BATIK INDONESIA

0
3594

Pada dasarnya, batik merupakan seni lukis yang menggunakan canting sebagai alat untuk melukisnya. Canting sendiri merupakan sebuah alat berbentuk mangkok kecil yang terbuat dari tembaga dan memiliki carat atau monong, dengan tangkai dari bambu atau kayu yang dapat diisi malam (lilin) sebagai bahan untuk melukis. Canting ini dapat membuat kumpulan garis, titik atau cecek yang pada akhirnya membentuk pola-pola. Pola-pola inilah yang kemudian menjadi ragam hias dalam kesenian Batik.
Batik yang tersebar hampir diseluruh Indonesia memiliki bentuk ragam hias yang berbeda-beda diantara satu dan lainnya, Menurut Djoemena (1986:10) perbedaan ragam hias yang terdapat pada batik sangat erat hubungannya dengan faktor-faktor:
• Letak geografis pembuat batik yang bersangkutan
• Sifat dan tata penghidupan daerah yang bersangkutan
• Kepercayaan dan adat istiadat yang ada di daerah yang bersangkutan
• Keadaan alam sekitar, termasuk flora dan fauna
• Adanya kontak atau hubungan antar daerah pembantikan.
Mulanya batik adalah salah satu kebudayaan “adihulung” keluarga raja-raja Nusantara. Di masa awal, batik dikerjakan hanya terbatas dalam lingkungan keraton dan hasilnya semata-mata untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Hal ini dibuktikan dengan tulisan yang dibuat oleh Rijclof van Goens, salah seorang yang pernah menjadi Gubernur Jenderal di Jawa, yang menuturkan dalam laporannya bahwa pada tahun 1656, dilingkungan keraton Mataram diketahui terdapat empat ribu wanita yang melakukan pekerjaan dapur, memintal, menenum, menyulam, menjahit, dan melukis. Tentu saja yang disebut “melukis” disini adalah membatik. Hanya saja waktu itu belum dikenal dengan istilah batik atau membatik (pada waktu itu di Jawa belum dikenal bahan cat yang dibubuhkan secara langsung dengan kuas). Hal ini menunjukkan bahwa budaya membatik sudah menjadi salah satu budaya tertua di negeri ini. Selain itu, Chastelein, salah seorang anggota Read van Indie (Dewan India), adalah orang pertama yang menyebut “batex” (=batik) dalam laporannya tentang daerah-daerah jajahan pada saat akhir karirnya di Hindia (Indoensia) pada tahun 1705.

