Kota Gorontalo: Merawat Kebudayaan, Mendorong Kemajuan

0
1523

Kota Gorontalo merupakan kota yang memiliki tingkat korupsi sangat rendah. Di samping itu, ia dikenal juga sebagai daerah penghasil jagung yang sering dikirim ke Pulau Jawa dan pulau- pulau lainnya di Indonesia. Di samping memiliki kekuatan sumber daya alam, ternyata Gorontalo menyimpan juga khazanah budaya yang sangat kaya. Hal ini semakin memperkuat Kota Gorontalo sebagai pusat ekonomi sekaligus pusat budaya. Belum lama ini Kota Gorontalo juga meraih Adipura Karya. Ini bukti bahwa Kota Gorontalo dapat dijadikan sebagai referensi sebagai kota yang terus menggeliat maju.

Tentu saja pencapaian tersebut tidak didapat begitu saja, perlu kerja keras di dalam mewujudkannya. “Salah satu faktor kemajuan Kota Gorontalo adalah karena sudah terjalinnya kerja sama yang baik antara pemerintah dengan masyarakat, termasuk juga dengan para pemangku adat di daerah ini,” kata Marten A Taha, Wali Kota Gorontalo.

Khusus terkait upaya konservasi budaya Gorontalo, baik budaya tutur atau budaya implementatif dalam bentuk wisata kuliner, fashion—termasuk upacara perkawinan dan lain sebagainya, Pemeritah Kota Gorontalo banyak bekerja sama dengan para pemangku adat dan tokoh-tokoh masyarakat. Keterlibatan mereka ini, menurut Marten A Taha, penting guna menjaga sakralitras budaya itu sendiri. Budaya tutur di Gorontalo dikenal lewat berbagai kisah-kisah yang senantiasa dilantunkan dalam budaya cerita yang bernama Tanggomo. Tanggomo adalah sastra lisan bahasa Gorontalo yang diungkap secara berirama, berbentuk puisi naratif dan tidak terikat oleh baris. Tanggomo berisi peristiwa dan kejadian yang sumber ceritanya berasal dari kejadian atau peristiwa nyata, dari cerita rakyat, dan dari rekaman pencerita sendiri. Pada awalnya tanggomo diucapkan layaknya membaca puisi tanpa iringan alat. Dalam perkembangan selanjutnya ada juga tanggomo yang dilantunkan dengan diiringi petikan gambus atau kecapi. Tanggomo jika diartikan secara har ah adalah menampung.

Kemudian ada juga seni tradisi bernama Lohidu, sebuah cerita tutur dalam bentuk pantun berbahasa Gorontalo yang biasanya dilantunkan diiringi petikan gambus dan senantiasa dipergelarkan dalam peristiwa-peristiwa tertentu. Biasanya Lohidu ditampilkan pada pesta rakyat atau pesta pernikahan. Pantun umumnya mengadung pesan moral yang dalam dan mampu menyentuh sisi kehidupan sehari-hari masyarakat Gorontalo.

Pada menjelang akhir Ramadhan, juga ada perayaan yang disebut Tumbilo Tohe, ditandai dengan pemasangan lampu-lampu tradisional yang dijadikan alat penerangan seluruh negeri. Saat tradisi Tumbilo Tohe digelar, wilayah Gorontalo jadi terang-benderang, nyaris tak ada sudut kota yang gelap. Gemerlap lentera tradisi tumbilo tohe yang digantung pada kerangka – kerangka kayu yang dihiasi dengan janur kuning atau dikenal dengan nama alikusu (hiasan yang terbuat dari daun kelapa muda) menghiasi Kota Gorontalo. Di atas kerangka di gantung sejumlah pisang sebagai lambang kesejahteraan dan tebu sebagai lambang keramahan dan kemuliaan hati menyambut Idul Fitri.

Tradisi menyalakan lampu minyak tanah pada penghujung Ramadhan di Gorontalo sangat diyakini kental dengan nilai agama. Dalam setiap perayaan tradisi ini, masyarakat secara sukarela menyalakan lampu dan menyediakan minyak tanah sendiri tanpa subsidi dari pemerintah. Tanah lapang yang luas dan daerah persawahan dibuat berbagai formasi dari lentera membentuk gambar masjid, kitab suci Al-Quran, dan kaligra yang sangat indah dan memesona. Tradisi Tumbilo Tohe juga menarik ketika warga Gorontalo mulai membunyikan meriam bambu atau atraksi bunggo dan festival bedug. Pada tahun 2007, tradisi Tumbilo Tohe ini masuk Museum Rekor Indonesia (MURI) karena lima juta lampu menyemarakkan tradisi ini dan menghiasai wajah Kota Gorontalo.

Keunggulan:

  1. Tingkat korupsi rendah
  2. Tingkat kekerasan dalam masyarakat rendah
  3. Memiliki perpustakaan seperti Perpustakaan Daerah dan Arsip Kota Gorontalo, Perpustakaan Anyelir, Perpustakaan ACT El-Gharantaly
  4. Memiliki museum seperti Museum Pendaratan Pesawat Amphibi Soekarno (di atas bangunan yang berdiri pada 1936, sebagai peringatan peristiswa pendaratan Pesawat Amphibi Soekarno pada 1950).