Meruwat Diri, Merawat Negeri

Sumber : Kompas / 24 Oktober 2016/ Hlm 12

Tiga ratus sukerta (orang yang akan diruwat) melapisi tubuh dengan kain mori putih. Bersama rombongan kesenian dongkrek dan sesepuh masyarakat, para sukerta melakukan kirab budaya menuju lokasi prosesi ruwatan. Jaraknya sekitar 500 meter. Dalang ruwat telah menunggu, siap menyuguhkan Ruwatan Murwakala.

Ruwatan massal ini digelar oleh Padepokan Seni Kirun milik seniman dan pelawak Syakirun atau Kirun, di Desa Bagi, Madiun, Jawa Timur. Kegiatan diadakan lewat kerja sama dengan Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Masa Esa dan Tradisi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan?. Ruwatan tersebut merupakan bagian dari hajatan Gelar Budaya Purnama Sura, yang juga menyuguhkan pertunjukan dongkrek serta wayang kulit semalam suntuk dengan lakon Wiratha Parwa, Sabtu (22/10).

Dung, dung, dung… suara beduk memecah suasana pagi, mengundang ?warga kampung untuk bergabung. Krek, krek, krek… suara korek menyahut riuh. Korek adalah sejenis alat musik kayu yang diputar-putar dan melahirkan bunyi “krek” sangat keras. Bebunyian lain seperti saron, kenong, dan gong membuat pertunjukan makin meriah.

Dongkrek tak sekadar pelengkap, tetapi menyatu dalam prosesi ruwatan karena kesenian itu dipahami sebagai pengusir kejahatan, kemungkaran, dan hal-hal buruk lainnya. Dongkrek, dari kata dong dan krek?, merujuk pada bunyi dung pada beduk dan krek pada korek.

Bebunyian dongkrek mengiringi gerakan empat orang yang mengenakan topeng buto, perlambang angkara murka. Dongkrek juga mengiringi tarian topeng orang tua, lambang pemimpin bijaksana. Ada pula topeng perempuan menggendong anak atau nenek, perlambang kasih sayang dan bakti.

Rambut dipotong

Prosesi ruwatan dimulai dari wayang ruwat Murwakala selama tiga jam dengan dalang Ki ?Gutoyo Cermo Sudarmo. Setelah itu, para sukerta sungkem kepada orangtua masing-masing, rambut mereka dipotong sebagian, lalu dimandikan. Memotong sebagian rambut mengingatkan pada kelahiran, sedangkan memakai mori putih mengingatkan pada kematian.

Ruwatan Murwakala dipahami sebagai ritual untuk menghilangkan pengaruh negatif dalam diri yang mungkin terbawa saat lahir, atau karena perilaku keliru, yang menyebabkan rasa waswas, gelisah, dan tak percaya diri.

Dua remaja, lulusan D-3 dan SMA, ingin diruwat demi meraih masa depan yang cerah, mendapat pekerjaan layak, serta dijauhkan dari kesialan.

Ruwatan telah menjadi tradisi yang dipraktikkan secara turun-temurun di Jawa. Di dalamnya, terkandung petuah dan harapan untuk menjadi seorang yang lebih baik. “Tradisi adalah bagian dari kebudayaan yang harus kita lestarikan,” kata Mendikbud Muhadjir Effendy yang hadir dalam pergelaran wayang ?kulit dan bahkan ikut mendalang.

Ruwatan sukerta sejatinya adalah simbol agar manusia selalu mawas diri, membersihkan diri dari keburukan. ?Jika setiap orang sadar untuk mawas diri, kehidupan berbangsa dan bernegara akan tenteram. “Tiap hari sebetulnya kita meruwat negara, menyelesaikan masalah- masalah kenegaraan. Ruwatan jadi pernyataan simbolik, sekaligus bagian dari tradisi secara turun-temurun,” kata Muhadjir.

Ajaran warisan leluhur di daerah-daerah sebetulnya bisa diterapkan di mana saja. “Kearifan di Jawa, bukan hanya untuk Jawa, tetapi bahkan bisa untuk dunia,” tutur G Hardjito, pengurus Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan YME Kabupaten Madiun.

Kegiatan tradisi yang bersifat renungan seperti ruwatan ini juga menjadi momen untuk mengevaluasi hidup. “Eling lan waspodo. Waspodo itu terjaga, cermat, awas terhadap godaan yang menyesatkan,” kata Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan YME dan Tradisi Sri Hartini. (IVV)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Oktober 2016, di halaman 12 dengan judul “Meruwat Diri, Merawat Negeri”.