MARTIN ALEIDA, MEMBUKA PINTU UNTUK BERPENDAPAT

0
453

Notice: Trying to get property 'roles' of non-object in /home/website/web/kebudayaan.kemdikbud.go.id/public_html/wp-content/plugins/wp-user-frontend/wpuf-functions.php on line 4663

Kesusastraan atau cerita pendek merupakan pintu untuk menyatakan pikiran dan pendapat, terutama keadaan sosial. Cerita-cerita pendek yang ditulis oleh Martin Aleida sebagai seorang sastrawan, umumnya menyangkut masalah sosial, seperti buruh-buruh kecil yang ada di belakang rumah Martin yang dipisahkan oleh sungai.
Ada kenyataannya dan kenyataan itu berkembang menjadi fiksi. Kenyataannya itu tetap ada, karena kita tidak dapat terlepas dari dunia tempat kita tinggal.
Memasuki usia 71 tahun, Martin telah 50 tahun lebih menulis cerpen. Diawali ketika masih duduk di kelas dua SMA di Tanjung Balai, cerita pendeknya dimuat di surat kabar Medan dan Jakarta.
Keinginan Martin menulis tumbuh sejak duduk di SMP, karena sering membaca novel karangan Pramoedya Ananta Toer dan Hamka, serta beberapa novel terjemahan. Dengan membaca karya-karya orang lain, ia banyak belajar. Ia juga kagum dengan gaya bercerita dan tata kalimat Idrus, seorang editor di Balai Pustaka yang banyak menerbitkan karya-karya Pramoedya Ananta Toer.
Beberapa tokoh novelis dari luar negeri yang ia kagumi adalah Ernest Hemingway, dengan novelnya The Old Embassy yang telah ia baca berkali-kali, baik aslinya dalam bahasa Inggris maupun terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Pengarang dari Amerika, Jack London, menurut Martin sangat kuat novel-novelnya, seperti The Cold at the White. Sedikit banyak tokoh-tokoh tersebut memberikan inspirasi bagi karya Martin.
Martin mengaku mendapatkan inspirasi cerita ketika berada di perjalanan, antara lain di bis. Saat turun dari kendaraan, dituliskannya kembali gagasan itu. Namun, mantan anggota Dewan Kesenian Jakarta ini, tidak suka menulis di rumah. “Karena saya bukan penulis yang cepat. Saya akan menemukan kesulitan ketika akan mulai menulis paragraf pertama. Ada saja kendala yang dihadapi jika menulis di rumah,” tutur Martin.
Karena itu, ia banyak menyelesaikan tulisan di Taman Ismail Marzuki, terutama di Pusat Dokumentasi Sastra H.B.Jassin yang punya ruangan luas dan tak banyak pengunjung. “Rata-rata tiga hari saya menulis di sana,” tuturnya. Tempat lain, di lobi hotel atau kantor Dewan Kesenian Jakarta.
Kalau di rumah, “Saya hanya minta kepada istri atau anak, membaca naskah dan mengoreksi tulisan saya, sebagai proof reading.”
Martin tidak tertarik mengikuti festival-festival buku di luar negeri, apalagi biayanya cukup besar. Ia justru ingin sekali agar pemerintah memfasilitasi pembelian dan penyebaran buku-buku karya para sastrawan Indonesia, terutama novel-novel klasik, seperti karya Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, dan Pramoedya Ananta Toer. “Pasti sangat besar manfaatnya,” kata Martin.
Ia mengingatkan, dulu, pemerintah semasa Departeman Pendidikan dan Kebudayaan pernah mendorong penulisan cerita untuk anak-anak. “Kenapa tidak diteruskan? Padahal itu sangat bagus. Dapat memberikan kehidupan bagi para pengarang pemula, pengarang yang sedang membangun diri, juga memberikan kesempatan bagi pelajar dan mahasiswa untuk mendapatkan bacaan yang bagus.” Kata Martin. “Jadi sebenarnya bukan minat generasi muda yang kurang suka membaca cerpen, melainkan lebih disebabkan oleh tidak adanya media untuk menyampaikan pesan-pesan itu,” tambahnya.