NOKEN

0
5266

Noken Papua adalah hasil daya cipta, rasa dan karsa yang dimiliki manusia berbudaya dan beradat. Walaupun Noken berbentuk seperti halnya tas yang berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan berbagai macam benda dan peralatan, namun masyarakat Papua sendiri tidak menyebut noken sebagai tas. Bagi masyarakat Papua, Noken memiliki perbedaan yang sangat signifikan dengan tas yang diproduksi pabrik, baik secara bahan, jenis, model maupun bentuk Noken. Untuk itu, masyarakat Papua memiliki pengertian sendiri mengenai Noken. Noken bisa diartikan sebagai:
• Noken adalah tempat (wadah) yang dirajut dan dianyam dari pohon atau daun yang kadang diwarnai dan diberi berbagai hiasan termasuk pewarna demi memenuhi kepuasan batin perajin dan terutama penggemar Noken.
• Noken adalah kerajinan tangan yang berasal dari hampir semua suku bangsa di Papua yang diwariskan sebagai unsur budaya takbenda yang menjamin kelangsungan hidup untuk mengisi, menyimpan, dan membawa barang demi menanggapi kebutuhan sehari-hari.
• Noken adalah tempat untuk mengisi dan menyimpan semua barang di dalam tempat rajutan dan anyaman tangan yang dimanfaatkan pengguna secara umum
• Noken adalah tempat untuk menyimpan barang pribadi. Dengan melihat isi noken, maka orang lain sudah mengetahui siapa pemilik noken tersebut.
• Noken adalah kerajinan tangan masyarakat adat tanah Papua yang sudah bernorma, beradat, berbudaya dan beretika dari masa leluhur hingga sekarang.
Kehidupan masyarakat Papua tidak terlepas dari Noken. Kemanapun masyarakat Papua pergi, Noken selalu diikutsertakan seperti dalam kehidupan berumah tangga, ke kebun maupun ke laut. Noken memiliki beberapa sebutan yang sesuai dengan dimana daerah Noken itu berkembang, contohnya di Hugula Noken disebut dengan Su ; Dani disebut dengan Jum; Yali disebut Sum; Biak disebut dengan Inoken/Inokenson ; Mee disebut dengan Agia ; Asmat disebut dengan Ese ; Irarutu disebut Dump dan lain sebagainya.
Keberadaan Noken di tanah Papua sudah ada sejak bertahun-tahun lamanya. Ada 250-an suku di Papua yang mengenal dan mengenakan Noken dalam kehidupan sehari-hari. Keberadaan Noken pun menjadi sebuah kebudayaan yang dikerjakan secara turun temurun, sehingga tidak diketahui secara jelas bagaimana Noken berkembang di Papua. Berbagai informasi menyebutkan bahwa sejak dahulu Noken juga digunakan untuk berbagai keperluan sehari-hari. Fungsi sehari-hari noken tersebut adalah untuk membawa hasil kebun, hasil laut, kayu, bayi, hewan kecil, belanjaan, uang, sirih, makanan, buku dan lain sebagainya. Noken juga dapat dipakai sebagai tutup kepala atau badan.
Sejarah yang panjang atas Noken mendorong tumbuhnya hubungan antara noken dan pandangan hidup orang Papua seperti sikap kemandirian orang Papua, kebiasaan tolong menolong (Pekei, Wawancara, ibid). Noken dimaknai juga sebagai ”rumah berjalan” berisi segala kebutuhan (Tekege, Mikael,, Pastor, Wawancara, Epouto, 11/2/11). Disamping itu, Noken dianggap sebagai simbol kesuburan perempuan, kehidupan yang baik, dan perdamaian. Di berbagai suku di Papua Noken menunjukkan status sosial pemakainya. Orang terkemuka dalam masyayarakat, misalnya kepala suku ,kadang-kadang memakai noken dengan pola dan hiasan khusus
Proses Membuat Noken
Noken umumnya dibuat oleh wanita atau mama-mama Papua yang rata-rata sudah berusia lanjut, yang disebut dengan “Mama Noken”, namun ada pula Noken yang dikerjakan oleh kaum laki-laki yaitu di daerah Suku Mee dan dinamakan Meuwodide (“bapak-bapak Papua di daerah suku Mee). Membuat Noken dimulai dengan mengenal bahan baku yang terdiri dari :
• Bahan serat pohon.
• Bahan Kulit Kayu
• Bahan Daun Pandan
• Bahan Rumput Rawa.

