Marga T

0
1795

Pada era 1970-an hingga 1990-an siapa yang tak mengenal nama Marga T, penulis novel popular yang menonjol dan karya–karyanya laris karena acap ditunggu para penggemarnya. Sebut saja Karmila, Badai Pasti Berlalu, Tesa, Gaun Sutra Ungu, dan Bukan Impian Semusim adalah sedikit dari karya Marga T. yang paling dikenal, bahkan novel-novel dengan judul itu diangkat ke layar layar lebar sebagai film yang memesona khalayak pada tahun 1980-an.

Marga T, belum lama ini meluncurkan buku berjudul Sine Qua Non. Dancing with the Holy Spirit 1964—2014. Dari buku tersebut memberikan gambaran kepada kita bahwa karier seorang penulis tidak mengenal pensiun. Marga T dapat dikatakan sebagai pelopor Sastrawan Perempuan yang berhasil mendedikasikan dirinya lebih dari 50 tahun berkarya. Pelopor fiksi romantis yang produktif dan imajinatif ini menunjukkan prestasi yang sangat luar biasa dalam perjalanan seorang penulis yang konsisten dan telah memasuki usia emas dalam berkarya (golden anniversary).

Marga T, kelahiran Jakarta, 27 Januari 1943, memulai debutnya sejak tahun 1964 dengan cerita pertama berjudul “Kamar 27.” Namanya mulai dikenal pada tahun 1971 lewat cerita bersambung “Karmila” yang dimuat di surat kabar Kompas, yang kemudian dibukukan dan bahkan difilmkan. Kisah tentang Karmila merupakan karya yang bagus dan menyentuh hati.Dalam filmnya para aktor dan aktris papan atas, seperti Rae Sita, Yenni Rachman, dan Roy Marten memerankan tokoh-tokoh ceritan. Para pembaca ataupun penonton tentunya akan membekas, dan bahkan seseorang dapat saja terinspirasi karena tokoh dan penokohan yang ada dalam novel ataupun film tersebut mampu memberikan imajinasi melambung seakan ia adalah tokoh tersebut.

Sebagai sastrawan perempuan yang produktif kebiasannya menulis mengalir begitu saja, spontan dinarasikan karena pengamatan dan pengalamannya. Di dalam buku terakhir yang diterbitkan tersebut, tergambar sebagian perjalanan kariernya yang dituangkan dalam tiga tahapan berkarya.

Berikut ini adalah proses kreatif yang dijalani selama lebih dari separuh abad. Bagian Pertama, merupakan cuplikan masa perantauan. Diberikan judul “Di Mana Waktu Membeku,”memuat 9 buah karyanya yang dimulai dengan debutnya yang pertama kali dalam menulis dan diterbitkan, yaitu pada tanggal 31 Mei 1964, dengan judul “Kamar 27,” di muat pada Warta Bhakti. Selanjutnya berturut–turut pada majalah Gadis (1974–1977), yaitu “Secercah Sinar Pagi,”“Bila Bapak Mekanika Ngamuk,”“Ketika Hati Susi Membeku,” dan “Hatiku dan Hatimu.” Kemudian, pada majalah MIDI, nomor 67–76 dimuat cerita bersambung “Gerimis Permulaan Musim.” Untuk majalah Femina tahun 82–83 dimuat dua cerita bersambungnya, yaitu “Di Mana Waktu Membeku” dan “Dalam Ruang Tunggu,” serta pada majalah Mitra tahun 1987, yaitu “Sebuah Noktah di Hati.”

Selanjutnya pada bagian Kedua, berjudul “Lukisan Kehidupan” (kenangan dari mereka yang telah berlalu). Di sini disebutkan 8 judul cerita dalam bahasa Indonesia disertai dengan judul aslinya dalam Bahasa Inggris. Berturut–turut adalah “Doa Istimewa” (A Special Prayer); “Kalau Memang Jodoh” (To Each His Own); “Ketika Fajar Berlalu” (When Aurora Shines No More); “Lukisan Kehidupan” (The Silhouette of Life); “Riwayat Masa Lalu” (The Days Long Gone); “Sepucuk Surat Kelabu” (A Letter of Tears); “Gaun Sutra Ungu” (A Purple Silk Dress); “Jam Tujuh Tepat” (Seven O’clock Sharp).