Gambar 2. Canting yang digunakan untuk membatik

Di masa itu, kegiatan membatik dilakukan oleh putri yang berada di dalam keraton, sedangkan dalam proses-proses pencelupannya dikerjakan oleh para abdi dalem keraton. Tidak jarang pula pola-pola batik tersebut diciptakan sendiri oleh para putri keraton, bahkan raja-raja pun ada yang ikut terlibat dalam penciptaan pola-pola batik tertentu. Dalam menciptakan pola-pola batik, mereka tidak sekedar mencipta begitu saja tetapi disertai dengan kegiatan ritual seperti puasa, mengurangi tidur dan semedi. Selanjutnya, mereka akan menuangkan harapan-harapan dan pesan melalui berbagai ragam hias yang penuh makna, disusun sedemikian menjadi pola-pola batik yang indah. Salah satu contoh pola batik yang proses penciptaannya melibatkan keluarga keraton adalah pola batik Truntum. Pola ini merupakan ciptaan Permaisuri Sri Susuhunan Paku Buwono III yaitu Gusti Kanjeng Ratu Kencana atau lebih dikenal dengan nama Kanjeng Ratu Beruk. Pola batik Truntum mempunyai makna mendalam yang menyangkut kisah cinta Gusti Kanjeng Ratu Kencana yaitu berseminya kembali cinta Sri Susuhuan Paku Buwono III kepada beliau dan bersatunya kembali Gusti Kanjeng Ratu Kencana dengan sang raja di keraton setelah beberapa waktu diasingkan. Pengharapan yang menyertai pemakaian batik dengan pola Truntum adalah cinta kasih yang kekal abadi antara dua insan manusia. Oleh sebab itu, kain batik dengan pola Truntum tersebut sampai saat ini selalu digunakan dalam upacara adat perkawinan Jawa. Dalam perkembangannya, kegiatan membatik ini ditiru oleh rakyat kebanyakan dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan umum bagi kaum wanita. Selanjutnya, batik yang semula hanya pakaian keluarga keraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik oleh wanita maupun pria. (Yayasan Batik Indonesia, tt).
Pada masa lalu, pembuatan batik dengan warna cokelat (soga), biru tua pada warna wedelan (indigo) dan putih atau krem pada warna dasarnya, dalam lingkungan keraton Jawa, dilakukan dengan memakai bahan pewarna alam karena bahan pewarna sintesis baru masuk ke Pulau Jawa kurang lebih tahun 1900-an. Untuk warna cokelat atau soga diperoleh dari kulit kayu tinggi, kulit kayu jambal, dan kayu tegeran. Untuk warna biru digunakan bahan pewarna alam dari daun indigo atau tom. Proses membatik yang dilakukan masa lalu tersebut hingga saat ini masih tetap diterapkan kerana selain merupakan karya cipta nenek moyang yang senantiasa harus dilestarikan, juga merupakan proses batik yang memberikan kekhasan dan ciri tersendiri dari batik di Indonesia. Proses ini disebut Proses Tradisional atau Proses Pedalaman dan meliputi tahap-tahap:
• Ngloyor adalah tahap pertama dari proses ini yaitu memasukkan mori yang sudah dicuci ke dalam campuran minyak jarak/minyak kacang dengan air abu merang dan diuleni, sekarang disebut mercerizing. Setelah diloyor, mori dikanji dengan kadar kanji tertentu lalu dijemur. Setelah kain kering kemudian di kemplong.
• Nyorek (membuat pola), yaitu memindahkan pola batik dari kertas yang bergambar pola batiknya ke kain mori yang sudah diloyor menggunakan meja pola dan pinsil, kemudian dibatik.
• Membatik. Hal ini dilakukan dengan menorehkan lilin batik memakai canting dan mengikuti gambar-gambar pola mori yang sudah dicorek, dimulai dengan membatik klowong atau nglowong dan isen-isen. Setelah itu proses selanjutnya adalah nembok (menutup bagian pola yang akan tetap berwarna putih).
• Tahap selanjutnya dari proses pedalaman ini adalah medel, yaitu menyelupkan lain yang sudah selesai dibatik ke dalam larutan nila untuk mendapatkan warna birru tua. Setelah kain batikan dimasukkan ke dalan larutan nila, selanjutnya diangin-anginkan agar diperoleh warna biri tua pada bagian-bagian kain yang tidak tertutup lilin batik. Pekerjaan ini diulang berkali-kali hingga diperoleh kedalaman warna biru yang dikehendaki.
• Ngerok dan nggirah. Pekerjaan ini adalah menghilangkan lilin klowong atau bagian pola yang akan diberi warna coklat serta isen-isen pola. Caranya adalah menghilangkan lilin batik pada bagian-bagian tersebut dengan menggunakan alat sederhana berupa lempengan logam tipis yang disebut “kerok”, setelah itu dilanjutkan dengan mencuci kainnya atau nggirah.
• Apabila kain yang sudah dikerok dan dicuci tersebut kering, maka bagian-bagian yang akan tetap berwarna biru dan bagian isen pola yang berupa cecek atau titik, ditutup dengan lilin biron. Pekerjan ini disebut mbironi.
• Pencelupan kedua adalah pencelupan untum memperoleh warna coklat atau soga. Pada masa lampau warna ini diperoleh dari ekstraksi kayu-kayu soga, baik yang berupa kulit kayu (tingi dan jambal) maupun yang berupa kayu (tegeran). Pertama-tama kain yang sudah dibironi dicelup ke dalam larutan soga. Penyogaan ini dikerjakan berulang kali sehingga memakan waktu yang sangat lama. Untuk pencelupan berikutnya, kain harus sudah kering dari pencelupan sebelumnya dan pengeringan dilakukan di tempat yang teduh, tidak secara langsung terkena sinar matahari. Untuk kain yang belum selesai proses penyogaannya maka penyimpanannya dilakukan dengan ditumpuk dalam keadaan basah, untuk dicelup pada keesokan harinya setelah terlebih dahulu dikeringkan di tempat yang teduh.
• Tahap terakhir dari proses pendalaman adalah menghilangkan semua lilin yang menempel pada bahan, disebut nglorod, yaitu dengan mamasukkan kain yang sudah cukup tua warna soganya ke dalam air mendidih, hingga akhirnya diperoleh batik Sogan. Tahap ini juga disebut ‘mbabar’. Batik sogan ini terdapat pada batik-batik yang termasuk jenis batik Keraton.

