“Seni itu tidak boleh mandeg dan harus bergulir seirama perkembangan zaman, seni ibarat bola salju, kian menggelinding akan kian membesar.”

0
1791

DSC_2800
Ungkapan tersebut merupakan spirit yang diyakini KPH. Notoprojo atau Tjakrawasita, nama yang dipakai dalam berkarya. Pak Tjokro, demikian KPH. Notoprojo sering dipanggil, adalah Penerima Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma Tahun 2015. Beliau adalah Empu Karawitan dan merupakan seniman visioner. Atas kehendak sejarahlah ia terlahir sebagai komponis inovatif sehingga mampu menembus batas-batas tradisi karawitan Jawa yang penuh dengan kaidah dan aturan ketat.

Gamelan Jawa bagi Pak Tjokro bukan semata alunan musik klasik, namun berfungsi sebagai media ekspresi dalam menyikapi perkembangan sosial budaya pada zamannya. Hal itu dibuktikan melalui karya-karyanya yang memiliki kekuatan lintas budaya dan lintas karawitan tanpa meninggalkan hakikat budaya Jawa. Pak Tjokro juga dikenal sebagai narasumber penting, sekaligus sebagai pendidik yang sangat dihormati anak didiknya, baik di dalam maupun di luar negeri.

Semangat berkesenian yang tinggi menggugah Pak Tjokro melakukan inovasi genre baru, yaitumusik sendratari pada tahun 1960 bersama koreografer Bagong Kussudiardjo. Lebih dari 250 komposisi musik telah diciptakannya dengan komposisi gamelan ringan (lagu dolanan) dan karya eksperimental “kreasi baru”. Dia menghidupkan kembali beberapa bentuk seni yang hampir punah dari sejarah Yogyakarta, termasuk wayang gedhog. Banyak karya komposisi musiknya dan dua-volume notasi musik vokalnya diterbitkan oleh American Gamelan Institute (“Institut Gamelan Amerika”).

Pak Tjokro lahir pada 17 Maret 1909 di Gunungketur, Yogyakarta. Saat itu ia diberi nama Wasi Jolodoro, kemudian namanya berubah sesuai dengan gelar kehormatan yang diterimanya. Misalnya pada tahun 1925, ketika menjadi calon abdi dalem Langen Praja di Pura Pakualaman ia mendapat gelar nama Tjokrowasito. Gelar lainnya: Raden Bekel Tjokrowasito, K.R.T. Wasitodipuro, K.R.T. Wasitodiningrat. Pada tahun 2001 secara resmi ia diakui sebagai anak kandung Paku Alam VII, dan saudara seayah dari Paku Alam VIII, sehingga ia mendapat gelar mirip dengan Pangeran, yaitu Kanjeng Pangeran Haryo Notoprojo.

Pak Tjokro dibesarkan di Pura Paku Alaman, dan mulai belajar gamelan pada usia lima tahun dari ayahnya, RW Padmowinangum, yang kala itu menjadi pemimpin gamelan istana. Selain menempuh pendidikan formal di sekolah menengah Taman Siswa, ia juga banyak menimba ilmu karawitan dari kalangan istana.

Sejak muda ia dipercaya memimpin gamelan Pura Paku Alaman serta gamelan untuk Radio Republik Indonesia Yogyakarta.Pada tahun 1964, ia dipercaya Presiden Soekarno memimpin orkes gamelan di stan Perwakilan Indonesia dalam New York World’s Fair. Setelah itu ia aktif menjadi duta budaya dengan tugas memperkenalkan seni tradisi ke berbagai negara, antara lain ke Filipina, Czekoslovakia, Polandia, Rusia, Mesir, Lebanon, dan Jepang.

Sebagai pendidik Pak Tjokro memiliki kharismayang kuat di mata para anak didiknya, karena selalu sabar, banyak mendengar, dan mendukung semua anak didiknya untuk maju dan terus berkembang. Perannya dalam dunia pendidikan sangat besar, antara lain pada Konservatori Karawitan Indonesia Surakarta, ASKI Surakarta, Konservatori Tari dan Asti Yogyakarta. Pada tahun 1971 setelah selesai menjabat di RRI, ia menerima tawaran mengajar di beberapa universitas luar negeri, antara lain California Institute of The Arts, San Diego State University, dan Simon Fraser University Canada. Jumlah mahasiswa di luar negeri mencapai 4.000 mahasiswa dan sebagiannya telah mencapai gelar Ph.D dalam bidang seni dan musik.

Peran yang paling menonjol Pak Tjokro dan sangat besar jasanya adalah upayanya memperkenalkan seni karawitan di Amerika Serikat. Ia menyusun kurikulum gamelan pada beberapa Perguruan Tinggi Seni di negara tersebut. Melalui upayanya itu seni karawitan telah menjelma sebagai kekuatan baru pada percaturan musik dunia dan menjadikan seni tradisional itu mengglobal. Atas jasa-jasanya itu, pada tahun 1980-an beliau dikukuhkan sebagai Profesor bidang Musik di California Institute of The Arts.

Komposisi musik yang telah diciptakan Pak Tjokro, mulai dari karya pertamanya yang legendaris dan diciptakan pada tahun 1952, berjudul “Jaya Manggala Gita,” hingga yang merakyat seperti “Kuwi Opo Kuwi”, “Gugur Gunung,” dan “Modernisasi Desa”. Karya gendhing-nyadi antaranya”Hanrang Yuda” (pelog pathet barang), “Gumarang” (pelog pathet barang), “Jahnawi” (pelog pathet nem), “Janger” (pelog pathet barang), “Kemanak Mangkungkung” (slendro pathet sanga), “Mbangun Kuta” (pelog pathet nem), “Pangeran Diponegoro” (pelog pathet nem), dan “Windu Kencana” (pelog pathet lima).

Kekuatan karya ciptaan Pak Tjokro antara lain pada pesan moral yang terselip, baik melalui syair maupun irama. Keberpihakannya terhadap masyarakat kelas bawah membuat ia menghayati setiap gugahan dan berkontribusi pada gubahan yang diciptakannya. Salah satu penghargaan tertinggi yang dipreolehnya adalah ketika tahun 1992, karya gendhing “Purnomosidi” dipilih oleh NASA (Badan Antariksa Amerika Serikat). Karyanya itu secara khusus dikirimkan ke angkasa luar bersamaan dengan komposisi Johann Sebastian Bach dan Ludwig van Beethoven. Sehingga tak heran jika kemudian ia disejajarkan dengan musisi-musisi besar dunia tersebut.

Sebagai orang Jaya yang masih sangat mencintai tanah kelahirannya, pada tahun 1992 ia memutuskan kembali ke Yogyakarta, tatkala usianya menginjak 83 tahun. PakTjokro menyadari bahwa ia masih diperlukan di tanah air, sehingga rumahnya sangat terbuka bagi seniman dalam dan luar negri. Mereka datang untuk “ngelmu”dalam arti bukan sekadar belajar teknik memukul gamelan atau olah vokal, namun juga mendalami filosofi gamelan.Meski kondisi fisiknya sangat menurun, namun binarjiwanya tak pernah redup. Tangannya secara refleks selalu bergerak bak konduktor mengikuti irama hidup yang terus mengalir. Alunan mistis dan dinamis dari gendhing Ki Tjakrawasita, membisu seketika, tatkala ia sempat terjatuh dan tangannya patah sehingga tak mampu lagi meng-gendhing. Sejak itu kondisinya terus menurun hingga ia tutup usia pada tanggal 30 Agustus 2007, dalam usia 104 tahun menurut hitungan kalender Jawa.