Sumber: Republika / 24 Oktober 2016/ Hlm 5

Seorang lelaki tua bertongkat dikawal dua perempuan paruh baya berjalan beriringan. Disusul seorang ibu yang menggendong bapaknya yang sudah tua renta. Di belakang mereka, ada barisan buto (raksasa) yang tampak menari-nari.

Lelaki tua sakti itu mengalahkan segerombolan buto yang kehadirannya menyebabkan penduduk desa menderita. Setelah terbebas dari gangguan buto, iring-iringan masyarakat membawa tiga gunungan, yaitu ‘sandang’ (pakaian), papan (rumah), dan alam, sebagai bentuk syukur kepada Sang Pencipta.

Itulah secuplik kisah seni dongkrek asal Madiun yang ditampilkan dalam acara ‘Purnama Sura Ruwatan Gratis’ di Padepokan Seni Kirun, Madiun, Jawa Timur, Sabtu (22/10). Uniknya, para pemain kesenian dongkrek dikawal dua laki-laki berbaju serbaputih memegang bendera Merah Putih yang mengapit seorang perempuan sedang membawa lambang Pancasila.

Iring-iringan pemain dongkrek yang berkeliling di Desa, Kelurahan, Kabupaten Madiun, ini sanggup menyedot perhatian masyarakat. Kegiatan yang dilanjutkan dengan sungkem kepada orang tua sebagai bentuk kearifan lokal itu merupakan acara yang sudah berlangsung kedelapan kalinya diikuti 300 peserta.

Pendiri Padepokan Seni Kirun, Mohamad Syakirun, mengatakan, kesenian ini memiliki filosofi setiap orang itu tidak lupa dengan hakikat hidupnya. Kekuatan jahat pasti akan tumbang melawan kebaikan. Dia menjelaskan, tiga gunungan atau tumpeng besar itu memiliki pesan mendalam bagi manusia untuk tidak melupakan Allah. “Manusia harus tahu, semua itu dari Sang Pencipta. Yang kita sajikan itu harus dilihat kita tak bisa makan tanpa anugerah Tuhan,” kata pelawak yang akrab dipanggil Kirun ini.

Karakter masyarakat Indonesia berbeda dengan negara lainnya. Selama menjalani hidup sebagai pelawak, ia mendapat ilmu tentang tiga dimensi manusia Indonesia yang tak akan bisa hilang. Ketiganya adalah agama, budaya, dan negara.

Karena itu, penampilan kesenian dongkrek dikawal dua pengibar bendera dan satu pembawa lambang Pancasila untuk mengingatkan masyarakat bahwa dimensi itu tidak bisa dilepaskan satu sama lain. “Itu tak bisa hilang, apa pun yang ditempuh tak akan jadi. Sesuai karakter, orang Indonesia itu pasti beragama semua, religius. Budaya juga tidak bisa lepas. Negara pasti ada,” katanya.

Kirun mencontohkan, salah satu keseharian masyarakat yang tidak bisa dilepaskan dari agama, budaya, dan negara adalah prosesi pernikahan. Di seluruh wilayah Indonesia, kata dia, kalau ada orang mau nikah pasti melibatkan kedua keluarganya untuk saling bertemu lebih dahulu. Setelah melewati proses budaya dan terjadi persetujuan, pernikahan harus tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA). Setelah itu dilakukan ijab kabul untuk disahkan secara agama.

Kalau orang menikah tidak melewati proses itu, Kirun melanjutkan, pastinya akan menghadipi kerepotan. Tiadanya buku nikah dapat berimbas sang anak tak dapat mengurus akta dan untuk masuk sekolah maupun pembagian warisan tentu tak dapat diproses. Karena itu, dia berharap, kekayaan budaya bangsa Indonesia terus dilestarikan sebagai jati diri masyarakat untuk diwarisankan kepada anak cucu.

“Makanya agama, budaya, dan negara itu digempur pakai apa saja tidak bisa. Luar bisa Nusantara kita. Benar enggak itu yang terkadang tidak disadari oleh kita. Agama masuk pasti, budaya masuk, negara mengatur. Buku nikah itu sakti, luar biasa,” ujar Kirun.

Padepokan miliknya sering dikunjungi turis luar negeri, khususnya Eropa. Para wisatawan asing itu rela jauh-jauh datang ke Indonesia, kata Kirun, hanya tertarik untuk melihat berbagai pertunjukan seni lokal, seperti dongkrek, wayang, maupun mendengarkan musik tradisional.

Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Kemendikbud, Sri Hartini, mengatakan, masyarakat Indonesia selalu berusaha merekatkan hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa dalam momen tertentu. Menurut dia, dalam momen peringatan tahun baru Hijriyah setiap 1 Muharram, masyarakat Indonesia menyambutnya dengan cara berbeda dibandingkan datangnya tahun baru Masehi.

Biasanya masyarakat selalu berusaha merekatkan hubungannya dengan Yang di Atas, sekaligus sebagai sarana merawat tradisi bangsa Indonesia. Ada kekayaan budaya dan kearifan lokal yang mengerucut di dalam kehidupan bangsa. Pancasila sebagai ideologi negara terakumulasi dalam nilai kehidupan.

Acara seni budaya ini berlangsung hingga dini hari, dengan digelarnya wayang kulit. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy sempat menjadi dalang untuk memeriahkan acara kebudayaan ini.