Penerima Anugerah Kebudayaan 2017 Kategori Pemerintah Daerah: Kota Sawahlunto

0
524

Kota Sawahlunto, yang pada 2017 berpenduduk 64.852 orang, terdiri bermacam suku, agama, ras, dan golongan, tersebar di empat kecamatan dan 27 desa. Luas wilayahnya 27.345 hektar atau 273,445 km2. Berbatasan dengan Kabupaten Tanah Datar di sebelah utara, Kabupaten Solok di sebelah selatan dan barat, dan Kabupaten Sijunjung di sebelah timur, suhu kawasan bentang alam Sawahlunto berkisar antara 22-28 derajat Celsius pada siang hari dan 5-7 derajat pada malam hari. Sebuah kota persinggahan yang cukup sejuk untuk menarik minat wisatawan.

Di samping pendidikan dan perpustakaan, seni budaya digunakan sebagai wahana pembinaan karakter masyarakat Sawahlunto sebagai bagian dari NKRI. Selain itu, upaya pelestarian adat terus digalakkan dengan tujuan agar masyarakat tidak kehilangan akarnya di era global ini. Untuk itulah jajaran Pemerintah Kota Sawahlunto menaruh perhatian pada pengelolaan warisan tak benda (intangible), baik warisan dari etnik dan budaya Minangkabau itu sendiri maupun warisan dari budaya Jawa, dan lainnya. Maka,jangan kaget jika di sana berkembang Wayang Sawahlunto alias Wayang Soero, lengkap dengan bahasa, gending dan gamelan Jawa. Jika ritual Tunggal/Sedulur Sekapal yang berbau ajaran Samin Soerosentiko. Dikembangkan pula bahasa dan sastra lokal, foklor, dan kuliner lokal.

Aneka jenis pertunjukan seperti Randai, Silat, Salawat Dulang, Musik Keroncong, Tonil bahasa Tansi dan Silungkang, Lukah Gilo, Kuda Kepang/Luping, Campur Sari, Tari Orang Rantai, Tari Pasambahan, Tari Paneman Talawi, kini semakin digalakkan. Juga di sektor seni rupa dan kerajinan. Bahkan kerajinan tenun dan songket (Silungkang) dikembangkan lengkap dengan acara karnavalnya yang mulai popular, bertajuk Sawahlunto International Songket Carnival/ SISCA. “Tradisi, selain memberikan hiburan, juga menyampaikan ajaran-ajaran moral yang efektif untuk pembinaan karakter dan kebangsaan,” ujar sang wali kota di sela kegiatannya ikut bermain Randai.

Sudah dua tahun ini Sawahlunto melakukan gerakan “Magrib Mengaji”. Jangan kaget kalau pada jam-jam tersebut, saat magrib hingga isya’, rumah-rumah mematikan TV dan menghentikan kegiatan ber-sosmed. Kini gerakan itu bertambah: gerakan “Subuh Berjamaah”. Tujuannya untuk menanamkan hingga memperkokoh nilai-nilai dan karakter dalam keluarga. Sementara keluarga- keluarga non-Muslim juga ikut berikhtiar memperkokoh keluarga dengan nilai-nilai religiositasnya masing-masing. Dampaknya, diyakini sebagai tiang kedamaian warga Sawahlunto, sekaligus rendahnya tingkat kekerasan di masyarakat.

Bagi Ali Yusuf, memperkokoh nilai keluarga merupakan tugas mendesak untuk membentengi moralitas dari penyalahgunaan keterbukaan, kebebasan dan penagruh buruk media sosial. Semoga dengan penghargaan Anugerah Kebudayaan Kategori Pemerintah Daerah Tahun 2017 ini—juga penghargaan yang pernah diterima sebelumnya, di antaranya Adipura dan Anugerah Kebudayaan PWI 2016—pahlawan nasional Moh Yamin, putra Sawahlunto yang lahir dan jasadnya menjaga kota itu, bisa ikut tersenyum.