Petani Versus Perkebunan Pada Masa Reorganisasi Agraria Studi Kasus Di Klaten

0
1231

Petani Versus Perkebunan Pada Masa Reorganisasi Agraria Studi Kasus Di Klaten

Oleh: Dwi Ratna Nurhajarini

Penelitian ini adalah tentang konflik antara petani dan perkebunan, dengan mengambil kasus di tingkat lokal, yakni Klaten. Pengambilan Klaten sebagai daerah yang diteliti berdasarkan asumsi bahwa daerah tersebut termasuk daerah yang multikultuur.

Dengan berakhirnya zaman liberal dalam politik kolonial dan dimulainya politik etis,sistem lungguh dan kondisi agraria serta administrasi di vorstenlanden mulai digugat. Pada dasawarsa pertama dan kedua abad XX reorganisasi agraria dilakukan pemerintah kolonial di daerah swapraja. Reorganisasi yang diperkenalkan oleh Belanda tersebut membuat tatanan yang sudah lama berlaku di daerah swapraja menjadi berubah. Empat hal yang menjadi point dari reorganisasi adalah penghapusan sistem lungguh, pembentukan desa sebagai unit administrasi, pemberian hak-hak penggunaan tanah yang jelas pada petani, dan perbaikan aturan sewa tanah. Pada dasarnya reorganisasi dilaksanakan agar kehidupan petani menjadi lebih baik. Namun begitu kenyataannya tetap berbeda. Posisi petani tidak berubah secara mendasar. Pihak yang banyak mendapatkan keuntungan adalah perkebunan, karena dengan sistem sewa yang baru dan juga sistem administrasi yang baru, memungkinkan perkebunan memiliki areal tanah yang luas. Posisi petani yang tidak berubah, menyebabkan mereka berusaha melawan kondisi yang ada. Berbagai bentuk protes dilakukan, baik yang secara legal maupun illegal, menurut tatanan dari kasunanan. Petani tidak hanya bisa melakukan mogok kerja, karena dari beberapa kasus yang ada mereka berusaha untuk melakukan dialog terlebih dahulu. Protes yang dilakukan semakin meningkat seiring dengan tampilnya beberapa tokoh radikal seperti, Tjipto, Misbach, dan Douwes Dekker.

Selengkapnya: Patra-Widya, Vol.7 No.1, Mar 2006.