Sebagai sastrawan Indonesia, ternyata Marga T juga memiliki kapasitas internasional, dan ini dibuktikan dari karya–karyanya yang banyak dimuat pada media berbahasa Inggris, seperti The Djakarta Times, bahkan berhasil menjadi finalis dalam majalah Asia Week. Sebagaimana dituangkan pada bagian ketiga, dengan judul The Djakarta Times (gone but unforgetable). Delapan karyanya yang memang awalnya berbahasa Inggris dimuat kembali pada media bahasa Inggris terkemuka di Indonesia saat itu. Berturut–turut adalah “A Special Prayer” (The Djakarta Times, 13 Mei’72); “To Each His Own” (The Djakarta Times, 3 Juni’72); “When Aurora Shines No More”(The Djakarta Times, 24 Juni’72); “The Silhouette of Life” (The Djakarta Times, 29 Juli’72); “The Days Long Gone” (The Djakarta Times, 7 Oktober’72); “A Letter of Tears” (The Djakarta Times, 28 April’73); “A Purple Silk Dress” (100 Finalis Asia Week Competition’84); “Seven O’clock Sharp” (100 Finalis Asia Week Competition’84).

Sebagai penulis yang kreatif, tentu karya-karyanya tidak lahir begitu saja. Setidaknya ada sikap dasar yang memengaruhi kehidupannya sehingga hampir dalam setiap novelnya memiliki ciri–ciri khusus. Seperti kebanyakan novel Marga T, tokoh utamanya adalah seorang perempuan dan dalam ceritanya penuh dengan romantika. Karya–karya novelnya ini digolongkan sebagai novel popular, yang mengutamakan sisi romantik dan melodramatik. Hal yang menarik dari sosok Marga T dalam berkarya, adalah bahwa ketika ia menulis, ia tak memiliki kiat–kiat tertentu, tetapi semuanya mengalir begitu saja, “spontan tanpa latihan” itu pernyataannya yang dituliskan dalam buku Sin Qua Non “Serba–serbi Lima Puluh Tahun”, ketika ada pembaca yang ingin diajari cara menulis cerita bersambung seperti “Karmila.”

Proses berpikir kreatif memang tidak semua orang memiliki kemampuan ini, tetapi bukan berarti tidak dapat dilatih. Paling tidak dimulai dari tradisi membaca, khususnya membaca karya sastra di kalangan remaja. Bagaimana mengajak seseorang sehingga memiliki kebiasaan membaca, tanpa disadari sedikit banyak dipengaruhi juga oleh cara seseorang menyajikan tulisannya. Ini yang tercermin dari karya–karya Marga T yang mengandung cerita percintaan romantis dan sebagian besar disajikan sebagai cerita bersambung yang dimuat pada media–media yang juga cukup ternama dan populer di kalangan remaja pada zaman itu, seperti Majalah Gadis, majalah MIDI, Femina, dan Mitra. Bahkan dari mereka yang tidak biasa membaca, setelah menonton film “Karmila” akhirnya berusaha mencari novel tersebut untuk dibacanya. Terlebih lagi film tersebut mendapatkan nominasi untuk sutradara (Nico Pelamonia), dan aktris terbaik (Tanty Josepha), dalam Festival Film Indonesia 1982. Sebenarnya bukan hanya Novel Karmila yang kemudian diangkat ke layar lebar, dan dirilis pada tahun 1981, tetapi juga beberapa novel lainnya, yaitu Badai Pasti Berlalu pada tahun 1997 dan tahun 2003, Bukan Impian Semusim, Ranjau–ranjau Cinta, serta Tesa yang ditayangkan sebagai film dan serial televisi. Ironisnya, sampai dengan usia 50 tahun berkarya, Marga T belum pernah menyaksikan semua film–film berdasarkan novelnya itu yang sebagian besar diproduksi oleh Auvikom (Avicom).

Demikian selintas tentang Marga T, Sastrawan Perempuan Indonesia yang berhasil menyirap perhatian kalangan muda di tahun 1970–1980, bahkan menjadikan sebagain karya–karyanya menjadi bacaan “wajib” para remaja dan kaum ibu pada masa itu.