Saat ini Rancangan Undang-Undang tentang Kebudayaan tengah berproses di DPR. Terkait hal itu, Desk Pendidikan dan Kebudayaan Harian “Kompas” menggelar diskusi “Menyoal RUU Kebudayaan” di Jakarta pada 30 September 2015, dengan pembicara : pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarna Karlina Supelli, pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Rocky Gerung, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Mochtar Pabotinggi, Ketua Panja RUU Kebudayaan DPR Ridwan Hisyam, dan budayawan Radhar Panca Dahana. Selaku moderator Saifur Rohman, Pengajar Doktor Ilmu Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta. Hasilnya dapat dibaca dalam Rubrik Pendidikan dan Kebudayaan di halaman 11 atau 12 selama 5 hari mulai Senin, 19 Oktober 2015.

Kliping Budaya-211015-Kompas-Hantu globalisasi dan identitas

Kompas (21 Oktober 2015)
Kompas (20 Oktober 2015)

Dalam catatan Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Kebudayaan, globalisasi disebut sebagai latar belakang urgensi rancangan Undang-Undang tersebut diterbitkan. Globalisasi dipandang membawa berbagai dampak negatif terhadap ekstensi dan ketahanan unsur-unsur kebudayaan di Indonesia. Tepatkah alasan itu?

Oleh INDIRA PERMANASARI

Pandangan pesimistis terhadap globalisasi itu diikuti argumen maraknya degradasi kebudayaan di Indonesia, baik fisik maupun non fisik, sehingga memerlukan upaya pencegahan dan penanganan komprehensif, sinergis, dan taktis. Karena itu pula pemerintah atas nama negara, dipandang memerlukan dasar hukum untuk menyusun kebijakan, strategi, dan program pelestarian.

Globalisasi sulit didefinisikan. Secara sederhana, globalisasi dapat dikatakan sebagai proses mendunia. Berbagai literatur menyebut globalisasi sebagai proses kian terkoneksi, tergantung, bahkan terintegrasinya dunia. Ada pergerakan modal, usaha, orang, informasi, teknologi, dan ilmu pengetahuan yang melintasi batas negara dan kawasan.

Dalam catatan Panja Rancangan Undang-Undang (RUU) Kebudayan, globalisasi tampaknya diposisikan sebagai ancaman. Namun, menjadi globalisasi sebagai dasar urgensi RUU Kebudayaan (yang bermasalah mulai dari namanya itu), apalagi berpikir aturan itu dapat menjadi perisai malah memunculkan persoalan baru.

Adanya arus informasi dari negeri lain yang disalurkan media sosial, televisi, dan media massa lainnya hanya merupakan salah satu aspek dari globalisasi. Inilah yang kerap dipandang sebagai penyebab penurunan nilai-nilai sehingga pemuda-pemudi di negeri ini tidak lagi berpegang kepada nilai-nilai dan kearifan lokalnya. Padahal, kasusnya tidak sederhana.
Ambil contoh, ulap doyo, tenunan indah yang dibuat oleh orang Dayak di Kalimantan Timur. Di dalam tenunan dan motifnya, ada nilai-nilai, gagasan, kepercayaan, dan kisah hidup. Serupa tikar kehidupan. Di atas lembaran tenun itu dapat diketahui geneologi turun-temurun, termasuk kisah bahwa orang Dayak turun dari langit.

Kini, para perempuan Dayak tidak bisa lagi membuat ulap doyo. Mereka harus berjalan berkilo-kilo meter untuk mendapatkan tumbuhan doyo yang hidup di lantai-lantai hutan. Tidak pernah ada pemikiran untuk membudidayakan, misalnya, dari pemerintah. Setelah ada keperihatinan akan puaahnya ulap doyo, barulah mulai ada usaha mempertahankan tenunan itu.

Apakah ancaman kepunahan ulat doyo karena semata nilai-nilai globalisasi sehingga perempuan tidak mau lagi menenun doyo? Ancaman kepunahan itu lebih karena hutan di sekitar mereka hancur, berubah menjadi perkebunan monokultur. Pemiliknya tidak hanya perusahaan multinasional. Tetapi juga perusahaan nasional.
Pertimbangan lainnya, berbagai hal yang mendunia mulai dari gagasan atau ide hingga sesuatu yang bisa dilahap, seperti makanan (kuliner) pada dasarnya memiliki sumber kekuasaan dan kepentingan yakni ekonomi. Contohnya, ayam goreng yang mendunia dengan gerai di mana-mana, episenterum, kekuasaannya pada aspek ekonomi. Ini merupakan kekuatan yang sulit dilawan. Apakah RUU Kebudayaan (jika nantinya akan menjadi undang-undang) mampu melawan kekuatan itu?

Respons yang dikhawatirkan ialah perlindungan dan kontrol berlebihan pada sesuatu yang sesungguhnya tidak mungkin dikurung, yakni kebudayaan, gugusan dari gagasan. Kekhawatiran lainnya ialah membuat masyarakat dan kebudayaanya seperti benda koleksi museum.

Soal interaksi dengan kebudayaan asing tak hanya sekali muncul dalam rancangan undang-undang. Dalam Naskah Akademik Bahan Rancangan Undang-Undang tentang Kebudayan Nasional tahun 1985 yang disusun Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, kebudayaan asing disebut sebagai kebudayan yang tumbuh dan berkembang di luar wilayah Indonesia yang melalui hubungan langsung dan tidak langsung masuk ke dalam kehidupan sosial budaya penduduk di nusantara. Dalam naskah itu, kebudayaan asing dipandang penting dalam pengembangan kebudayaan di Indonesia.

PENCARIAN IDENTITAS

Ketika muncul ketakutan dan kegamangan untuk berkonfrontasi dengan pikiran dunia dan peradaban terbuka, glorifikasi terhadap masa lalu terjadi. Muncul pencarian atas identitas dan kemudian dirumuskan bahwa identitas itulah lokalitas kebudayaan. Terdapat ungkapan asal Yunani: identitas merupakan hak orang mati. Hanya jenazah yang terbujur kaku yang dapat diidentifikasi. Sebaliknya, gagasan di masyarakat akan berkembang, begitu juga mental.

“Kearifan lokal” (local wisdom) di suatu daerah di Nusa Tenggara Timur, misalnya. Perempuan yang baru melahirkan, selama 30 hari harus tidur di dapur dekat perapian. Sulit diketahui asal muasal ide itu, tetapi sekian lama di konservasi sebagai kearifan lokal. Ketika dihadapkan pengetahuan fisiologi, akan terungkap, ibu baru melahirkan tak baik menghirup karbon dioksida yang menguar dari perapian. Masih ada berbagai pandangan lokal lain yang merugikan kesehatan ibu dan anak. Indeks Pembangunan Manusia yang menyatakan morbiditas ibu dan anak tinggi mestinya membuat pandangan merugikan yang terkonservasi sejak lama itu dipikirkan ulang.

Interaksi seiring globalisasi tak harus mematikan. Saat ini, banyak anak muda mencoba memaknai warisan budaya nusantara sesuai dengan konteks kekinian. Warisan nusantara itu digabung-gabung dengan perolehan dari interaksi mereka dengan dunia sehingga menghasilkan kekayaan baru.

Hal yang perlu dipikirkan serius ialah penyediaan ruang untuk membantu warisan benda dan non-benda yang masih hidup, serta upaya kodifikasinya. Warisan-warisan itu dapat berinteraksi dengan sumbangan dari luar. Masa depannya, akan mengikuti dinamika, jiwa, masyarakatnya.

Sumber: Kompas cetak (20 Oktober 2015)