Mengenal Pawukon, Sistem Penanggalan Tradisional Indonesia

0
5896

Pawukon merupakan sistem penanggalan tradisional yang mempunyai waktu terukur, dan dipergunakan sebagai dasar penentuan segala aktifitas daur hidup dan kematian masyarakat Indonesia. Pawukon menunjukan karifan lokal. Berdasarkan prasasti dan temuan-temuan arkeologis menunjukkan bahwa Pawukon merupakan budaya asli masyarakat Indonesia yang dipergunakan dan mengakar secara turun-temurun. Hingga saat ini Pawukon masih relevan dipergunakan oleh masyarakat pendukungnya hampir di seluruh Indonesia terutama di sepanjang pulau Jawa, Madura, Bali, Lombok (periksa Sudharta, 2008: 20-21).

Pawukon digunakan masyarakat Indonesia sebagai dasar perhitungan mengenai pranata mangsa (tata waktu). Pranata mangsa di Nusantara dibagi dalam dua belas mangsa (Tanojo, 1962). Pranata mangsa dimulai dari mangsa kasa (musim pertama) yang dimulai pada tanggal 23 Juni dalam kalender masehi (Sudhartha, 2008). Tiap-tiap mangsa menandai perubahan pembawaan iklim atau cuaca sehingga mempengaruhi aktifitas kehidupan sehari-hari, bahkan lebih mendalam lagi juga mempengaruhi sifat dan karakter bayi yang terlahir, perilaku fauna, pertumbuhan flora-fauna dan lain sebagainya. Keberadaan inilah yang kemudian Pawukon mendasari pranata mangsa yang menjadi pedoman dalam beratifitas hidup pada tiap-tiap mangsa (Tanojo, 1962).

Berdasarkan isi prasasti yang ditemukan di Indonesia pada umumnya selalu dituliskan mulai dari unsur-unsur penanggalan, manggala (puji-pujian pada Tuhan), raja yang mengeluarkan prasasti, pejabat yang mendapat tugas membuat prasasti, penetapan sima, sebab-sebab dipilihnya penetapan sebagai tanah sima, sesaji-sesaji pada saat pembuatan prasasti dan diakhiri perayaan upacara dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa penanggalan selalu ditulis paling awal dalam setiap prasasti-prasasti di Indonesia (Periksa: Buchori, 1986).

Manuskrip Serat Pawukan koleksi Museum Radyapustaka menjelaskan bahwa Pawukon sebagai penanggalan tradisional masyarakat Jawa menggunakan dasar perubahan rotasi yang terjadi dalam waktu setiap 7 hari (sapta wara) yang dimulai dari hari redite (minggu) sampai hari tumpak (sabtu). Pawukon bersandar pada konsep astronomi dan membaginya menjadi 30 wuku. Tiap wuku bergeser tiap 7 hari sehingga dalam satu rotasi wuku terdiri dari 210 hari (7 hari x 30 wuku). Manuskrip Pawukon Jawi yang dibuat pada era Keraton Kartasura (abad XVII) yang dikoleksi Museum Brojobuwono memberikan penjelasan yang sama dan menambahkan dengan ilustrasi gambar tiap-tiap wuku dengan baik. Tiap-tiap wuku disimbolkan pada figur keluarga Prabu Watu Gunung, yaitu: Prabu Watu Gunung sendiri, 2 orang istrinya (Sinta dan Landhep), beserta 27 putra-putranya yang bernama : Wukir, Kurantil, Tolu, Gumbreg, Warigalit, Warigagung, Julung Wangi, Sungsang, Galungan, Kuningan, Langkir, Mondosio, Julung Pujud, Pahang, Kuruwelud, Mrakeh, Tambir, Madangkungan, Maktal, Wuye, Manail, Prangbakat, Bala, Wayang, Wugu, Kulawu, dan Dukut.(periksa pula Sudhartha, 2008; Tanojo, 1962; Ranoewidjojo, th 2009).

Manuskrip Pawukon (koleksi Sasana Pustaka Karaton Surakarta Hadiningrat) telah memberikan penjelasan secara mendetail tiap-tiap wuku, demikian pula yang tertera dalam Kitab Centini yang dibuat pada era Susuhunan Paku Buwana IV menjelaskan bahwa tiap-tiap nama Pawukon memiliki tanda-tanda, sifat, dan makna tertentu yang disimbolkan melalui nama-nama dewa yang menaunginya. Sifat-sifat dewa itulah yang digunakan sebagai dasar penentuan aktifitas daur hidup dan kematian masyarakat pendukungnya. Pawukon digunakan sebagai dasar dalam penentuan musim dengan bersandar pada tanda alam sehingga, Pawukon sebagai dasar musim tanam, musim panen dan jenis tanaman yang dipilih untuk ditanam para petani yang populer disebut “Pranatamangsa”. Pawukon digunakan sebagai dasar menengarai perubahan cuaca (angin barat dan angin timur) untuk para nelayan, selain itu digunakan sebagai dasar musim ikan sebagai hasil tangkapan. Lebih jauh Pawukon digunakan sebagai dasar setiap aktifitas daur hidup dari kelahiran, pernikahan, pendirian rumah, perayaan hari-hari besar, upacara adat dan upacara keagamaan, dan lain sebagainya hingga upacara kematian (Hadikoesoema, 1985; Periksa pula Sudhartha, 1958).

Masyarakat Nusantara memiliki pandangan bahwa pengaruh unsur-unsur yang diterima bumi oleh planet-planet lain juga akan berpengaruh pada kehidupan manusia. Bumi mendapat pengaruh dari planet-planet lainnya demikian pula halnya dengan diri manusia, sehingga menimbulkan sifat, perangai, dan nasib yang berlainan. Hari pada saat seseorang lahir ke bumi mendapat pengaruh juga dari planet-planet yang mempengaruhi bumi. Memang pada dasarnya nasib manusia bergantung perbuatannya yang ditentukan Tuhan, tetapi dalam perjalanan hidupnya manusia dipengaruhi oleh kekuatan yang berasal pada planet-planet yang kebetulan sesuai dengan hari kelahirannya (Departemen P dan K Jakarta, 1988; Sudhartha, 2008:3). Oleh karena itu Pawukon secara personal juga dapat digunakan sebagai dasar penentuan kecenderungan karakter, sifat, perilaku, perawakan seseorang yang dilihat melalui wuku kelahirannya. Melalui Pawukon inilah seseorang akan memahami kelebihan dan kekurangan yang ada dalam dirinya sehingga akan berusaha menyikapinya dengan baik (Departemen P dan K Jakarta, 1988; Surija, 1960).

Sumber: Naskah Akademik Pawukon, Sebagai Pengusulan Tentative List