JADI DALANG UNTUK LESTARIKAN BUDAYA INDONESIA

0
1883

Notice: Trying to get property 'roles' of non-object in /home/website/web/kebudayaan.kemdikbud.go.id/public_html/wp-content/plugins/wp-user-frontend/wpuf-functions.php on line 4663

DSC_1535
“Anak luar biasa!” Predikat itu pantas diberikan kepada Vicky Wahyu Hermawan Ramadhan. Meski tak berasal dari keluarga seniman, Vicky memperlihatkan kemampuannya untuk mendalang sejak usia tiga tahun. Siswa sekolah dasar ini kini menjadi salah satu dalang cilik yang cukup dikenal. Bahkan ia sudah pentas sampai di Jakarta.

Vicky mulai tertarik pada dunia wayang bermula dari nonton VCD wayang yang dibeli ayahnya, almarhum Sunarto, seorang pedagang roti yang meninggal saat Vicky duduk di kelas 1 SD Muhammadiyah 1, Surakarta. Acara wayang yang ditayangkan televisi juga jadi santapannya sejak kecil. Kini, Vicky duduk di kelas 6 SD Muhammadiyah 1 tersebut.

Bocah yang masih malu-malu dan manja ini hanya menjawab singkat “Senang ceritanya,” ketika ditanya mengapa ia suka wayang dan mau jadi dalang. “Saya juga mau jadi dalang untuk melestarikan budaya Indonesia,” lanjut Vicky yang sangat mengidolakan dalang Ki Manteb Soedarsono, Ki Anon Suroto, dan Ki Bayu Aji Anom Suroto. Selain sebagai dalang, ia bercita-cita menjadi guru dalang.

Ibunya, Nyonya Eni Triatmani, mengisahkan bahwa sejak masih kecil putra bungsu dari tiga bersaudara itu sudah tertarik pada wayang kulit melalui VCD yang dibelikan ayahnya. “Waktu itu ayahnya beli kaset. Diastel. Saya ingat banget, ada pertunjukan dari dalang Joko E dan.Vicky dengar dania tertarik. Lalu ia meminta ayahnya untuk dibelikan wayang dari kardus. Sedangkan untuk kelirnya dipakai dinding tembok rumah yang dicat putih. Lihat televisi, ia coba mempraktikkan. Praktiknya kok benar. Tiap hari itu berlangsung waktu ia kecil,” tutur ibunya yang sekarang jadi tulang punggung keluarga.

Ketika Vicky minta masuk sekolah pedalangan, permintaannya itu membuat orangtuanya bingung mencari sekolah pedalangan. Semula Nyonya Eni memasukkannya di sanggar tari, yaitu Sanggar Seni Meta Budaya. Namun, Vicky kecil terus merengek mau sekolah dalang. Ibunya mencari informasi di Taman Budaya Solo, tetapi sekolah di sana sudah penuh.

Perempuan itu kemudian mendapat kabar ada sekolah pedalangan untuk anak-anak, yaitu di Padepokan Seni Sarotama, di Karanganyar. Sejak 1Juli 2009 ia dititipkan di padepokan tersebut. Jarak dari rumah Vicky di Laweyan, Surakarta, kepadepokan itu sekitar 15 km lebih. Jarak yang jauh itu tak membuat Vicky malas, apalagi patah semangat. Semangatnya untuk belajar justru bernyala-nyala.

“Saya tidak boleh alpa berlatih,” tutur Vicky yang ikut ambil bagian dalam pemecahan rekor MURI kurang lebih 3.000 anak ikut tari Kelinci di kediaman Wali Kota Solo, Joko Widodo (sekarang Presiden) pada tahun 2009. Hal itu dibenarkan ibunya. “Ia selalu paksa saya untuk mengantarnya kesini biar sedang capek. Ia senang kalau sudah ada di sini,” kata ibunya.

Dalang cilik itu bekerja keras untuk berlatih wayang. Pemilik Padepokan Seni Sarotama Mudjiono S.Kar., yang melatihnya memuji Vikcy sebagai anak yang tekun berlatih. Padahal, ia bukan anak dari seniman. Anak itu, kata Mudjiono, juga sangat antusias menekuni seni tradisi. Bila ada rencana pementasan Vicky bisa berlatih di padepokan sampai lima jam. Bahkan untuk menyuruhnya berhenti berlatih tidak mudah. Ibunya menuturkan, padepokan terpaksa mematikan lampu sebagai tanda latihan sudah selesai. Barulah Vicky mau pulang. Setelah Vicky pulang, latihan di padepokan untuk peserta dewasa kembali dilanjutkan.

Lewat kerja kerasnya, Vicky akhirnya bisa memetik buah prestasi.Mulai tampil di panggung di Laweyan, kini ia merambah sampai ke Jakarta. Saat ini ia sudah mampu memainkan lakon “Gathut kaca Jedhi,” “Guwarso Guwarsi,” “Nggeguru”, “Kuntowijoyondanu,” dan “Sesaji Rojo Suryo”.

Tentang Penghargaan Kebudayaan untuk Anak yang diberikan kepadanya, dengan kalimat yang pendek, ia mengatakan, “Senang sekali mendapat penghargaan.” Ketika ditanyakan apa yang akan dilakukannya dengan hadiah uang yang akan diperoleh, Vicky mengatakan, “Pertama-tama uang itu untuk uang sekolah. Sisanya akan dipakai untuk memperbaiki rumah kami.”

Seusai percakapan itu, Vicky kembali melebur dengan teman-temannya untuk berlatih sampai jauh malam. Demikianlah, prestasi tidak jatuh dari langit, tetapi diraih lewat kerja keras.