Daeng Macora, Menari untuk Menghibur dan Mewariskan Kebudayaan

0
1391

Penerima Anugerah Kebudayaan  Kategori Pelestari 2016. Daeng Macore sejak umur 15 tahun mempelajari tari tradisi “pajoge angkong”. Di masa tuanya, ia mendedikasikan hidupnya untuk memberikan pengajaran tanpa memungut bayaran. Baginya, ketika ada yang meneruskan tarian yang lahir di masa Kerajaan Bone itu sudah merupakan kebahagiaan. Menari baginya menghibur diri, menghibur masyarakat, dan mewariskan kebudayaan.

Tarian pajoge angkong lahir pada masa pemerintahan raja-raja  Bone. Pada masa itu Kerajaan Bone memiliki tradisi menghadirkan Bissu, seorang calabai (waria) yang memiliki keahlian tertentu dan dipercaya untuk mengurus istana.  Para Bissu ini memilki keahlian dan peranan tertentu dalam menata istana. Ada Bissu yang menata rumah tangga kerajaan, konsumsi keluarga raja, menata anak raja dan yang menjadi tempat berkonsultsi raja, antara lain, untuk menentukan waktu menanam benih, turun ke sawah dan lain sebagainya. Bissu juga hadir dalam upacara-upacara penting kerajaan. Mereka tidak diperbolehkan ke luar dari kerajaan dan tidak boleh diperintah oleh siapapun kecuali oleh raja dan anak-anaknya. Para Bissu memiliki tarian yang disebut sere bissu, tarian yang menunjukan bagaimana para Bissu memanggil kekuatan untuk memberkati prosesi di kerajaan. Para penari menggunakan keris yang ditusukan ke tubuhnya. Jika tubuh mereka tidak terluka, menandakan kekuatan yang suci hadir memberkati. Seorang Bissu adalah seorang suci yang harus menjauhkan diri dari setiap kepentingan dunia.

new-picture-1Para Bissu ini memiliki anggota atau dayang-dayang yang membantu pekerjaannya yang terdiri atas para calabai. Keberadaan para calabai ini yang kemudian menginspirasi untuk mengkreasi tarian yang gerakan dasarnya diambil dari sere bissu, yang kemudian disebut pajoge angkong. Gerakan pajoge angkong disebut gerakan malebang serre atau perluasan dari gerakan sere bissu. Pajoge berarti penari dan angkong bermakna waria. Berbeda dengan fungsi sere bissu, tarian pajoge angkong bersifat hiburan. Para penarinya bukan orang suci, sehingga dapat menerima saweran atau amplop. Pajoge angkong biasa dipertunjukkan pada pesta sunatan, pernikahan,  atau pesta lainnya. Tarian ini dipertunjukkan di lapangan terbuka pada malam hari, biasanya hingga pukul 01.00 alias tengah malam. Para penari diiringi gendang dan diterangi oleh petromaks.

Setiap kelompok pajoge angkong terdiri atas empat peran, yaitu Emma Gendrang dan Indo Gendrang yang memainkan musik; Papppocci –calon penari muda yang membuka tarian di awal pertunjukan; Pa Lampo Strongkeng yang membawa petromak (karena saat itu belum ada listrik); dan Pajoge, yaitu sang penari. Pada mulanya para penari mempelajari gerakan secara otodidak dari pertunjukan pajoge angkong yang mereka amati. Tapi lama kelamaan para calabai saling memberikan pengajaran, bahkan sampai antar-kabupaten. Karena, di masa itu, kehidupan calabai sangat sulit mendapatkan pekerjaan. Sebaran keterampilan tari pajoge angkong juga sebagai bentuk solidaritas sesama calabai.

Daeng Macora adalah salah seorang penari pajoge angkong di Bone.   Ketertarikannya pada seni tari tradisi ini bermula ketika ia  mengabdi pada salah seorang Bissu di Kerajaan Bone. Sejak umur 15 tahun, Daeng Macora sudah menjadi anggota seorang Bissu. Ia bertugas antara lain mencuci baju Bissu tersebut, selain mempelajari tata laksana di istana. Saat itu, ia juga sempat diberi pendidikan untuk menjadi Bissu. Tetapi ia memilki jiwa petualang, ia ingin jalan-jalan melihat dunia lain; tidak mau tinggal di istana atau di kampungnya. Karena itu ia kemudian memilih menjadi panjoge angkong.

new-picture-2Ia merasakan menari sudah menjadi bagian dari hidupnya. Daeng Macore yang akrab dipanggil Core ini sangat senang memenuhi undangan dari setiap desa untuk memberikan pertunjukan pada acara-acara pesta. Saat terjadi peristiwa politik pada tahuan 1960-an, Core memilih  meninggalkan Bone. “Bagaimana kita bisa menari dengan tenang kalau orang-orang terus ‘berperang,” tutur Core. Ia kemudian mengembara ke beberapa tempat di Kalimantan, Sumatera, hingga Malaysia. Dalam pengembaraannya ia terus mengembangkan dan memberikan pertunjukan pajoge angkong.

Ia kembali ke tanah kelahirannya pada tahun 2000. Core kemudian menyadari keadaan sudah banyak berubah. Modernisasi sudah menjauhkan calabai dan masyarakat Bone dari tari tradisi pajoge angkong. “Zaman dulu calabai sulit mencari penghidupan. Pajoge angkong adalah sedikit dari mata pencaharian yang tersedia. Sekarang calabai bisa menjadi penata pengantin dan kerja di salon. Mereka juga lebih menyukai tarian modern. Hiburan pun sudah banyak di televisi. Orang sudah tak membutuhkan hiburan pajoge angkong,” tutur Core. Tetapi ia sangat mencintai pajoge angkong, karena itu, ia memberikan pengajaran kepada  para calabai tanpa memungut bayaran. “Yang penting ada calabai yang mau melanjutkan. Bila aku mati, mereka bisa memberikan pengajaran kepada siapa pun yang mau,” tegas Core.

Atas ketekunannya untuk melestarikan dan mewariskan tari tradisi pajoge angkong ini, pada April 2016, bertepatan dengan Hari Tari Sedunia, Core mendapat penghargaan Maestro Penari Bone dari Dewan Kesenian  Bone. Penghargaan itu diserahkan oleh bupati Bone kepada Core.  Mengetahui ia juga mendapatkan penghargaan kebudayaan untuk kategori pelestari dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Core mengucapkan:  “Syukur alhamdulillah dan banyak terima, khususnya kepada Menteri Pendidikan da Kebudayaan yang telah memberikan perhatian pada pajoge angkong sebagai kebudayaan Bugis.”

Di akhir perbincangan, Core mengajak salah satu muridnya untuk menarikan pajoge angkong. Gerak tubuh keduanya sangat lembut, senandungnya lirih. Jemarinya yang lentik mengibaskan kipas dengan ekspresi anggun, lembut dan memesona.new-picture-3Biodata

Lahir: Bone, 1 Juli  1946

Alamat: Jln. G. Kinibalu 003/001,  Macanang, Tane Riattang Barat, Bone

Penghargaan

  • Penghargaan Kebudayaan Kategori Pelestari dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (2016)
  • Maestro Penari Bone dari Dewan Kesenian Bone (2016)