Kembali ke Laut, Maukah Kita?

0
673

Tahun 1980 Alfred Thayer Mahan mengemukakan pandangan tentang pentingnya kekuasaan maritim dan penguasaan laut, serta negeri-negeri jajahan di seberang laut. Pandangan ini cukup mempengaruhi beberapa negara di Eropa, dan juga Asia seperti Jepang untuk mengembangkan teknologi kemaritimannya. Bahkan Cina dan Amerika Serikat, yang senyata-nyatanya sebuah negeri daratan, turut pula mambangun kekuatan armada laut.

Pandangan Mahan utamanya didasari oleh kejayaan kolonialisme Barat sejak abad ke-15 sampai ke-19 Masehi. Semangat penjelajahan akibat perdagangan rempah-rempah dari Timur telah memicu proses pencanggihan teknologi dan peningkatan kekuatan maritim bangsa-bangsa Spanyol, Portugis, Belanda dan Inggris, yang notabene adalah bangsa-bangsa maritim. Saat bersamaan masa-masa keemasan kemaritiman Nusantara sayangnya sedang surut. Era penguasaan laut Sriwijaya dan Majapahit telah sirn adari catatan sejarah, kiprah kesultanan-kesultanan Islam maritim pun timbul tenggelam. Politik kolonialisme makin menjauhkan masyarakat Nusantara dari kehidupan bahari-maritimnya.

Masuknya Hindu-Budha sedikit banyak mempengaruhi kehidupan bahari-maritim di Nusantara. Dalam kosmologis Hindu-Buddha, pusat dunia adalah Gunung Meru yang dikelilingi samudera. Artinya lautan adalah wilayah pinggiran, sedangkan wilayah utamanya adalah daratan. Islam jug atak punya pandangan terperinci mengenai kosmos. Namun tanah (daratan) jelas punya kedudukan penting, sebab manusia dianggap berasal dari tanah. Pada kedua sistem religi itu, air dianggap sebagai unsur suci atau yang mensucikan. Tetapi yang dimaksud adalah air tanah, bukan air laut.

Sistem religi itu sangat mempengaruhi pola pikir masyarakat dan kehidupannya sosial-budayanya. Inilah yang menyebabkan terjadinya pergeseran dari budaya masyarakat bahari menjadi budaya-masyarakat agraris. Pusat-pusat kekuasaan politik –yang berarti pula pusat kegiatan sosial, budaya da ekonomi—pun berpindah, dari daerah pesisir ke pedalaman.Maka, ketika terjadi penetrasi kekuatan asing, bangsa Indonesia telah kehilangan kekuatan maritimnya.

Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 memang menberikan harapan pada kembalinya kemegahan penguasaan laut, sebab Daratan-Lautan, Tanah-Air, adalah kesatuan yang tak terpisahkan. Sayangnya Deklarasi Djuanda hanya sebatas pernyataan geopolitis kedaulatan negara. Maknanya tidak menyentuh dalam praktek kehidupan bahari-maritim sehari-hari. Buktinya beberapa kali kita pernah salah kaprah dalam melakukan pendekatan. Program “merumahkan secara tetap” Suku Laut di perairan Bangka-Belitung tak bisa menahan mereka untuk meninggalkan lautan. Program Toddopuli untuk modernisasi Pinisi dengan pemberian mesin kapal, ternyata juga tidak tepat. Pinisi baru itu malahan banyak yang tenggelam, karena getaran mesin melebihi kekuatan konstruksinya.

Menghidipkan kembali kebaharian Nusantara, tentu bukan dengan menghidupkan kembali romantisme kejayaan maritim Sriwijaya atau Majapahit. Maka untuk kembali ke laut, mungkin perlu dicarikan dulu jawaban atas pertanyaan berikut; Mengapa Sriwijaya dan Majapahit tak dapat mempertahankan penguasaan lautnya? Mengapa kota-kota pelabuhan yang dulu berperan penting dalam pelayaran niaga internasional kini hanya menjadi kota kecil tak berarti? Mengapa potensi kelautan Nusantara tak juga mampu meningkatkan kesejahteraan nelayan? Mengapa pula lautan hingga saat ini masih dianggap sebagai hambatan mobilitas bagi sebagian besar masyarakat negeri ini? Setelah mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dan menemukan solusinya, maukan kita kembali ke laut?
(Nurman Sahid)