus dan hanya dengan persetujuan dari kepala suku.
Ketegasan adat Minang dengan konsepsi matrilineal terlihat jelas melalui kedudukan dan hak yang jelas terhadap harta, yang terbagi menjadi pusako, harta pusako,dan pusako rendah. Pusako adalah milik kaum secara turun-temurun menurut sistem matrilineal, yang berbentuk material, seperti sawah, ladang rumah gadang, dan lain-lainnya. Pusako tinggi adalah harta pusaka kaum yang diwariskan secara turun-temurun berdasarkan garis ibu. Pusaka tinggi lainnya boleh digadaikan bila dalam keadaan sangat mendesak, yaitu untuk tiga hal saja, pertama, gadih gadang indak balaki; kedua, maik tabujua tanggah rumah; ketiga, rumah gadang katirisan. Sementara pusako rendah adalah harta pusaka yang didapat selama perkawinan antara suami dan istri. Pusaka ini disebut juga dengan harta bawaan, artinya modal dasarnya berasal dari masing-masing kaum. Pusako rendah diwariskan kepada anak, istri dan saudara laki-laki berdasarkan hukum faraidh atau hukum Islam (Datuak Sanggoeno Diradjo, 2004:379) .