FILOSOFI TROPIS DALAM KARYA ARSITEKTUR FRIEDERICH SILABAN

0
3740

DSC_0717
Nama arsitek Friederich Silaban menjulang tinggi berkat karya arsitekturnya, yaitu Masjid Istiqlal, yang menjadi masjid terbesar di Asia Tenggara. Melalui sayembara arsitektur Masjid Istiqlal pada tahun 1955, karyanya yang berjudul “Ketuhanan” dipilih sebagai pemenang.

Masjid Istiqlal adalah karya arsitekturnya yang paling fenomenal. Salah satu putranya yang mengikuti jejaknya sebagai arsitek, Ir. Panogu Silaban (lulusan Departemen Arsitektur, Institut Teknologi Bandung), menuturkan bahwa ayahnya pernah bercerita, saat mau mengikuti sayembara itu ia melakukan survey sampai ke Cianjur dan bertemu dengan banyak kyai untuk bertanya tentang masjid.

Silaban waktu itu, kata Panogu, mempunyai prinsip bahwa masjid yang hendak dibangun itu adalah masjid Indonesia. Oleh karena itu, ia tidak menggunakan pakem-pakem tradisional. Untuk menopang kubahnya, Silaban mengusulkan 8 tiang. Namun, insinyur yang mengerjakan bangunan meminta 16 tiang. Akhirnya disepakati 12 tiang.

Filosofi tropis yang selalu menjadi ciri kuat dari karya arsitektur Silaban diterapkan untuk Masjid Istiqlal, yaitu penggunaan atap-atap lebar dan koridor besar, sehingga suasana dalam Masjid Istiqlal terasa sejuk. Apalagi bangunan monumental itu memiliki pekarangan yang sangat luas. Sejak tahun 1967 hingga akhir hayatnya Silaban tercatat sebagai Wakil Kepala Proyek Masjid Istiqlal, Jakarta.

Banyak bangunan monumental lain yang telah dibangunnya. Pembangunan pada masa itu umumnya dilakukan lewat sayembara, bukan ditunjuk. Beberapa kali Silaban memenangkan sejumlah sayembara. Jelas, itu menunjukkan kelasnya sebagai seorang arsitek pada era itu.

Panogu, yang biasa diajak main catur oleh Silaban,mengatakan bahwa ayahnya selalu menggali unsur tropis dalam karya-karyanya. “Matahari sebagai faktor yang sangat penting baginya dalam mewujudkan atap bangunan. Papi berpendapat, bahwa atap tidak hanya menaungi manusia dari iklim, tetapi juga dinding bangunan. Karena itu, banyak karyanya beratap lebar. Ia mendesain agar udara bisa masuk ke ruangan, semacam pre-cooling, lalu berhembus dalam bangunan. Makanya, karya-karyanya selalu ada koridor. Tentu saja itu menjadi ciri khasnya,” Panogu menjelaskan karya ayahnya.

Silaban adalah arsitek yang hidup pada tiga fase, yaitu Hindia Belanda, Jepang, dan Indonesia merdeka. Pada zaman Hindia Belanda, ia sudah memenangkan sayembara pembuatan “Monumen Khatulistiwa” di Pontianak. Pada masa kemerdekaan, ia membangun sesuai dengan tuntutan saat itu, terutama ketika Presiden Soekarno sedang gencar dengan character building.

Silaban waktu itu mampu menawarkan bentuk arsitektur sesuai dengan keinginan Presiden Soekarno. Ia juga mampu menerjemahkan karakter bangsa dalam bentuk arsitektur yang hasilnya selalu monumental.

Kalau melihat bangunan yang dibuat Silaban, ada kesan keteraturan dan terstruktur. “Jadi berkaitan dengan nation building. Kebetulan bangunan-bangunan yang dipercayakan kepada Pak Silaban itu bangunan-bangunan yang monumental. Ia menerjemahkan ke dalam rancang bangun dengan struktur yang berirama, kokoh, dan dilihat dari ukurannya memang agak super gede. Itu untuk memberi suasana wibawa. Monumental memang. Karakternya, begitu. Pencerminan bangsa yang kuat,” kata Panogu.

Tahun 2015 ini Pemerintah RI memberikan penghargaan kebudayaan untuk kategori Pencipta, Pelopor, dan Pembaru untuk Arsitek ini. “Tentu saya sangat bangga, sebagai anaknya, atas penghargaan bidang kebudayaan yang didapat oleh Papi,“ kata Panogu Silaban.

Panogu menuturkan, ayahnya yang sangat menggemari aransemen musik karya Ludwig van Beethoven adalah seorang pekerja keras dan sangat berdedikasi dengan profesinya, di samping memiliki bakat dan talenta di bidang arsitektur. Pukul empat pagi ia sudah bangun dan mulai bekerja, lalu kemudian berangkat ke kantor.

Pada 1942-1947 ia pernah menjabat sebagai Kepala Pekerjaan Umum dan Direktur Pekerjaan Umum Kota Bogor dan pensiun pada bulan Mei 1965. Silaban yang menikah dengan Letty Kievits pada 18 Oktober 1946 telah dikaruniai sepuluh orang anak (dua perempuan dan delapan laki-laki).