Proses yang kedua yaitu pesisiran banyak diterapkan oleh para pengrajin batik setelah masuknya bahan pewarna sintesis dan banyak dilakukan di daerah Pekalongan serta sentra-sentra Batik di sepanjang Pantai utara Pulau Jawa (karena Pesisir). Karenanya proses ini disebut Proses Pesisiran. Selain memanfaatkan kemudahan pencelupan dengan bahan pewarna sintesis, batik yang dihasilkan melalui proses ini juga menerapkan beragam warna. Proses Pesisiran meliputi beberapa tahap :
• Tahap pertama dari proses ini adalah nyorek, seperti halnya pada Proses Pedalaman.
• Membatik sampai dengan menembok. Tahap ini dimaksudkan untuk menutup bagian pola yang akan diberi warna soga dan bagian yang akan tetap berwarna putih.
• Kain yang telah selesai di batik kemudian di celup ke dalam larutan pewarna untuk memberi warna pada dasar polanya. Pekerjaan ini disebut ndasari.
• Kain yang sudah diberi warna dasaran, agar warna dasarannya tidak terkena warna wedelan pada kain berikutnya, maka dilakukan penutupan pada bagian dasar pola yang telah berwarna itu dengan lilin batik.
• Selesai menutup bagian dasaran pola yang telah diberi warna dasar, maka kain diwedel atau diberi warna hitam untuk mendapatkan warna biru tau pada bagian pola-pola tertentu.
• Ngolorod. Tahap ini dimaksudkan untuk menghilangkan semua lilin, supaya lilin yang menutupi bagian yang akan diberi warna soga menjadi terbuka, dengan memasukkan kain –kain yang sudah didasari ke dalam air mendidih.
• Setelah dilorod, dilakukan tahap menutup lagi, tetapi kali ini yang ditutup adalah bagian-bagian dasaran pola, bagian tembokan, wedelan dan cecek, sehingga bagian yang tersisa dan terbuka hanyalah bagian klowongannya saja atau bagian yang akan diberi warna soga. Pekerjaan ini disebut ngesik. Pada bagian klowongan diberi cecek-cecek untuk mendapatkan titik-titik putih pada garis soga. Pekerjaan ini disebut nggranit.
• Nyoga. Kain yang sudah selesai di keresik dan di granit kemudian di soga. Pada proses pesisiran, tahap ini tidak terbatas hanya mengambil warna cokelat, tetapi seringkali juga warna cokelat kekuningan, cokelat kehijauan atau bahkan kuning saja, yaitu memberi warna pada bagian-bagian pola yang akan diberi warna soga
• Tahap terakhir adalah nglorod yaitu memasukkan kain yang telah selesai di soga ke dalam air mendidih untuk menghilangkan semua lilin yang menempel sehingga akan diperoleh kain yang menampilkan beragam warna.

Perkembangan Batik di Indonesia
Siapa yang tidak mengenal Batik saat ini? Kini Batik bukan lagi sebuah pakaian kehormatan yang dikenakan oleh Raja saja, namun kini Batik dapat dikenakan semua orang dalam berbagai situasi dan kondisi. Sudah cukup banyak desainer yang membuat batik dalam berbagai macam bentuk. Kain Batik kini dibentuk sedemikian rupa hingga timbulah kreasi Batik tanpa batas. Ada baju tidur batik, baju pesta, tas batik hingga sandal batik. Modifikasi Batik tanpa batas yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia ini tentu saja sebagai bentuk kebanggaan atas pengakuan dunia terhadap Batik sebagai salah satu Warisan Budaya Indonesia. Kebangaan Indonesia sebagai pemegang Warisan Budaya Batik ternyata memunculkan jenis Batik baru dalam beberapa daerah yang semula bukan daerah pengusung Batik, seperti Batik gonggong Tanjung Pinang hingga Batik Papua. Hal ini membuat Batik kini memiliki macam jenis lain selain batik-batik yang sudah dikenal oleh masyarakat pada umumnya.
Bentuk kebanggan terhadap Batik juga dibuktikan dengan sebuah penetapan Hari Batik Nasional yang jatuh pada tanggal 2 Oktober. Pada tanggal ini, UNESCO secara resmi mengakui Batik sebagai warisan dunia. Media juga ikut membantu mempromosikan bahkan menghimbau masyarakat untuk mengenaikan Batik pada hari tersebut, sehingga seperti tanggal 2 Oktober 2013 masyarakat Indonesia dengan seragam dan bangga mengenakan Batik dalam aktivitasnya.