Bahan Baku tersebut diproses secara konvensional untuk menjadi benang yang kemudian digunakan untuk merajut.
Membuat bahan baku dilakukan dengan cara yang berbeda-beda antara satu suku dengan suku lainnya. Ada yang membuat bahan baku dengan memotong beberapa jenis pohon khusus, kecil dan besar yang kadang-kadang dipanasi di atas api hingga layu, lalu direndam dalam air selama beberapa hari. Ada juga perajin yang mengkuliti batang pohon lalu kulitnya saja yang direndam. Kulit pohon lepas dari batangnya, lendir kulit pohon keluar, hingga tinggal seratnya. Ada juga suku (misalnya suku Dani/Hugula di Wamena) yang mengkuliti batang kayu kecil, lalu batang kayu tersebut dipukuli hingga tinggal seratnya.
Serat kayu yang didapat kemudian dikeringkan menjadi bahan serat yang dipintal dengan telapak tangan di atas paha perajin hingga menjadi benang kuat. Serat tersebut kadang-kadang diwarnai dengan warna alami (contoh, suku Dani/Hugula). Benang itu kemudian dirajut dengan tangan membuat tas jala dengan berbagai pola dan ukuran.Di daerah Paniai ditemukan noken khusus yang diberi hiasan khusus terbuat dari serat tangkai anggrek berwarna kuning, hitam dan coklat.
Selain proses merajut, ada juga suku-suku yang membuat noken dengan proses menganyam. Bahan yang dipakai, antara lain, serat atau kulit kayu, daun pandan, daun sagu muda, daun dari rawa, dan lain-lain. Bahan kemudian dianyam dengan berbagai pola yang menarik yang juga mempunyai makna.
Kondisi Noken Saat Ini
Saat ini, Noken tidak lagi banyak digunakan dalam keseharian. Di Desa-desa Papua, Noken memang menjadi sebuah barang penting yang digunakan untuk berbagai aktivitas, namun di kota Noken sudah mulai ditinggalkan. Hal ini sangat berkaitan dengan kemajuan teknologi yang menggusur kebudayaan budaya suatu daerah dengan teknologi baru yang memiliki fungsi yang sama. Keberadaan tas-tas produksi modern yang memiliki fungsi yang hampir sama membuat Noken kini kehilangan peminat dari masyarakat Papua sendiri. Kesulitan mendapatkan serat kayu yang merupakan bahan baku utama pembuatan Noken juga menjadi salah satu factor yang mengancam keberdaan Noken.
Selain itu, faktor transmisi budaya menjadi penyebab yang mengancam keberadaan Noken di Papua. Pembuatan Noken hanya dilakukan oleh orang tua ditambah lagi dengan kesibukan anak-anak untuk belajar di sekolah juga merupakan faktor yang membuat mereka tidak sempat belajar membuat noken dari orang tuanya hingga dapat melanjutkan tradisi noken. Selain itu, laju pembangunan dan modernisasi di Provinsi Papua dan Papua Barat serta pengaruh media modern seperti televisi, video, internet, video game dan sebagainya, dan pemasaran tas-tas gaya modern di hampir semua pasar di Papua dan Papua Barat juga mengakibatkan warisan budaya lama, termasuk noken, mulai kurang diminati oleh sebagian masyarakat Papua, terutama oleh generasi muda.
Faktor yang telah disebutkan diatas inilah yang pada akhirnya membuat Noken menjadi Warisan Budaya Indonesia yang harus dilindungi. Noken menjadi salah satu dari 7 kebudayaan Indonesia yang telah ditetapkan sebagai Warisan Dunia. Upaya pelestarian dapat dilakukan oleh seluruh masyarakat Indonesia dengan melakukan berbagai hal yang dapat mendukung pelestarian Noken, misalnya dengan membuat pameran, galeri Noken, membeli, dan juga memanfaatkan Noken.